Kabar Trenggalek - Salah satu organisasi terbesar di Indonesia, Muhammadiyah akan melaksanakan Muktamar ke-48 pada tanggal 18-20 November 2022 yang akan dihelat di Surakarta. Kendati kegiatan ini sebagai ajang pemilihan ketua umum di Muhammadiyah, namun hingga saat ini informasi siapa yang akan menjadi kandidat terkuat sebagai ketua umum masih adem ayem.
Muktamar adalah permusyawaratan tertinggi di Muhammadiyah. Selain momen regenerasi, perhelatan ini menjadi ajang silaturahmi dan kolaborasi warga persyarikatan se-Indonesia bahkan Dunia. Namun yang membuat bertanya-tanya sebagian masyarakat adalah, kenapa nama-nama calon ketua tidak santer beredar di masyarakat sebagaimana lazimnya pemilu atau pemilihan ketua umum organisasi lain, tidak ada baliho yang memampang wajah-wajah calon Ketua Umum Muhammadiyah.Dr. Soeripto, Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Trenggalek, memberikan tanggapan soal alasan pemilihan ketua umum di Muhammadiyah cenderung adem ayem. Ia menyampaikan, secara kultur, sistem pemilihan ketua di Muhammadiyah memang damai dan tidak bisa diintervensi siapapun sejak dahulu. “Muktamar di Muhammadiyah itu cenderung damai karena dalam menjalankan mekanisme suksesinya selalu mandiri, menggunakan pendanaan yang dibiayai oleh internalnya” Jelas Soeripto.Baca: Dukung Bupati Trenggalek Tolak Tambang Emas, PP Muhammadiyah Bakal Surati PresidenMandiri Secara Finansial
Lelaki berkacamata yang juga menjadi Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Tulungagung tersebut menyebut soal mekanisme partisipatif yang benar-benar dijalankan oleh setiap anggota. Mulai dari struktural pimpinan, anggota persyarikatan dan amal usaha milik Muhammadiyah, memiliki andil penting dalam Muktamar. Bahkan peserta muktamar pun juga bahu-membahu membiayai Muktamar.“Ada sumbangan wajib organisasi atau biasa disebut SWO yang harus disetor PDM [Pimpinan Daerah Muhammadiyah] ke pimpinan pusat untuk persiapan Muktamar. SWO ini dihimpun dari setian PCM [Pimpinan cabang Muhammadiyah] di tingkat kecamatan. Ada lagi SWP [Sumbangan Wajib Peserta] untuk muktamar, per orang Rp. 1.200.000, disamping itu juga masih ada kontribusi dari setiap AUM [Amal Usaha Muhammadiyah]” ungkapnya saat ditemui tim kabar trenggalek.Soeripto menyampaikan, secara mandiri, organisasi Muhammadiyah mampu membiayai kegiatan tertingginya tanpa menyodorkan proposal kepada pihak eksternal. Kondisi itulah yang menyebabkan Muktamar Muhammadiyah terkesan damai dan anti intervensi dari siapapun.Baca:Milad Muhammadiyah, Bupati Trenggalek: Terima Kasih Atas Komitmen Bersama Menolak Tambang EmasMekanisme Pemilihan Khas Muhammadiyah
Menyoal mekanisme pemilihan ketua, lanjut Soeripto menjelaskan bahwa Muhammadiyah memakai sistem aspiratif dan partisipatif yang tidak langsung menunjuk siapa yang akan menjadi ketua.“Ada panitia pemilihan yang tugasnya menjaring calon pimpinan yang telah diusulkan, jadi setiap daerah memiliki hak dan kewenangan untuk mengusulkan calon-calon kepada panitia pusat yang selanjutnya dilakukan seleksi,” terang Soeripto.Tingkat keaktifan di organisasi, kelengkapan administrasi seperti NBM (Nomor Baku Muhammadiyah), menjadi pertimbangan penting bagi organisasi ini, hasil seleksi yang memenuhi syarat selanjutnya dikirimkan kepada panitia pemilihan.Panitia mengirimkan surat kesediaan dicalonkan kepada mereka yang lulus verifikasi, surat ini menjadi kunci bahwa yang bersangkutan siap sedia dipilih oleh warga Muhammadiyah, apabila mengembalikan surat maka dianggap telah rela dan bersedia.Baca: Apel Kokam Trenggalek Serukan Penolakan Eksploitasi Tambang Emas“Informasinya, dari ratusan orang yang dicalonkan, ada 96 orang yang lulus verifikasi dan bersedia untuk dicalonkan. 96 ini akan diverifikasi kembali dan ditetapkan dalam sidang tanwir menjadi 39 calon tetap. Nah 39 orang inilah yang akan dipilih dalam muktamar,” ujar Soeripto.Peserta muktamar yang memiliki hak pilih ternyata tidak memilih satu calon ketua umum, melainkan memilih 13 orang yang akan dijadikan formatur berdasarkan suara terbanyak.Tiga belas orang pemilik suara terbanyak dari 39 calon lainnya, kemudian akan bermusyawarah mufakat untuk menentukan siapa yang akan menjadi ketua umum, sedangkan lainya akan menjadi anggota pimpinan.“Jadi tidak bisa orang lain mengkondisikan atau mengintervensi siapa yang akan menjadi ketua umum Muhammadiyah karena sistem ini, yang jadi perhatian penting lagi adalah, secara kultural, di Muhammadiyah tidak dikenal istilah mencalonkan diri sendiri, melainkan dicalonkan. Di Muhammadiyah, lebih banyak rebutan menolak menjadi ketua, bukan sebaliknya, ambisius menjadi ketua” tandas Soeripto.