KBRT – Di sudut RT 26 RW 08 Kelurahan Surodakan, Kecamatan Trenggalek, tiap sore pelataran sebuah rumah selalu dipenuhi anak-anak kecil yang menari dengan semangat. Iringan musik tradisional berdenting dari speaker sederhana, membaur dengan tawa riang dan semangat ibu-ibu yang sibuk merekam putra-putrinya.
Tempat itu bukan sekadar sanggar tari. Ia adalah rumah tumbuhnya ratusan mimpi—dan rumah lahirnya gerakan yang membuat orang makin tahu Indonesia, dari Trenggalek.
Sanggar itu bernama Sanggar Pawon, dikelola oleh Hantin Malini Dwitantri atau akrab disapa Tantri. Sejak 2008, ia mendedikasikan hidupnya untuk dunia tari. Saat mendirikannya, Tantri bahkan masih duduk di bangku SMP. “Awalnya cuma lima anak, tetangga semua. Sekarang sudah ratusan, bahkan dari luar Trenggalek pun ada,” kisahnya.
Sanggar Pawon kini membina lebih dari 600 penari dari berbagai usia, mulai dari taman kanak-kanak hingga SMA. Tak hanya menjaga warisan tari nusantara, sanggar ini juga aktif menciptakan karya tari baru yang lahir dari rahim budaya lokal Trenggalek.
Salah satu maha karyanya adalah Tari Trenggalek Djati—tarian yang seluruh unsurnya digali dari alam, sejarah, dan kearifan lokal Trenggalek. Video tari ini telah ditonton lebih dari 135 ribu kali di kanal YouTube, dan menjadi repertoar tetap di puluhan sanggar tari hingga pentas di luar daerah.
“Selain tari nasional, di sini kami ajarkan banyak tarian hasil garapan sendiri. Ada Tari Samira Santika, Satria Piningit, hingga Gegok. Semua kami buat dengan nuansa Trenggalek,” ujar Tantri sambil tersenyum, setelah selesai melatih puluhan anak usia SD.
Ciri khas lokal menjadi napas utama dalam setiap langkah dan irama tarian. Musik pengiring diciptakan sendiri, koreografi disesuaikan dengan karakter masyarakat, dan kostum dirancang untuk membumikan budaya.
Bagi Tantri, tari bukan sekadar ekspresi seni—tapi cara mencintai tanah kelahiran. “Trenggalek itu tenang, ayem. Alamnya indah. Budayanya kaya. Saya ingin anak-anak di sini tahu betapa berharganya itu semua,” ungkapnya.
Yang membuat Sanggar Pawon istimewa, bukan hanya jumlah muridnya, tapi juga dampak yang ditinggalkan. Banyak lulusan sanggar ini kini membuka sanggar di daerahnya masing-masing, bahkan ada yang mengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

“Lulusan dari sini sudah banyak yang jadi pengajar. Itu kebanggaan tersendiri. Artinya api kecil ini terus menyala,” kata Tantri dengan mata berkaca.
Dengan biaya hanya Rp50 ribu untuk delapan kali pertemuan, sanggar ini tidak hanya membina kemampuan seni, tapi juga membuka akses yang setara bagi keluarga dari berbagai latar belakang ekonomi.
“Di sekolah, anak saya berhenti ekskul karena biaya. Tapi di sini bisa lanjut belajar nari lagi,” tutur Ayuk Pramesti, wali murid asal Desa Dawuhan.
Semangat Tantri dan murid-muridnya adalah bukti bahwa seni bisa tumbuh besar meski berawal dari tempat sederhana. Dari lantai keramik pelataran rumah yang dipenuhi jejak kaki kecil, lahirlah pelita yang menjaga seni tari tetap hidup.
Dari Trenggalek, mereka bergerak. Bukan sekadar menari, tapi menuturkan cerita yang membuat siapa pun makin tahu Indonesia—dari akar budaya yang terus dijaga dan dikembangkan oleh tangan-tangan muda yang bersinar.
Kabar Trenggalek - Sosial
Editor:Zamz