Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

My Account

Ruwatan Trenggalek, Warisan Sunyi di Balik Wayang yang Terus Dijaga Dalang Samidi

  • 01 Jul 2025 20:00 WIB
  • Google News

    KBRT – Di tengah makin sepinya pentas wayang kulit di pelosok desa, masih ada satu tradisi tua yang terus dirawat dalam diam: ruwatan. Di sebuah sudut Kecamatan Watulimo, Trenggalek, Dalang Samidi memilih tetap setia menjalani peran sebagai peruwat—sang penjaga ritual leluhur yang kini nyaris luput dari perhatian generasi muda.

    “Sekarang ini saya masih dalang, tapi hanya meruwat saja,” ucap Samidi, ketika ditemui di kediamannya yang sederhana.

    Ruwatan adalah prosesi sakral yang diyakini mampu menetralkan energi buruk yang melekat pada seseorang, tempat tinggal, bahkan komunitas. Dalam pertunjukan wayang, ruwatan biasanya menjadi satu paket dengan lakon “Murwokolo”, cerita yang mengandung doa keselamatan dan perlindungan dari bala.

    Menurut Samidi, lakon Murwokolo punya tujuan utama: membersihkan sukerto—yakni sifat-sifat atau nasib buruk yang dipercaya bisa mengundang petaka jika tidak disucikan. “Kalau menurut kejawen, semua orang itu perlu diruwat,” ungkapnya dengan penuh keyakinan.

    Samidi tak sekadar menggelar wayang, ia juga mempersiapkan seluruh elemen pendukung ruwatan. Mulai dari sesaji bunga melati, mawar, kenanga, hingga dupa dan kemenyan, semuanya disusun dengan penuh makna. Lantunan gamelan pun mengiringi pertunjukan, menciptakan atmosfer spiritual yang menyentuh batin siapa pun yang hadir.

    ADVERTISEMENT
    Migunani
    Tradisi ruwatan di Trenggalek yang terus bertahan. KBRT/Mirza

    Meski zaman telah berubah dan panggung-panggung wayang kini lebih banyak sunyi, Samidi tak goyah. Ia tetap menerima panggilan ruwatan dari keluarga-keluarga yang mempercayai tradisi ini. Kriteria mereka pun tak sembarangan: mulai dari anak tunggal (ontang-anting), pasangan anak laki-laki dan perempuan (sekar sepasang), hingga keluarga dengan formasi lima anak laki-laki atau lebih (pandhawa lima).

    “Ruwatan itu bukan hal baru. Tradisi ini sudah ada sejak zaman Sunan Kalijaga. Beliau itu dalang pertama di tanah Jawa,” ujar Samidi sembari tersenyum tipis.

    Dalam sunyi, Samidi menjaga bara kecil tradisi. Ia bukan sekadar dalang, tapi juga penghubung zaman. Di tangan para peruwat seperti dirinya, warisan leluhur tak dibiarkan padam meski tak lagi ramai. Mereka menjadi pengingat bahwa di balik lakon dan gamelan, ada doa-doa yang tak henti dipanjatkan demi keselamatan semesta.

    Melalui kisah Samidi dan ruwatannya, diajak makin tahu Indonesia, negeri dengan kebijaksanaan lokal yang dalam dan berlapis. Tradisi seperti ruwatan bukan sekadar ritual, melainkan refleksi hubungan manusia dengan alam, leluhur, dan takdir yang diyakini bisa dibersihkan lewat kesungguhan niat.

    Kabar Trenggalek - Sosial

    Editor:Zamz

    ADVERTISEMENT
    BPR Jwalita