Dua sendok (sendok teh) kopi dituangkan ke gelas cangkir kecil diikuti satu sendok gula. Volume kopi harus melebihi takaran sendok, namun volume gula mesti benar-benar presisi. Teko berisi air mendidih lalu disiramkan ke cangkir tersebut, menyeduh larutan kopi dan gula.
Aroma harum kopi langsung menyebar di dapur Kabar Trenggalek. Bergegas setelah itu, saya suguhkan cangkir tersebut kepada tamu.
Memang, sore itu kami kedatangan ketua Prajurit Rimba, Asmaul Fajar. Setelah janjian beberapa kali, akhirnya kami bertemu. Sebelumnya, saya sudah sampaikan kepada Fajar bahwa saya hendak bertandang ke Karanganyar, Pule. Namun, karena hari sedang hujan, saya mengurungkan niat tersebut.
Akhirnya, Fajar mampir ke kantor. Ini pertemuan pertama kami. Ia baru saja dari Tulungagung, menyambangi komunitas pengelola jalur Gunung Wilis untuk ngangsu kaweruh perihal pembukaan jalur pendakian baru. Zam, awak redaksi Kabar Trenggalek kebetulan di kantor. Kemudian kami bertiga ngobrol santai.
Asmaul Fajar
Terbentuknya Prajurit Rimba sedikit banyak dipelopori Fajar, tentu saja disokong teman-temannya. Komunitas tersebut dibentuk untuk mewadahi para penghobi pendaki khusus Kabupaten Trenggalek. Fajar sendiri memang hobi bepergian ke gunung-gunung, seperti Gunung Lawu, Arjuno, Semeru, dan lainnya.
Asmaul Fajar, anak muda kelahiran 2000, perawakannya tinggi ramping. Ia sudah menikah dan memiliki seorang anak. Dulunya, ia seorang atlet silat PSHT, direkrut Kabupaten Ponorogo. Bukan tanpa alasan, karena sejak SMP dan SMA ia bersekolah di kota reog tersebut.
“Karena Puyung lebih dekat ke Ponorogo, mas, ketimbang ke Kota Trenggalek, jadi sejak SMP saya sekolah di sana,” akunya sore itu.
Tak hanya ikut pencak semata, kiprahnya dalam dunia silat telah berhasil mengantarkannya menjadi juara kabupaten. Karena prestasinya, ia akhirnya ditawari kejuaraan silat tingkat provinsi, masuk Jatim zona satu pada tahun 2021 sebagai atlet.
Tapi naas, saat di babak penyisihan, dengkulnya blesek; ia mengalami cedera ACL (Anterior Cruciate Ligament), yaitu ligamen yang menghubungkan tulang paha dan tulang kering di sendi lutut.
Meski demikian, ia tetap melanjutkan bertarung hingga masuk final. Babak pertama dapat diselesaikan meski dengan menahan sakit di dengkulnya. Barulah di babak kedua, ia berhenti bertanding setelah diingatkan pelatihnya.
“Kamu ingin berhenti bertanding, atau memilih lanjut tapi tidak punya kaki lagi selamanya?” kenang Fajar menirukan omongan pelatihnya.
Ia berhenti bertarung saat itu juga lalu pulang ke Trenggalek untuk berobat. Selanjutnya, ia menggantungkan sabuk dan memilih menjadi tukang buruh unduh cengkeh.
Kisah pilu hidupnya tak berhenti sampai di situ. Saat sedang unduh cengkeh di Munjungan, ia jatuh dari ketinggian 10 meter. Punggungnya mendahului menyentuh tanah; apes memang, dari kejadian itu ia cedera dan lumpuh selama seminggu.
“Seminggu saya tidak bisa jalan, lumpuh. Dari situ saya berpikir usaha lain, mendirikan ISP penyaluran WiFi,” kenangnya.
Berbekal pengalaman dari saudaranya yang punya bisnis serupa, ia memberanikan diri membuka usaha ISP. Tapi rintangan masih belum usai; tiga bulan pertama berbisnis, ia hanya mendapatkan tiga klien. Pendapatannya tentu tak cukup menutup modal operasional, tapi ia memilih untuk tetap bertahan. Hingga kini, Fajar sudah punya 100 klien.
Meski demikian, saat musim cengkeh tiba, ia kadang buruh unduh cengkeh kembali, tak kapok dengan kejadian sebelumnya.
“Lumayan, mas. Biasanya saya buruh ke Watulimo dan Munjungan, berbulan-bulan di sana,” ucapnya.
Sore itu, area Kota Trenggalek hujan; suara rintik air bertemu genting menambah seru obrolan kami bertiga. Pertemuan pertama yang hangat.
Prajurit Rimba
Gunung Sengunglung akhir-akhir ini ramai dibicarakan orang, bahkan juga dikunjungi. Hal ini lantaran pada bulan Desember tahun lalu, telah dibuka wisata pendakian Sengunglung jalur Sumberbening. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Trenggalek secara resmi melegalkan hal tersebut.
Proses pembukaan jalan tidak lepas dari peran Komunitas Prajurit Rimba, yang selama dua bulan melakukan eksplorasi jalur Sengunglung. Ada banyak kisah menarik di balik kiprah Prajurit Rimba, termasuk cerita-ceria tidak masuk akal yang mereka alami.
Komunitas Prajurit Rimba berjumlah 10 orang, kebanyakan anak muda Pule. Kisah kedekatan mereka dengan Sengunglung dimulai pada awal tahun 2024.
“Tanggal 3-4 Februari 2024, kami berinisiatif memasang plakat puncak Sengunglung melalui jalur Pule, sekaligus memasang penunjuk jalan dan pos,” kenang Fajar.
Awalnya, mereka itu hanya iseng saja, namun setelah mengunggah kegiatan di media sosial, ternyata masyarakat antusias.
“Jadi viral, mas,” ungkap Fajar dengan bangga.
Saat mengobrol, Fajar berulang kali mengatakan bahwa Prajurit Rimba hanya ingin membuka jalur, tanpa berniat untuk menjadi pengelola. Seperti jalur Pule tersebut, setelah cukup ramai dikunjungi orang, mereka menyerahkan pengelolaan kepada warga lokal, Dusun Bangunsari, Dukuh Sriwut, Pule.
Prajurit Rimba tak sekadar menyerahkan pengelolaan semata tanpa mengedukasi warga lokal. Mereka memiliki aturan yang wajib dipatuhi oleh pengelola dan pengunjung. Aturan tersebut di antaranya:
- Wajib membawa sampah turun
- Dilarang membuat trend menaiki pohon
- Dilarang mengotori aliran air dan sungai
- Dilarang membuat api unggun
- Dilarang membawa tisu basah
- Dilarang membawa miras/obat terlarang
- Dilarang berbuat asusila
- Dilarang berteriak-teriak dan mengganggu pendaki lain
- Wajib mematuhi peraturan tertulis dan non tertulis pendakian Gunung Sengunglung
Mereka mewanti-wanti bahwa tujuan untuk membuka jalur pendakian adalah untuk melestarikan hutan, bukan untuk mengeksploitasinya. Setidaknya untuk mengenalkan flora-fauna secara langsung kepada masyarakat luas tanpa mengganggunya.
Bulan November - Desember 2024, Pasukan Rimba berniat membuka jalur pendakian dari Desa Sumberbening. Ada tiga tahap yang mereka lakukan: pertama adalah babat jalan untuk menentukan jalur, kedua menentukan rekomendasi jalur yang paling layak, dan ketiga pemantapan, yaitu tahap pembuatan dan pemasangan pos, serta memasang plakat puncak. Setelah semua tahap dilalui, mereka melakukan test drive pendakian.
Pembukaan jalur pendakian Sengunglung melalui Sumberbening diresmikan cukup meriah. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata turut serta mendampingi; mereka juga menetapkan sebagai destinasi wisata pendakian baru. Selain itu, mereka juga mengundang beberapa runner untuk terlibat, seperti Minak Sopak Runner.
Setelah jalur pendakian berhasil dibuka dan diresmikan, mereka menyerahkan pengelolaannya kepada warga lokal. Area Sumberbening diwakili komunitas Jerse (Jelajah Rimba Sengunglung) yang diketuai Rio.
Komunitas Rimba tidak ingin menjadi pengelola; itu kembali ditekankan oleh Fajar. Menurutnya, komunitasnya tidak usah mengelola uang, karena riskan terjadinya konflik.
“Kalau bisa, Prajurit Rimba tidak usah ada uang, karena sering menimbulkan konflik,” ungkap Fajar sungguh-sungguh.
Wingit
Bulan Oktober 2024, sebelum dibukanya jalur pendakian, Fajar dan dua orang teman pernah memberanikan diri menyusuri jalan setapak dari Sumberbening ke puncak Sengunglung. Ia menuturkan butuh waktu 5 jam untuk naik.
“Berangkat jam 09.00 pagi dan bisa sampai di puncak jam 14.00. Tapi kalau turunnya lebih cepat, kira-kira dua jam saja,” tuturnya.
Ada yang unik dari ceritanya; mereka sempat tidak tahu jalan saat hendak kembali, hingga menimbulkan perdebatan di antara mereka, padahal sebelumnya mereka sudah memasang tanda.
“Bertemu pertigaan, kemudian kami berdebat mana yang kami lalui tadi. Padahal sebelumnya kami sudah menandainya dengan pita; anehnya, pita tidak terlihat, mungkin tertutup kabut,” kata Fajar.
Ia kemudian menyarankan kepada teman-temannya untuk beristirahat sejenak, menurunkan kompor dan menanak air untuk membuat kopi sambil merokok. Selang beberapa waktu, akhirnya mereka menemukan pita yang telah dipasang, menghentikan perdebatan.
“Iya itu, kami akhirnya bisa menganalisa jalan bekas yang kami lalui; ada rumput terinjak, akhirnya kami berhasil turun, sudah surup (menjelang maghrib),” kenangnya.
Tidak hanya itu, jauh-jauh bulan setelah membuka jalur pendakian di Pule, ia pernah ngecamp di Pule, bersama tiga orang. Ia, Rendra, dan mandor Perhutani. Ajakan itu dilontarkan oleh mandor karena penasaran belum pernah ngecamp setelah jalurnya dibuka.
Fajar mengaku saat jam 2 pagi, ia mendengar suara gamelan, sayup-sayup dari kejauhan. Padahal jarak dengan perumahan jauh. Namun pagi itu, ia tidak berani bercerita kepada temannya. Sudah menjadi aturan tak tertulis untuk menghindari berkata yang tidak-tidak di dalam hutan, takut kejadian.
“Di hutan itu kadang kumowo (gampang kejadian), makanya kami bahas saat siang hari; ternyata dua teman saya juga mendengarnya,” kenang Fajar.
Komitmen Prajurit Rimba
Prajurit Rimba, bukan tanpa alasan membuka jalur pendakian; mereka telah lama mendengar adanya rencana tambang emas di Trenggalek, khususnya di Sengunglung. Fajar mengakui, jika ini adalah upaya kecil mereka untuk turut mengawasi jikalau ada orang yang ingin mengeksplorasi gunung tersebut.
“Kami ingin menjaga ekosistem hutan, supaya tidak ada tambang. Soalnya sayang dengan kekayaan flora fauna di Sengunglung yang rusak. Terutama soal air. Sumber mata air di Sengunglung menghidupi warga Dongko dan Pule,” ujar Fajar serius.
Fajar tidak sekadar berimajinasi soal kerusakan lingkungan. Ia pernah merantau di Kalimantan sebagai penanam sawit di bekas-bekas galian tambang. Dalam ingatannya tergambar jelas mengenai dampak tambang.
Ia dan komunitasnya berharap Sengunglung tetap asri dan menghidupi masyarakat sekitarnya. Bagi mereka, hidup enak bukan soal uang banyak, tapi soal hidup nyaman dan tentram di tanah kelahiran.
Kabar Trenggalek - Feature