Sabtu siang, 9 November 2024, Kecamatan Watulimo mendadak lebih ramai dari biasanya. Selepas tengah hari, suara mesin kendaraan bercampur suara lantang dari pengeras suara menggema di udara, seolah membawa kabar penting yang tak boleh dilewatkan. Itu bukan iring-iringan pawai karnaval, melainkan "ledang"—cara sosialisasi unik yang digagas PPK Watulimo untuk Pilkada Serentak 2024. Dalam tradisi Jawa, ledang berarti berkeliling menyampaikan kabar, dan kali ini kabar itu adalah ajakan untuk menggunakan hak pilih pada 27 November 2024.
Apel Bersama di Bawah Matahari Siang
Kegiatan dimulai dengan apel bersama di depan kantor Kecamatan Watulimo. Forkopincam, termasuk perwakilan Polsek dan Koramil, ikut hadir, menambah kesan resmi pada acara yang sebenarnya penuh canda tawa ini. Dua kendaraan disiapkan: satu mobil patroli dari Polsek untuk memimpin rombongan, dan satu lagi mobil khusus dengan sound system, siap menggemakan ajakan demokrasi.
Ketua PPK Watulimo, Ahmad Nur Kholiq, dalam sambutannya mengatakan, “Ledang ini untuk menyentuh langsung masyarakat. Kami ingin memastikan pesan sampai ke pelosok, karena suara mereka adalah fondasi demokrasi.”
Daftar Isi [Show]
Menyusuri Rute Pegunungan yang Penuh Kehangatan
Rute yang ditempuh pun cukup panjang dan berliku. Dimulai dari kantor kecamatan, rombongan menuju Desa Tasikmadu, kemudian melanjutkan perjalanan ke Prigi, Slawe, Gemaharjo, Watulimo, hingga Watuagung melalui jalur khas pegunungan. Di jalur pulang, kendaraan melintasi rute bawah melewati Desa Sawahan dan Margomulyo, sebelum akhirnya kembali ke kantor kecamatan.
Di sepanjang jalan, rekaman suara khas Mukti Hariyanto, anggota PPK Watulimo, bergema dari pengeras suara, memenuhi udara dengan irama yang tak biasa. Dengan logat khas yang mengingatkan pada penjual tahu bulat goreng dadakan di mobil, ia berteriak:
“Ojo lali dulur, tanggal pitu likur, sasni November rong ewu pat likur, ojo mung nganggur, budalo menyang TPS mu, lur, hak suaramu iku luhur, gunakno kanti temen lan jujur, mugo-mugo iso ndadekne makmur!”
Tak hanya menarik perhatian, rekaman suara Mukti ini membawa suasana yang akrab dan hangat, menonjolkan pendekatan sosialisasi yang lebih personal—sebuah usaha nyata agar Pilkada 2024 tak hanya sekadar pengumuman, tetapi juga menjadi obrolan sehari-hari di masyarakat.
Pesan sederhana ini disampaikan dengan cara yang hidup dan unik, diulang-ulang hingga terasa seperti mantra yang tertanam di alam bawah sadar. Tidak sedikit warga yang tergopoh keluar rumah, penasaran ingin melihat apa yang terjadi. Ada yang melambaikan tangan, ada pula yang mengangguk tanda paham, tetapi tak jarang juga yang tergelak karena suara Mukti di rekaman terdengar jenaka—seakan sedang menawarkan promosi tahu bulat dengan tambahan bumbu lucu khas pemilu. Bahkan, ada anak kecil dengan polosnya bertanya pada orang tua mereka, "Bu, iki bakul opo, kok kaya mobil tahu bulat?" Suasana yang awalnya biasa saja menjadi penuh gelak tawa dan interaksi hangat di sepanjang rute.
Tawa, Jargon, dan Harapan
Jargon-jargon yang diciptakan Mukti memang menjadi bumbu utama ledang ini. “Demokrasi ora mung milih, tapi ngejo barang,” candanya, mengacu pada doorprize yang disiapkan untuk pemilih di beberapa TPS. Bahkan beberapa warga yang mendengar langsung menirukan, “TPS yo kaya pasar, dulur, rame lan makmur!”
Antusiasme warga terasa nyata. Di desa-desa yang dilewati, orang-orang berdiri di depan rumah mereka, melambai, atau sekadar tersenyum. Anak-anak berlarian sambil menunjuk iring-iringan, seolah melihat parade meriah. Dalam suasana ini, pesan demokrasi bukan sekadar ajakan kaku, tetapi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang hangat.
Langkah Awal yang Akan Berlanjut
Ini adalah kali pertama PPK Watulimo mengadakan ledang untuk sosialisasi pemilu. “Ledang ini bukan hanya soal menyampaikan informasi, tetapi juga membangun kesadaran bahwa demokrasi milik semua,” jelas Resty Nilamsari, Divisi Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih PPK Watulimo.
Rencananya, menjelang hari-H, mereka akan menggelar sosialisasi serentak melalui mushola dan masjid di seluruh kecamatan. “Kita ingin masyarakat benar-benar paham bahwa suara mereka penting. Dengan cara ini, kita berharap tingkat partisipasi bisa meningkat,” tambahnya.
Harmoni Demokrasi di Tengah Pegunungan
Ledang Watulimo hari itu bukan sekadar pawai kendaraan. Ia menjadi gambaran bagaimana demokrasi menyentuh masyarakat hingga pelosok. Di jalan-jalan berliku pegunungan, suara-suara ajakan itu tidak hanya menggaungkan tanggal, tetapi juga menyampaikan harapan: harapan akan partisipasi, harapan akan perubahan.
Dari kantor kecamatan hingga sudut-sudut desa, ledang demokrasi ini menjadi nyanyian modern tentang pentingnya suara rakyat. Bukan suara dalam arti literal, tetapi suara yang terbungkus dalam pilihan di TPS, suara yang menentukan masa depan bersama. Dan hari itu, di Watulimo, suara itu mulai bergema, mengalir bersama angin pegunungan.