Di sela-sela sore, Kamis, 16 November 2023. Pria paruh baya membuka kembali map yang telah lama ia simpan. Begitu pun dengan trofi yang telah berdebu. Samar-samar, trofi itu bertuliskan "Pencipta Lagu Unggulan, Festival Lagu Daerah Se-Jawa Timur".Pria itu adalah Agus Mukarwanto. Bagi para penikmat lagu campursari, ia lebih dikenal sebagai
Agus Sarondeng. Pada kediamannya di Desa Wonocoyo, Kecamatan Pogalan, Kabupaten Trenggalek, Agus menunjukkan beberapa sertifikat yang pernah ia raih.Ternyata pria kelahiran 24 Agustus 1960 itu telah mengukir banyak prestasi di bidang seni. Agus pernah menyabet prestasi mulai tingkat kabupaten hingga provinsi. Tahun 1999, dirinya meraih predikat sebagai penampil non ranking terbaik di gelaran Festival Pertunjukan Rakyat. Saat itu, acara digelar oleh Departemen Penerangan RI Provinsi Jawa Timur.Agus juga pernah mengantongi trofi Bupati Tulungagung sebagai Juara I Lomba Menyanyi Karaoke. Bertajuk "Merdunya Suara Guruku", event ini digelar oleh Radio Pandowo FM tahun 2006.Yang paling membanggakan, Agus Sarondeng menyabet predikat sebagai 4 Besar Non-Ranking Pencipta Lagu Unggulan di tahun 2007. Predikat itu ia raih dalam gelaran Festival Lagu Daerah Se-Jawa Timur. Kala itu, gelaran diselenggarakan di Gedung Kridha Sasana Budaya, Kota Malang.Selain prestasi, ada lagi hal yang membuat harum nama Agus Sarondeng. Pria berkumis tebal itu merupakan pencipta lagu campursari terkenal. Agus Sarondeng dikenal sebagai salah satu pelaku lawas yang menyumbang karya lagu bertemakan Kabupaten Trenggalek.
Perjalanan Bermusik dan Asal Usul Nama "Sarondeng"
Menarik ke belakang, Agus telah menempatkan garis hidupnya di bidang seni sejak belia. Bisa dibilang, darah seni mengalir dalam dirinya. Karmaji ayahnya, merupakan seorang penari wayang orang. Agus bercerita bahwa ayahnya seringkali berperan sebagai Gathotkaca dalam pementasan wayang orang."Dulu kalau kiprah Gathotkaca itu
kether sekali. Kalau di Surakarta ada Rusman dan pasangannya Bu Darsi, bapak saya itu [berperan] sebagai Rusmannya. Artinya itu perannya biasanya [sebagai] Gathotkaca kalau di wayang orang," Agus bercerita.Agus juga seorang penggemar berat kesenian wayang kulit. Sebelum duduk di bangku SD pada tahun 1967, Agus mengingat samar-samar bahwa dirinya telah menggandrungi wayang kulit. Kelak, kegandrungan Agus terhadap kesenian wayang kulit berpengaruh besar pada karya seninya."Disiplin musik saya itu kan musik Jawa. Dulu Pak Dhe saya itu [juga] menjadi dalang," ujar Agus.Singkat cerita di tahun 1979, Agus melanjutkan pendidikan tinggi ke Yogyakarta. Ia berkuliah di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) Asri yang kini berubah menjadi Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Meski jurusan Agus ialah seni rupa, namun ia memiliki hobi bermusik yang sangat ia gemari.Kemudian di tahun 1987, Agus bersama teman-temannya membentuk sebuah grup musik keroncong. Mereka menyemati grup itu dengan nama "Fajar Bakti". Dari sini, Agus mulai lebih serius dalam aktivitas bermusik. Ia menjadi vokalis sekaligus pemain biola yang sering membawakan lagu-lagu langgam.Sampai akhirnya di tahun 1998, lagi-lagi Agus beserta kawannya membentuk grup musik. Kali ini yang mereka bentuk ialah grup campursari bernama Madya Laras. Di sini, Agus sebagai vokalis dan MC mulai menggunakan nama panggung Agus "Sarondeng".Agus mengaku, julukan "Sarondeng" dulu ia temukan spontan saat dirinya sering berkomunikasi menggunakan radio komunikasi handytalkie (HT). Saat itu, sekitar tahun 1989, "Sarondeng" menjadi nama samaran Agus dalam berkomunikasi lewat HT.Agus menjelaskan bahwa "Sarondeng" ialah gabungan dari Sarun dan Gondang. Sarun sendiri adalah nama dari kakek Agus, sedangkan Gondang ialah nama sebuah desa di Kabupaten Trenggalek di mana kakeknya tinggal."Saya cekak [singkat] Sarun [dan] Gondang itu menjadi Sarundang. Sarundang itu kalau digarbo, tembung dua [dua kata] yang disatukan, menjadi agak menceng [berubah bunyi] menjadi Sarondeng," jelas Agus.Kiblat utama Agus Sarondeng dan orkes Madya Laras dalam bermusik ialah musisi perintis campursari yakni Manthous. Di lain itu, terdapat pula nama-nama lain. Didi Kempot dan Sonny Joss juga menjadi panutan dalam hal musikalitas. Dua nama tersebut jadi panutan terkhusus campursari dengan gabungan pop/dangdut.Bagi Agus, ia cocok mengambil aliran campursari sebab dekat dengan aliran keroncong dan langgam Jawa. Peralatan yang digunakan aliran musik campursari merupakan gabungan antara musik modern seperti gitar elektrik, bas, drum, organ dengan musik etnik yakni gamelan Jawa. Sehingga terjadi kolaborasi bentuk tangga nada penta-tonis (pelog dan slendro) dengan diatonis.Namun, lagu-lagu campursari yang dibuat oleh Agus memiliki kekhasan tersendiri. Ia memilih untuk tetap mempertahankan alat musik gamelan. Beberapa instrumen seperti saron dan kendang tetap ia gunakan dalam karya-karya musiknya."Prinsip saya, campursari [milik saya] ini tetap menggunakan gamelan. Walaupun dicampur dengan menggunakan alat musik yang lain, tetapi tetap menggunakan gamelan asli. Saron-saron gembong ini tetap ada. Kemudian kendang jahipong, kendang Jawa itu juga tetap ada. Ini saya masih mempertahankan supaya pengenalan kepada generasi berikutnya itu tidak akan hilang," tukas Agus.
Lagu "Monggo Tindak Trenggalek" dan "Menak Sopal"
Hingga kini, Agus Sarondeng beserta orkes Madya Laras telah merilis tiga album rekaman. Album pertama mereka rekam di tahun 2005 sejumlah 1500 keping. Dua album lainnya dirilis tahun 2006 dan digarap oleh salah satu label rekaman besar di Surabaya.Dari total 29 judul, 21 lagu di tiga album tersebut merupakan ciptaan Agus Sarondeng. Lagu ciptaannya yang paling melekat di ingatan khalayak ialah "Monggo Tindak Trenggalek" dan "Menak Sopal".Judul itu ialah dua di antara beberapa lagu Agus yang bertema Kabupaten Trenggalek. Agus bercerita bahwa ia terdorong sebab jarang terdapat lagu kebanggaan bagi Kota Alen-Alen."Ketika di kaset itu kan banyak sekali lagu yang membicarakan tentang daerah [contoh: Solo, Blitar, Tulungagung, Surabaya]. Terus saya mikir, Trenggalek ini punya [identitas] yang seharusnya diangkat, tapi belum ada yang menciptakan lagu yang bisa diiringi dengan musik waktu itu. Terus waktu itu tahun 2003, saya mempunyai
ngen-ngen [ide]," ujar Agus.Ia melanjutkan, "
Wah, jane mathuk e digawekne lagu sing diatonis ae!" Apabila dalam bahasa Indonesia, kurang lebih berarti "Wah, sebenarnya cocoknya dibuatkan lagu yang [bernada] diatonis saja!"
Prosederek monggo tindak TrenggalekKuto cilik pabrike tempe kripikAlen-alen wis ono wiwit biyenUgo jajan warno-warno camilanBegitulah penggalan lirik lagu "Monggo Tindak Trenggalek". Berirama campursari khas Agus Sarondeng, ia menggambarkan pesona Trenggalek.Mulai kuliner, hasil bumi hingga wisata digambarkan dalam lirik yang sederhana namun puitis. Susunan rima dan pola ritme tetap terjaga di setiap larik. Mendengar lagu "Monggo Tindak Trenggalek" dapat membawa pendengar pada suasana khas pedesaan.Begitu pun dengan lagu "Menak Sopal". Diawali dengan hentakan instrumen campursari, lagu lekas disahut dengan nyanyian.
Kacarito Trenggalek jaman semonoPoro kawulo gumregut podho makaryoNandur pari ugo nandur polowijoOra keri ngon ingone rojo koyoAgus menceritakan kisah legenda Menak Sopal di lagu itu. Sebagai informasi, Menak Sopal adalah tokoh penyiar agama sekaligus pahlawan pertanian kebanggaan masyarakat Trenggalek.Menurut penuturan lokal, ia menyebarkan agama Islam di masa-masa akhir Kerajaan Majapahit. Menak Sopal juga terkenal sebab membangun Dam (bendungan) Bagong guna mengairi sektor pertanian.Imajinasi Agus tentang Menak Sopal ialah sosok kesatria gagah. Imajinasi tersebut coba ia tuangkan dalam lirik lagu. Sosok Menak Sopal diceritakan dengan lirik yang sederhana, terlepas mitos yang mengiringi kisahnya."Menurut imajinasi saya, jadi [Menak Sopal] ya seorang pahlawan Trenggalek yang bisa mandhegani [memimpin], membuat bendungan dam Bagong. Kalau lepas dari cerita-cerita mistik memang ada yang [menceritakan] buaya putih dan sebagainya itu," ucap Agus."Tapi saya munculkan intinya Menak Sopal adalah orang yang berjuang untuk membuat masyarakat Trenggalek makmur karena membuat dam Bagong dan akhirnya airnya bisa mengaliri sawah-sawah," tambahnya.Lagu "Monggo Tindak Trenggalek" dan "Menak Sopal" ciptaan Agus mendapat respon publik secara luas. Agus menjelaskan, lagu-lagunya banyak dibawakan ulang oleh orang lain. Banyak pula yang menggunakan lagu Agus sebagai musik pengiring acara, khususnya masyarakat Trenggalek.Lagu-lagu Agus juga sempat populer berkat Wakil Bupati (Wabup) Trenggalek tahun 2006. Saat itu yang menjadi Wabup Trenggalek ialah Mahsun Ismail. Agus mengaku kenal secara personal dengan Mahsun Ismail."Pak Masun itu justru yang [juga] mempopulerkan [lagu] ciptaan saya. Di mana-mana ada [grup] campursari Madya Laras. Waktu itu kan
kerep [sering] lah dipakai untuk [gelaran] kabupaten. Misalkan ada acara-acara yang kaitannya dengan hajat kabupaten itu kerep diundang," ujar Agus.
Harapan Lewat Karya Musik
Agus Sarondeng juga beberkan alasan mengapa dirinya konsisten gunakan instrumen gamelan pada musiknya. Terselip harapan generasi berikutnya tetap mengenal produk kebudayaan tinggalan leluhur. Agus sempat memberikan ujaran yang membuka gambaran tentang ketidaktahuan generasi muda soal gamelan."Banyak anak yang tidak tahu yang namanya demung mana, saron mana, bonang itu mana, kempul itu mana, suwuk gong gedhe, nggak tahu. Karena memang Gamelan itu sekarang jarang-jarang yang punya," katanya.Agus melanjutkan, "Minimal di [lagu] campursari saya itu masih ada gamelan. Supaya pengenalan kepada generasi berikutnya itu tidak akan hilang."Lebih penting, ia juga berharap generasi muda tak lupa akan daerahnya sendiri. Bagi Agus, identitas daerah harus selalu diingat dan dihidupi oleh segenap masyarakatnya. Kemarin, kini maupun nanti.