Kamis malam di Desa Banaran, Kecamatan Tugu, Kabupaten Trenggalek. Lampu kuning menyinari teras rumah yang dihiasi barang antik dan bendera Hinomaru. Di bawah bendera nasional Jepang itu, seorang lelaki paruh baya duduk sambil menghisap rokok kretek dari pipanya.Lelaki itu bernama Sugeng. Ia merupakan seorang pelaut asal Trenggalek yang pernah mengelilingi lautan Asia sejak 1981. Kini, Sugeng berusia 63 tahun. Sambil perlahan menghisap rokok, ia menceritakan kenangan dan kekagumannya terhadap Negeri Matahari Terbit.“Pertama kalinya ke Jepang di daerah Okinawa, naik lagi Mitsu, ke Yokohama, terus ke Tokyo, terus terakhir ke sebentar dekatnya Hiroo. Sempat perbaikan kapal kargo hampir satu bulan setengah di Yokohama...Hobinya dulu di cafe, ngopi wes paling the best enjoy itu cewek-cewek Jepang,” ujar Sugeng.[caption id="attachment_74415" align=aligncenter width=1280]
Sugeng (tengah, depan, baju putih) dan kawan-kawan juru mudinya dari Cina, Korea, Burma, dan Filipina, menaiki kapal kargo di lautan Pulau Buton tahun 1983, untuk belanja bahan makanan/Foto: Dok. Sugeng[/caption]Sugeng juga mengagumi kehidupan di Jepang, mulai dari bangunan rumah yang klasik hingga kedisiplinan masyarakatnya. Dalam kenangan Sugeng, anak-anak di Jepang sudah terbiasa disiplin. Bahkan, jika ada pekerja yang tidak tepat waktu naik kereta, anak-anak di Jepang akan memarahi pekerja itu.“Orang Jepang itu disiplin banget. Mulai kecil, TK, itu diasramakan. Jadi bapak ibunya kerja, anaknya sudah dirawat di TK. Waktu makan ya makan, waktu mandi ya mandi. Pagi diantar, sore dijemput ibunya. Pagi jamnya anak sekolah. Jam 7 ke atas untuk orang pekerja. Jadi kalau sebelum jam 7 naik kereta, ya dimarahi sama anak-anak sekolah. Di sana disiplin,” cerita Sugeng.
Kisah Awal Menjadi Pelaut
[caption id="attachment_74414" align=aligncenter width=1280]
Sugeng (tengah) di Taman Hiburan Rakyat tahun 1978, saat Sekolah Pelayaran di Surabaya/Foto: Dok. Sugeng[/caption]Sugeng lahir pada tanggal 19 Oktober 1960. Angan-angan untuk menjadi pelaut sudah ia pikirkan setelah lulus dari SMP 1 Trenggalek tahun 1979. Sugeng memutuskan untuk lanjut sekolah di Pelayaran Surabaya. Kemudian, ia mendaftar ke perusahaan Bendera Panama.“Mau masuk STM, tak lihat kok STM kerjanya apa ya besok, ah saya pengen sekolah di Pelayaran Surabaya. Ujian negara belum selesai, saya iseng-iseng ngelamar di luar negeri, perusahaan asing bendera Panama tahun 1980, diterima. Tahun 1981 saya langsung pergi ngambil kapal, di India,” terang Sugeng.Pengalaman di Sekolah Pelayaran Surabaya tahun 1979-1980 menjadi bekal Sugeng untuk mengelilingi laut Asia. Selama bertahun-tahun, ia menjadi juru mudi, berkeliling mengarungi lautan Asia. Sugeng dan kawan-kawannya sering nongkrong di Hong Kong.“Kapal bendera Panama ngambil semen di Filipina, dibawa ke India, kembali lagi terminalnya di Hong Kong. Saya pertama kapal kargo, kedua kontainer peti kemas, usia masih 21 tahun. Saya mulai melanglang ke luar negeri sejak muda. Tempo dulu seneng,” kata Sugeng.Kehidupannya sebagai pelaut dihabiskan selama 17 tahun di Hong Kong, sisanya ia pindah-pindah ke negara lain. Mulai dari India, Filipina, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Vietnam, Malaysia, dan Singapura.[caption id="attachment_74413" align=aligncenter width=1280]
Sugeng (baju putih) saat di Rizal Park, Manila, mengikuti demo insiden pembunuhan Benigno Aquino Jr., Senator Filipina, pada 1983/Foto: Dok. Sugeng[/caption]“Ke Jepang tahun 1989 start. Itu dapat owner dikontrak di Jepang 2 tahun lebih. Yang paling lama di Hong Kong itu sekitar 17 tahun. Di Filipina kontrak setahun muat semen ke Asia. Di korea hanya bongkar muat saja, di Taiwan juga gitu,” ucapnya.Khusus di Bangkok, Sugeng dan kawan-kawannya mesti membawa bahan makanan, seperti kacang hijau, beras dan makanan lain yang diwadahi karung. Sementara itu, kamarnya berada di dalam kapal. Satu orang dapat satu kamar yang lengkap dengan TV dan toilet. Di sela-sela pekerjaan sebagai pelaut, Sugeng menikmati waktu dengan cangkruk di Bangkok.Sugeng ingin terus mengenang kekagumannya dengan kehidupan di negara-negara yang disinggahi. Oleh karena itu, di saat-saat tertentu, ia menyimpan bendera kapal yang sudah robek. Sebagai juru mudi, ia juga bertugas mengganti bendera kapal sesuai bendera negara yang dimasuki.“Petugas juru mudi kan pagi siang menurunkan bendera, itu tugas saya. Di mana negara mau masuk Singapura, bendera Singapura dinaikkan. Kena angin, bendera sobek dikit, terus laporan rusak, tak bawa banyak. Sampai saya punya bendera Israel, Kuwait, Jepang,” ujarnya.“Ini bendera asli dari Jepang yang membuat pemerintah Jepang,” kata Sugeng sambil menunjuk bendera Hinomaru di atasnya.
Pulang ke Trenggalek
Kenangan Sugeng mengelilingi laut Asia berakhir di 1997. Ia pulang ke Trenggalek. Bukan pulang karena kangen, tapi Sugeng pulang sebagai dampak dari situasi politik di Hong Kong. Pada 1 Juli 1997, Hong Kong diserahkan dari Inggris ke Cina. Peristiwa itu mengakhiri 156 tahun kekuasaan Inggris di wilayah jajahan Hong Kong, yang dimulai pada tahun 1841.“Iya kan, Hong Kong sudah habis kontraknya dari Inggris. Hong Kong diminta Cina. Baru semua crew orang-orang asing kembali. Lalu, pihak Cina minta crew kapal orang Cina semua, gak pakai kita-kita orang asing,” terang Sugeng.Sugeng menyesalkan kepulangannya ke Trenggalek. Jiwa mudanya untuk berpetualang mengarungi samudera yang masih membara harus dipadamkan secara paksa.“Kalau nggak ada kondisi situasi politik itu, mungkin masih melaut gitu kan, sampai elek, yang penting kondisi fit,” kata Sugeng.Sebagai bentuk pelampiasan atas cita-citanya yang kandas, Sugeng mengumpulkan berbagai barang yang ia dapatkan selama melaut dari berbagai negara di Asia. Barang itu kini terlihat antik. Kesannya, barang antik itu menyimpan segudang kenangan petualangan Sugeng. Barang antik itu seakan-akan menyimpan jiwa petualangan melaut Sugeng supaya bisa menyala meskipun redup.[caption id="attachment_74417" align=aligncenter width=1280]
Koleksi barang antik dan kawasan milik Sugeng, kenang-kenangan petualangan mengelilingi lautan Asia/Foto: Wahyu AO (Kabar Trenggalek)[/caption]“Aku akan bangun rumah yang klasik tempo-tempo dulu, seperti rumah orang Cina, rumah orang Jepang jaman dulu,” itulah cita-cita Sugeng saat ini.Kini, Sugeng hidup bersama keluarganya di Desa Banaran. Bendera Jepang yang terpampang di teras rumah membuat siapapun yang melintasi jalan bisa melihatnya. Selain bendera Jepang, Sugeng juga memiliki sepeda mini untuk anak kecil produksi Jepang.“Ada sepeda kecil itu produksi Jepang, sepeda-sepeda anak. Waktu itu adik saya kan punya baby, ya. Saya paketkan sepeda,” ucapnya.Rumahnya dijadikan warung kopi dengan vibes lawasan. Namanya ‘
Omah Ngopi Ut-Ut’. Lokasinya tidak jauh dari kantor desa, di sebelah Barat atau kiri jalan dari arah kota Trenggalek. Pengunjung yang memasuki warung itu akan disuguhi dengan hiasan barang antik dan lawasan. Mulai dari lumpang batu, topeng suku asmat, angklung, sepeda unta, dan berbagai miniatur barang antik lainnya.Kalau ada pengunjung yang ingin menanyakan sejarah dari barang antik maupun mendengarkan cerita petualangan melaut, Sugeng akan dengan senang hati bercerita. Senyuman di raut wajahnya memancarkan kebahagiaan pelaut yang mengarungi samudera Asia.