Minggu, 1 Oktober 2023, tepat pukul 15.12 WIB rombongan massa Jaringan Solidaritas Keadilan Korban (JSKK) Kanjuruhan melakukan aksi peringatan satu tahun Tragedi Kanjuruhan.
Ratusan massa yang tergabung dalam solidaritas bersama keluarga korban itu menyampaikan pernyataan sikap dan melakukan doa bersama untuk para 135 korban Tragedi Kanjuruhan.
Sore itu, suhu udara Kabupaten Malang mencapai 33° C. Tangis haru keluarga korban bersama para Aremania menyelimuti suasana pelataran Stadion Kanjuruhan. Satu per satu perwakilan keluarga korban yang hadir pun membacakan petikan perjuangan dan pernyataan sikap.
"Semangat ayok kudu kuat awak e dewe. Lek kon lemah sopo seng arep berjuang. Ayo istighfar. Astaghfirullah hal adzim," tegas salah seorang keluarga korban menyemangati Rini (43) yang tak kuasa menahan tangis dan sempat kolaps.
Rini begitu emosional saat mendatangi Stadion Kanjuruhan. Momen satu tahun setelah kepergian putranya masih menyisakan duka mendalam. Rini pun bangkit setelah mendapat banyak dukungan dari massa. Ia segera membacakan teks petikan perjuangan JSKK di depan massa aksi secara bergantian dengan keluarga korban yang lain.
Tahun lalu, tanggal 30 September, hari berlangsungnya pertandingan bergengsi yang mempertemukan kesebelasan Arema FC melawan Persebaya Surabaya akan terus diingat sebagai kenangan kelam. Meninggalnya 135 nyawa manusia hari itu menjadi kenangan kelam sepanjang perjalanan sepak bola nasional.
[caption id="attachment_44710" align=aligncenter width=1280] Perwakilan keluarga korban membacakan petikan perjuangan JSKK dalam peringatan satu tahun Tragedi Kanjuruhan/Foto: Delta Nishfu (Kabar Trenggalek)[/caption]"Dengan menyebut nama mereka yang mendahului kami. Tidak ada keadilan di Indonesia. Genap satu tahun sudah 135 anak-anak rakyat yang mencintai sepak bola Indonesia, dibunuh di rumah kami sendiri," ucap Rini dengan terisak-isak membacakan teks petikan perjuangan JSKK.
Sampai saat ini, proses pengusutan Tragedi Kanjuruhan dirasa masih jauh dari kata adil. Bagi keluarga korban, penetapan 5 terdakwa yang bertanggung jawab atas tragedi tersebut masih dirasa terlalu ringan. Tak sebanding dengan jumlah korban dalam peristiwa itu.
"Pengusutan Tragedi Kanjuruhan yang telah dilakukan negara beserta aparat penegak hukumnya masih belum cukup dan jauh dari kata adil," tambahnya.
Beberapa massa yang hadir juga bagian dari saksi hidup alias korban selamat dari tragedi maut itu. Mereka datang membawa bayang-bayang trauma yang masih melekat.
Satu tahun pasca terjadinya Tragedi Kanjuruhan, waktu bergulir terasa singkat. Begitulah Ahmad Balya (21), seorang korban selamat Tragedi Kanjuruhan, mengungkapkan perasaanya. Laki-laki asal Blitar itu sudah sejak 2010 menjadi pendukung setia Arema FC (dulu Arema Indonesia). Tak ayal, laga krusial yang mempertemukan rivalitas bebuyutan derby Jawa Timur tak ia lewatkan.
“Memang kayak masih kemarin rasanya. Mungkin karena proses peradilannya yang macet, ya. Seperti menguap begitu saja,” cetusnya singkat.
Rasa haru, tangis, kesal sekaligus marah, campur aduk masih terasa di dadanya. Suasana sore itu membuat Balya kembali mengingat kacaunya suasana yang terjadi setelah pertandingan. Bunyi tembakan gas air mata yang membuatnya panik serasa menjadi ingatan abadi.
Balya masih mengingat jelas situasi malam itu sangat kacau. Ia melihat banyak tembakan gas air mata yang membuat orang-orang di atas tribun panik.
Ia banyak mendengar jerit orang terhimpit tak terhitung lagi. Tangisan bocah kecil terdengar dari segala penjuru. Rintihan minta tolong juga makin terdengar di tangga pintu keluar.
Suasana di luar stadion tak kalah mencekam. Amuk massa sudah tak terbendung lagi. Api berkobar di beberapa sudut. Asap gas air mata tak hanya membumbung di dalam stadion. Orang-orang terkulai lemah di depan pintu-pintu stadion. Beberapa sudah tak bernyawa, beberapa lain masih bertahan.
Di tengah situasi yang kacau itu, Balya berjuang mencari pertolongan pertama untuk temannya, Novinda. Novinda tak sadarkan setelah berdesak-desakan dan banyak menghirup gas air mata di dekat pintu 9.
"Pokok di sini [parkiran] ricuh itu aku pas gotong anak ini [Novinda] waktu itu jan wes. Di sini masih ditembak gas air mata," ceritanya.
Sampai saat ini, ia tertegun mengenang kejadian malang itu. Ia tak menginginkan duka dalam sepakbola lagi. Balya adalah satu dari puluhan ribu korban selamat sekaligus menjadi saksi terjadinya peristiwa berdarah Tragedi Kanjuruhan.
30 September 2022 menjadi hari terakhir Balya melihat pertandingan klub favoritnya. Trauma mendalam adalah alasan ia enggan menyaksikan pertandingan sepakbola nasional, terutama Arema FC. Ia tak pernah lagi menjajal dinginnya cor tribun Stadion Kanjuruhan.
"Kalau sekarang udah gak Arema-aremaan gitu. Yang aku lihat kembali ke [klub] Arema-nya kurang inisiatif membantu korban termasuk proses peradilan," jelasnya.
Sejak 14 September 2023, proses renovasi Stadion Kanjuruhan sudah berjalan meskipun mendapati berbagai protes dari keluarga korban. Pagar proyek telah menutup hampir semua sisi Stadion Kanjuruhan. Hanya menyisakan bagian depan pintu 13 saja yang masih belum tertutup.
[caption id="attachment_44709" align=aligncenter width=1280] Massa aksi sedang menengok kondisi pintu 13 dari dalam stadion/Foto: Delta Nishfu (Kabar Trenggalek)[/caption]Setelah membacakan petikan perjuangan, massa aksi dan keluarga korban bergeser menuju depan pintu 13. Di situlah mereka melantunkan doa bersama di depan pintu yang paling memakan banyak korban jiwa.
Lantunan tahlil dan doa-doa ayat suci tengah dibacakan. Tangis haru dirasakan semua massa aksi yang bergabung dalam sesi doa bersama.
Di tengah berlangsungnya lantunan doa bersama, seorang ibu seketika berteriak histeris, "Balekno anakku!". Kata-kata itu terus keluar dari mulut sang ibu. Lagi-lagi rasa solidaritas sesama keluarga korban begitu kuat. Mereka saling menyemangati sambil menuntun lantunan doa.
Tak lama, tim medis datang dan dengan sigap segera melakukan upaya pertolongan pertama. Ibu itu pun segera dibawa menjauh dari muka pintu 13.
Sesaat, Balya kembali teringat suara ledakan gas air mata dan jerit tangis orang-orang di malam itu. Balya sengaja kembali mendatangi Stadion Kanjuruhan setelah satu tahun tak pernah mengunjunginya. Ia sudah jauh-jauh hari mempersiapkan diri untuk mengenang lagi kejadian malam tragis.
Satu tahun telah berlalu, Balya mengaku masih memendam rasa trauma. Terlebih jika ia mendengar suara benda yang dipukul keras mirip dengan suara tembakan gas air mata.
“Masih trauma sebenernya. Apalagi kalau dengar suara ‘dar der dar der’ [bunyi benda dipukul keras]. Sama pas awal masuk [gerbang] stadion tadi,” kata Balya.
Hari semakin sore. Kiranya pukul 16.45 WIB, matahari mulai berganti senja. Balya berpindah dari pintu 13 ke pelataran bagian barat Stadion Kanjuruhan.
Sorot lampu jingga dari sisi pintu utama stadion mengingatkan suasana sebelum match setahun yang lalu. Anak-anak, pedagang, calo tiket, sampai sorak sorai para pendukung tersimpan jelas di kepalanya.
Matanya sesekali menyoroti wujud rupa Stadion Kanjuruhan yang sebentar lagi akan direnovasi total. Baginya, upaya renovasi Stadion Kanjuruhan bukanlah suatu langkah bagian dari menghadirkan keadilan bagi korban.
“Aku pribadi gak setuju. Ya karena mau gimana pun gak bakal menghilangkan trauma keluarga korban. Meskipun aku bukan keluarga korban, aku juga ada saat tragedi itu, ya gak bisa lupa. Meskipun nanti stadion ini sudah jadi apik gitu ya gak bakal nribun [nonton pertandingan] lagi di sini,” ungkapnya.
Di sudut lain, Devi Atok Yulfitri, ayah dari Nayla Debbie (13) dan Natasya Debi (16) juga hadir dalam peringatan satu tahun Tragedi Kanjuruhan tersebut. Setelah menyelesaikan doa bersama di depan pintu 13, Devi berjalan memasuki area dalam Stadion Kanjuruhan melalui pagar penutup yang dibuka.
Seketika Devi pingsan saat duduk di tribun 12, tempat kedua anak dan mantan istrinya meregang nyawa. Ia mengenang betapa orang-orang yang ia cintai menderita meminta pertolongan di malam itu.
[caption id="attachment_44707" align=aligncenter width=1280] Devi Atok bersama keluarga korban dari JSKK membacakan petikan perjuangan di peringatan satu tahun Tragedi Kanjuruhan/Foto: Delta Nishfu (Kabar Trenggalek)[/caption]“Saya duduk di tempatnya anak dan mantan istri saya. Saya pingsan karena bisa merasakan gimana mereka waktu itu mereka minta tolong akibat gas air mata yang ditembakkan aparat,” ceritanya.
Devi mengatakan cukup kecewa melihat renovasi yang tetap berjalan. Mengingat di tempat itulah kedua putri dan mantan istrinya meregang nyawa. Renovasi terus berjalan sedangkan korban belum sepenuhnya mendapatkan keadilan.
Menurutnya, pemerintah seharusnya turut mempertimbangkan urgensi dari renovasi di tengah proses peradilan Tragedi Kanjuruhan yang masih macet. Ia menilai, Stadion Kanjuruhan yang menjadi bukti sejarah tidak seharusnya dihilangkan melalui proses renovasi sebelum dilakukannya olah TKP.
“Kalo mau direnovasi atau direvitalisasi itu terserah ini kan ya bukan milik saya ini milik rakyat. Ya kalo emang rakyat setuju, ya gapapa. Kalo ga setuju, ya tolong untuk dipertimbangkan lagi pihak kabupaten dan pihak PUPR. Kan ini agar bukti bersejarah yang terjadi pembunuhan tidak hilang,” kata Devi.
Sejauh ini, Devi merasa proses peradilan masih belum sampai ke titik adil bagi para keluarga korban. Dakwaan yang sudah ditetapkan kepada 5 tersangka masih terlalu ringan dibanding jumlah ratusan korban.
Dari 17 poin tuntutan, salah satu poin tuntutan massa aksi adalah adanya proses hukum yang adil dan tuntas, serta transparan terhadap seluruh pihak yang terkait dan bertanggung jawab dalam Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022.
Devi menegaskan, secara umum keluarga korban menuntut agar pelaku penembak gas air mata juga dihukum setimpal. Ia menambahkan seharusnya para tersangka harus dipecat dari anggota Kepolisian dan diterapkan Pasal 338 KUHP dan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.
“Karena hanya itulah keluarga korban bisa lega, bisa menerima hasil hukuman yang ada di Indonesia,” tandas Devi.