Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Kisah Sukono, Petani Cabai Trenggalek yang Mampu Angkat Pendidikan Anaknya

Kabar Trenggalek - Rumah Sukono berhadapan dengan ladang cabai yang cukup luas. Ladang itu bagaikan harta yang berharga. Karena dia dan keluarga menggantungkan hidup dari penghasilan panen cabai saja.

Ladang cabai milik petani cabai Trenggalek itu sedang berbuah. Warnanya hijau yang sedikit kekuning-kuningan. Warna itu menunjukkan masa panen yang semakin dekat atau sekitar tiga hari ke depan.Berada tepat di tengah ladang, Sukono memeriksa tiap inci tanaman cabai, apakah ada yang terindikasi penyakit atau tidak. Namun hal itu justru membuatnya sedikit kecewa, karena banyak buah cabai yang berpenyakit, sehingga tidak layak jual.Hasil panen yang sedemikian rupa, kata Sukono, sudah-lah lumrah. Bukan kali ini saja, tapi hampir tiap masa panen, pasti ada buah atau tanaman yang rusak. Baginya, hasil tani musim ini tetap rezeki, dibandingkan gagal panen.Pria kelahiran 1969 itu mulai menekuni tani cabai sejak 2015 lalu. Tapi, Sukono juga punya pekerjaan utama sebagai kaur umum di Pemerintahan Desa (Pemdes) Dawuhan, Kecamatan Trenggalek, sejak 2010.Sukono tertarik menambah pekerjaan sebagai petani cabai, karena pekerjaan utamanya tak mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Tiap bulan pekerjaan itu cuma menghasilkan Rp 600 ribu.Sementara, potensi ekonomi pertanian cabai cukup menggiurkan, meskipun beresiko tinggi. Oleh sebab, tanaman itu rentan terserang penyakit. Bapak empat anak itu sudah membuktikan, jika tanaman cabai bisa tetap tumbuh selama setahun penuh."Sejak 2015 sampai sekarang, saya terus menanam cabai [tidak mengenal musim]," ucapnya.Sukono mengakui bahwa dirinya bukan orang yang punya pengetahuan ilmiah tentang tanaman padi. Melainkan hanya belajar dari pengalaman.Menurutnya, bertani cabai hanya cukup dengan keuletan dan ketelatenan, oleh sebab cabai tipikal tanaman yang gampang terserang penyakit, sehingga memerlukan perawatan yang lebih ekstra.Dan, rutinitas pengecekan kondisi tanaman tak lain untuk memberikan penanganan yang tepat, agar hasil panen menjadi lebih maksimal."Saya semprot pestisida, insektisida, dan itu memerlukan tenaga," ucapnya.Benar saja, ketelatenan Sukono merawat tanaman membuat hasil panen-nya cukup lumayan. Dia berhasil menyelamatkan 75 persen lahan yang bisa dipanen, sementara harga cabai sedang tinggi-tingginya mencapai Rp 70 ribu dari petani."Pada 2015 lalu, saya coba tanam padi, ternyata hasilnya bagus. Jadi, saya lanjutkan sampai sekarang," ungkapnya.Namun Sukono tidak pernah menghitung detail mengenai labanya. Dia cuma mengingat jika modal yang keluar sekitar Rp 3 juta, sementara penghasilannya berupa cukup untuk membiayai keperluan perguruan tinggi anak pertama, kedua, kemudian biaya sekolah ketiga dan empat."Tenaga tidak saya hitung, mulai masa tanam sampai panen itu berkat bantuan istri, dan anak-anak," jelasnya.Metode meminimalisasi cost tenaga pun berhasil meningkatkan margin. Dan, metode itu Sukono pakai sejak awal menanam cabai.Semakin tahun, pria berkulit sawo itu semakin mencintai pertanian cabai. Kecintaan itu mendorongnya untuk membuat video-video berkonten cabai di YouTube. Akun YouTube Kang Sukono itu berhasil menarik sekitar seribu subscriber."Sampai kini masih terus aktif buat video. Respon dari netizen ternyata bagus. Dan, banyak juga yang termotivasi bertani cabai," ujarnya.Kini, akun YouTube menjadi project-nya ke depan. Kendati Sukono tidak mengejar dolar hijau, dia ingin lebih menginspirasi warganet menjadi petani sukses."Pernah ada dua orang telepon saya. Mereka berterima kasih dengan konten pertanian cabai, karena kini mereka sukses," ungkapnya.