Kendati memiliki resiko tinggi, namun buruh unduh cengkih mendulang upah yang tinggi. Di tengah hutan di Watulimo, Kabupaten Trenggalek yang padat pohon cengkih, Peci dibantu temannya yang bernama Andi mendirikan ondo (tangga) pagi itu.
Di bagian atas terdapat tali karalon. Diikatkan pada batang pohon di bawahnya, supaya ondo tidak roboh. Ondo terbuat dari pohon bambu utuh.
Panjangnya beragam. Menyesuaikan tinggi rata-rata pohon cengkih. Bambu yang dipilih di lubangi pada bagian atas ruas. Lubang berbentuk kotak tersebut kemudian dipasangi bambu yang telah dibentuk menyesuaikan ukuran lubang, istilahnya adalah untu (gigi) ondo, sebagai pijakan kaki.
Jika pohon cengkih masih pendek, ondo dibuat pendek. Namun, jika pohon cengkih sudah berusia puluhan tahun, ada kalanya satu ondo berukuran satu pohon bambu tidak cukup sehingga harus mencari cara lain.
Biasanya para pengunduh membuat andang, yakni pohon bambu yang dipasang melintang di tengah-tengah pohon cengkih. Ondo telah didirikan. Peci dan Andi telah berhasil mendirikan ondo.
Mereka lantas memanjat ondo-nya masing-masing. Di pinggang terdapat karung dan gantol (kait). Bagi para buruh pemanjat ondo tidak ada alat pengamanan khusus.
Mereka hanya mengandalkan keseimbangan tubuh dengan berpijak pada untu ondo dan berpegang pada batang ondo atau dahan cengkih.
Sebenarnya, unduh cengkih masuk klasifikasi pekerjaan beresiko tinggi. Penulis pernah kehilangan seorang teman sekolah lantaran terjatuh dari ondo saat buruh unduh cengkih.
Karena resikonya, upahnya lebih tinggi dibanding rata-rata buruh lainnya. Upah yang mereka terima dari pemilik kebun berkisar Rp150 ribu - Rp175 ribu per hari.
Tak ayal banyak warga yang berkeinginan menjadi buruh unduh cengkih, meski pada akhirnya banyak pula yang mengurungkan niatnya setelah mengetahui resiko yang sebenarnya.
Fenomena Cengkih di Trenggalek
Pohon cengkih banyak terdapat di Kecamatan Watulimo dan Kecamatan Munjungan. Menemukan pohon cengkih di dua kecamatan tersebut tidaklah sulit, karena banyak ditanam petani di kebun pinggir jalan raya. Keberadaan cengkih di Trenggalek, tak dapat dipisahkan dari Bupati Soetran.
Catatan Misbahus Surur di laman nggalek.co, cengkih bukanlah tanaman endemik Trenggalek. Tanaman rempah yang pernah membuat VOC keranjingan tersebut dikenalkan di bumi Menak Sopal pada tahun 1968-1974.
“Ia, (Sutran), termasuk bapak pembangunan di Trenggalek dengan banyak program: turinisasi, tembokisasi, serta pengenalan Cengkih ke Trenggalek. Dan tentunya juga membuka jalur-jalur sulit antarkecamatan.” tulis Surur.
Niat Bupati Soetran membawa cengkih di Trenggalek tidak lain supaya membawa dampak perekonomian bagi masyarakat. Dan niat tersebut nyatanya terbukti memiliki dampak, salah satunya bagi Peci dan Andi.
Namun meski demikian, cerita cengkih di Trenggalek tak melulu indah, sama seperti halnya cengkih di Maluku. Pohon bernama latin Syzgium aromaticum tersebut selain membawa dampak ekonomi juga membawa persoalan bagi masyarakat. Jika di Maluku, cengkih menggelapkan mata kaum Eropa sehingga mereka berkeinginan untuk menguasai perdagangan Cengkih sepenuhnya.
Di Trenggalek dahulu, cengkih membuat Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto keranjingan melakukan perdagangan monopoli. Ini sesuai catatan Rokhim di nggalek.co
“Para petani cengkih harus menjual cengkih ke koperasi/ Koperasi Unit Desa (KUD) yang kemudian diteruskan ke BPPC (diketuai Tommy Soeharto). Petani menjual ke KUD dengan harga murah, tetapi BPPC menjual ke korporasi-korporasi dengan harga mahal.” tulis Rokhim.
Unduh Cengkih
Mula-mula, pucuk tangkai cengkih memunculkan congol - seperti tunas daun, tapi berupa buah. Setelah itu, berubah menjadi cekreh yang pertanda bagi petani bahwa cengkihnya berbuah. Ini awal baik bagi mereka.
Setelah cekreh kian membesar disebut dengan karok, yakni cekreh yang membesar, namun belum siap diunduh. Tinggal menunggu beberapa minggu untuk siap dipetik. Cengkih harus segera diunduh sebelum buahnya mekar.
Terlebih, ia tidak boleh menjadi plolong (buah cengkih yang membesar dan siap dijadikan benih), karena kualitasnya turun. Jika sudah demikian, harganya juga tidak bagus.
“Ngerah cengkih ki lek iso ojo sampek mekar...lek mekar ki bobote entek. (Memetik cengkih kalau bisa jangan sampai mekar, nanti beratnya menurun)” ujarn Peci, sambil menunjukkan cengkih yang telah menjadi karok.
Peci berpendapat bahwa yang disebut dengan buah cengkih ketika sudah plolong. Jika masih congol hingga karok ia sebut sebagai bunga cengkih.
“Cengkih itu bunga, kalau disebut buah kalau sudah menjadi plolong,” jelasnya.
Cengkih terbaik adalah yang masih semburat (tidak terlalu muda atau memerah karena terlalu tua atau sudah mekar, warnanya hijau kemerah-merahan).
Biasanya, para pengunduh tidak memetik cengkih yang menjadi plolong. Saat memetik, Peci tampak memilah-milah cengkih. Ia tidak memanen cengkih yang masih terlalu muda, pun juga yang menjadi plolong.
“Ada istilah ngasak dalam unduh cengkih, yaitu kembali memanen buah cengkih yang tidak dipetik saat ini karena masih terlalu muda. Nanti jika sudah waktunya, baru dipetik” terangnya saat istirahat. Memang, waktu petik cengkih tidaklah berbarengan. Dalam satu pohon ada yang buah cengkih yang tua dan muda.
Jadi, pemetik harus benar-benar selektif. Peci dan Andi tidak selalu memetik cengkih karena buahnya musiman. Saat sedang musim durian mereka konsentrasi menjadi pengangkut dan penjual durian.
Begitu juga saat musim manggis. Mereka adalah bagian dari masyarakat yang langsung mendapatkan berkah dari pertanian. Memang benar kalau tanah Trenggalek disebut loh jinawi, yang berarti kekayaan alam yang melimpah karena tanahnya subur. (*)