Makna Pantangan Weton Sabtu Pahing bagi Masyarakat Banyumas Jawa Tengah
Dalam kebudayaan Jawa, weton diartikan sebagai hari lahir berdasarkan pasaran Jawa, mulai dari Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Orang Jawa meyakini bahwa weton bisa digunakan untuk mengetahui watak, menentukan hari pernikahan, hingga menentukan nasib seseorang.Akan tetapi, ada juga beberapa pantangan yang diyakini orang Jawa bagi setiap wetonnya. Prof. Sugeng Priyadi MHum, Profesor Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Purwokerto, menjelaskan makna pantangan weton sabtu pahing.Prof. Sugeng Priyadi menulis buku "Makna Pantangan Sabtu Pahing". Dalam buku itu, ia menjelaskan pantangan Sabtu Pahing dikenal khususnya oleh masyarakat Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Orang Banyumas banyak yang takut berpergian maupun menyelenggarakan hajat (khitan, pernikahan) di hari Sabtu Pahing."Karena hari Sabtu Pahing dianggap sebagai hari naas, hari sial, hari yang panas kata orang Banyumas," ujar Prof. Sugeng Priyadi melalui YouTube Sugeng Priyadi Channel.Dalam penentuan weton seseorang, ada istilah neptu. Perlu diketahui, neptu adalah perhitungan antara hari lahir dengan hari pasaran Jawa yang hasilnya akan menentukan weton seseorang. Dalam keyakinan masyarakat Jawa, Sabtu Pahing merupakan weton dengan neptu tertinggi berjumlah 18.Prof. Sugeng Priyadi menjelaskan, orang dengan weton Sabtu Pahing itu mempunyai karakter yang keras. Seperti Sultan Hamengkubuwana IX dari Yogyakarta, yang lahir pada hari Sabtu Pahing."Meskipun masih muda, ketika akan menandatangani perjanjian dengan Belanda, beliau [Sultan Hamengkubuwana IX] itu sangat keras, bersikukuh, dan tidak mudah dipengaruhi oleh Belanda supaya mau langsung tanda tangan. Perangainya sangat keras dan tidak bisa diatur," ucap Prof. Sugeng Priyadi.Oleh karena itu, kolonial Belanda sempat mengalami kerepotan ketika akan melakukan perjanjian dengan calon Sultan Hamengkubuwana IX itu. Akan tetapi, calon sultan itu mendapat bisikan gaib dari leluhurnya supaya meneken perjanjian itu karena Belanda bakal pergi. Barulah ia memberikan tanda tangan.Menurut Prof. Sugeng Priyadi, Sultan Hamengkubuwana IX masih memiliki darah keturunan dari Banyumas. Terutama dari Kanjeng Raden Adipati Danureja I, seorang patih dari Kesultanan Yogyakarta yang berasal dari Banyumas."Beliau [Patih Adipati Danureja I] dinilai sebagai patih yang paling sukses dalam sejarah Mataram. Makanya di Yogyakarta itu muncul yang disebut dengan naskah Babad Banyumas versi Danureja," ungkap Prof. Sugeng Priyadi.Prof. Sugeng Priyadi mengatakan, catatan sejarah itu berkaitan dengan pantangan Sabtu Pahing. Masyarakat Jawa meyakini pada Sabtu Pahing ada lima pantangan. Pertama, tidak boleh berpergian maupun menyelenggarakan hajat (khitan, pernikahan).Kedua, tidak boleh makan daging hewan 'banyak' atau angsa. Ketiga, tidak boleh mempunyai rumah dengan balai malang. Keempat, tidak boleh memakai kuda yang berbulu dawuk bang. Kelima, tidak boleh kawin dengan orang Toyareka.Dalam pengamatan Prof. Sugeng Priyadi, pantangan Sabtu Pahing berkaitan dengan istilah hari Sabat dalam masyarakat Yahudi. Hari Sabat merupakan hari istirahat. Kemudian, ketika dikaitkan dengan kalender Jawa kuno, hari Sabtu adalah sanais kala, yaitu hari ketujuh yang disebut juga sebagai hari istirahat."Kalau hari istirahat sebenarnya orang tidak boleh melakukan sesuatu kegiatan yang besar," ucap Prof. Sugeng Priyadi.Lebih lanjut, Prof. Sugeng Priyadi menjelaskan pantangan tidak boleh makan daging hewan banyak atau angsa pada hari Sabtu Pahing. Perlu diketahui, 'banyak' adalah bahasa Jawa untuk hewan angsa. Sedangkan kata angsa berasal dari bahasa sansekerta yaitu hamsa."Angsa itu adalah tunggangan atau wahana Dewa Brahma. Berarti ada simbol ketuhanan. Jadi, maksudnya orang Banyumas tidak boleh melupakan ketuhanan, kepercayaan kepada tuhan pencipta," jelas Prof. Sugeng Priyadi.Kemudian, hewan 'banyak' atau angsa adalah binatang totem (benda atau makhluk hidup yang dipuja). Angsa merupakan binatang yang menjadi simbol nenek moyang orang Banyumas."Karena orang Banyumas itu keturunan tokoh-tokoh yang menggunakan nama 'banyak'. Banyak Codro, Banyak Wirodo, Banyak Keroma, Banyak Belanak, Banyak Geling, dan sebagainya, yang sebagian besar adalah keturunan dari Pajajaran, Sunda," jelas Prof. Sugeng Priyadi.Sehingga, kata Prof. Sugeng Priyadi, pantangan Sabtu Pahing yang tidak boleh makan daging hewan 'banyak' atau angsa supaya orang Banyumas tidak melupakan nenek moyangnya yang berasal dari Sunda."Itulah sebenarnya, [kalau orang Banyumas] membunuh 'banyak' berarti membunuh atau melupakan nenek moyangnya yang berasal dari Sunda," tandas Prof. Sugeng Priyadi.
Kabar Trenggalek Hadir di WhatsApp Channel Follow