KBRT – Nelayan Pantai Prigi Trenggalek, mengeluhkan tingginya biaya tambat labuh kapal di Pelabuhan Nusantara Prigi. Setiap harinya, mereka dikenakan tarif sebesar Rp17.350 meskipun tidak sedang beraktivitas melaut.
Keluhan tersebut disampaikan oleh Mamat, pemilik kapal jenis porsen Artomoro, yang setiap hari membayar biaya tambat, labuh, dan kebersihan kolam tanpa melihat musim tangkapan.
“Tambat labuh yang ada di Pantai Prigi mohon maaf kurang membantu kami nelayan, karena setiap hari baik aktivitas atau tidak itu tetap kena,” kata Mamat.
Berdasarkan bukti pembayaran yang diterima Mamat, biaya tersebut terbagi menjadi tiga komponen: tambat Rp10.750, labuh Rp4.000, dan kebersihan kolam Rp2.600. Pembayaran dilakukan melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan dikoordinasikan oleh pihak Syahbandar.
Mamat menyebut, saat ini terdapat sekitar 150 kapal jenis porsen yang setiap harinya parkir di Pelabuhan Prigi. Rata-rata kapal memiliki ukuran di bawah 30 Gross Ton (GT), sehingga besaran biaya yang dikenakan hampir seragam.
Selain sebagai kewajiban pelabuhan, bukti pembayaran tersebut juga digunakan untuk mengajukan surat rekomendasi pembelian bahan bakar solar. Namun, menurut Mamat, satu surat rekom hanya berlaku untuk sekitar 300 liter solar, dan tidak serta-merta menjamin ketersediaan bahan bakar.
“Rekomendasi itu cuma untuk mendapat nomor antrean beli solar. Untuk dapat solarnya bisa tiga sampai lima hari kemudian,” jelasnya.
Kesulitan semakin terasa ketika memasuki masa paceklik atau bukan musim ikan. Mamat berharap ada kebijakan relaksasi biaya, khususnya saat nelayan tidak melaut.
“Kalau sedang musim ikan tidak masalah membayar. Tapi kalau tidak musim, sebaiknya diberi keringanan. Setidaknya jangan penuh, separuh pun tidak apa-apa,” harapnya.
Ia juga menekankan bahwa kondisi nelayan di Prigi berbeda dengan nelayan di wilayah laut utara. Nelayan di utara biasanya bisa melaut selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu.
Sehingga biaya tambat labuh lebih hemat. Sementara itu, nelayan Prigi cenderung melaut setiap hari dan kembali ke darat setiap sore.
“Nah kalau kami, setiap hari berangkat dan setiap hari pulang. Jadi pasti tiap hari bayar tambat labuh,” tambahnya.
Dengan situasi ini, Mamat berharap ada perhatian dari pihak pelabuhan dan pemerintah agar tarif tambat labuh lebih fleksibel, terutama bagi nelayan kecil yang menggantungkan hidup pada hasil laut harian.
Kabar Trenggalek - Mata Rakyat
Editor:Zamz