Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

My Account

Minim Hasil Tangkapan, Nelayan Trenggalek Terpaksa Beralih Profesi Sampingan

  • 08 Mar 2025 12:00 WIB
  • Google News

    KBRT – Tidak musim ikan di Laut Trenggalek membuat hasil tangkapan para nelayan minim. Bahkan, tak jarang mereka kembali ke dermaga dengan tangan kosong. Biaya atau ongkos yang dikeluarkan untuk bekal melaut pun sering kali tidak tertutupi jika tidak ada tangkapan ikan.

    Seperti yang dialami Sukatno, seorang ayah dua anak asal Desa Sawahan yang berprofesi sebagai nelayan di Pantai Prigi. Kepada tim Kabar Trenggalek, ia bercerita bahwa saat tidak musim ikan, dirinya sering kali beralih bekerja di darat demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.

    “Kalau tangkapan minim, ya kerja di rumah kalau sudah pulang dari laut. Saya biasanya membuat reyeng atau pergi ke sawah untuk mencari penghasilan tambahan. Untuk bekal pribadi saat melaut, saya mengeluarkan sekitar Rp15 ribu untuk bontot, bensin, dan uang parkir,” ucap Sukatno, nelayan Pantai Prigi.

    Ia juga menjelaskan bahwa sistem upah di laut tergantung pada hasil tangkapan. Ada dua jenis tenaga nelayan di dalam sebuah kapal, yaitu tenaga kapal dan tenaga ngadim. Perbedaan peran ini juga berpengaruh terhadap upah. Tenaga kapal adalah nelayan yang sudah lama ikut kapal dan turut serta dalam berbagai kegiatan, seperti pemeliharaan kapal dan jaring. Sementara itu, tenaga ngadim hanya ikut sekali berangkat dan bisa berlayar dengan kapal yang berbeda-beda.

    Sistem pembayaran upah nelayan terbagi menjadi dua jenis. Pertama, melalui pembagian hasil tangkapan ikan. Kedua, berupa uang yang diperoleh dari hasil penjualan ikan tangkapan kapal. Biasanya, nelayan menjual ikan bagiannya langsung kepada para pedagang yang sudah menunggu di sekitar Tempat Pelelangan Ikan (TPI).

    ADVERTISEMENT
    Migunani

    Menurut Sukatno, saat hasil tangkapan minim, para tenaga nelayan terkadang hanya mendapatkan bagian yang cukup untuk lauk makan saja. Bahkan, jika tidak ada tangkapan sama sekali, mereka sering pulang dengan tangan hampa.

    “Penghasilan nelayan itu tergantung hasil tangkapan dan harga ikan. Biasanya, baik tenaga kapal maupun ngadim mendapat satu kresek ikan masing-masing, sekitar 30 kg kalau tangkapan banyak. Ikan itu kemudian dijual. Namun, kalau hasil tangkapan sedikit, bisa saja hanya mendapat Rp20 ribu dari penjualan. Sementara itu, tenaga kapal biasanya masih mendapat uang lauk pauk dari juragan kapal,” ujarnya.

    Dalam satu kali berangkat, rata-rata satu kapal berisi sekitar 25 personel. Sukatno, yang sudah berprofesi sebagai nelayan selama belasan tahun, menceritakan bahwa awal mula dirinya menjadi nelayan berawal dari coba-coba. Namun, saat ini, karena tidak musim ikan, banyak kapal yang enggan berlayar mengingat besarnya biaya operasional.

    “Awalnya saya berencana bekerja ke Jepang. Sebelum berangkat, saya berlatih melaut dengan menjadi tenaga ngadim di sini. Lama-kelamaan, saya merasa nyaman karena saat itu sedang musim ikan dan hasilnya lumayan. Akhirnya, saya memutuskan ikut tenaga kapal dan batal mendaftar ke Jepang,” terangnya.

    Kabar Trenggalek - Ekonomi

    Editor:Zamz

    ADVERTISEMENT
    Lodho Ayam Pak Yusuf