KBRT - Menjelang Lebaran, sudah menjadi kebiasaan masyarakat Muslim menukarkan uang pecahan untuk kemudian dibagikan kepada anak-anak dan keponakan yang masih kecil pada momen hari raya. Penukaran ini bisa dilakukan di bank secara langsung ataupun menggunakan jasa penukaran uang yang menjamur di pinggiran jalan raya jelang hari raya.
Jasa penukaran uang ini biasanya menyediakan uang pecahan mulai dari Rp2.000, Rp5.000, hingga Rp50.000. Hal tersebut sering memunculkan pertanyaan bagi sebagian masyarakat Muslim tentang hukum menukarkan uang yang marak dikaitkan dengan riba. Hamam (70), salah satu pemuka agama di Desa Sukorame, menyebutnya sebagai permasalahan yang rumit.
"Penukaran uang dengan uang sejenis yang tidak sama nilainya tentu sudah memasuki kriteria riba, yang berarti tambahan. Tetapi praktik jasa penukaran uang ini telah menjadi kebiasaan umat Islam," ujarnya.
Hamam menjelaskan bahwa saat uang sejenis ditukar dengan selisih nilai, maka sudah dapat dikategorikan sebagai riba yang haram hukumnya. Namun, jika yang ditukar adalah mata uang yang berbeda, maka hukumnya halal.
"Seperti uang 1 dolar ditukar dengan Rp15.000, maka tetap diperbolehkan karena dolar berlaku sebagai alat pembayaran, sedangkan rupiah menjadi barang yang diperjualbelikan," jelasnya.
Menurut Hamam, ada juga bentuk jual beli lain yang membingungkan selain jasa penukaran uang, yaitu jual beli kotoran hewan. Ia menyatakan bahwa dalam mazhab Syafi’i, jual beli benda yang najis hukumnya tidak sah. Solusi yang ditawarkan ulama adalah kotoran hewan diberikan secara sukarela, kemudian penerima memberikan upah kepada pemilik kotoran atas jasanya mengumpulkan kotoran tersebut.
"Maka dari itu, permasalahan jasa penukaran uang ini menjadi cukup rumit. Ada yang memperbolehkan dengan dalih membayar jasa pemilik uang pecahan. Namun, menurut saya, hukum yang berlaku pasti lebih kompleks karena tentu tidak mungkin jika dalam akad penjual dan pembeli harus sama-sama meniatkan hal yang sama, yakni membayar jasa," ungkapnya.
Hamam berpendapat bahwa hal yang paling tepat dilakukan sekarang adalah tetap menukarkan uang tanpa mengakui bahwa praktik penukaran uang tersebut dibenarkan dan bukan bentuk riba. Sebab, menurutnya, jika praktik penukaran uang diakui sebagai tindakan yang bukan riba, maka akan memicu kesalahkaprahan bagi banyak orang.
"Kalau melihat keadaan masyarakat sekarang, tentunya mereka membutuhkan uang pecahan baru untuk berbagi di hari raya. Maka, gunakan saja jasa penukaran uang yang ada tanpa menyatakan hal tersebut dibenarkan. Sebab, hal ini sudah menjadi kebiasaan yang sulit dihindari dan masuk kategori ma’lum dhoruri yang terampuni," pungkasnya.
Kabar Trenggalek - Sosial
Editor:Lek Zur