Amnesty International Sebut RUU Polri Potensi Tingkatkan Penyalahgunaan Wewenang Polisi
Amnesty International Indonesia menilai draf Revisi Undang-undang (RUU) Polri memiliki beberapa pasal yang memperkuat kewenangan Polri tanpa adanya mekanisme kontrol yang memadai. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut RUU Polri berpotensi meningkatkan risiko penyalahgunaan wewenang oleh aparat kepolisian."Kami mendesak DPR dan pemerintah segera merevisi kembali draf RUU Polri ini dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu HAM. Revisi UU Polri harus memastikan adanya keseimbangan antara kewenangan kepolisian dan perlindungan terhadap hak-hak dasar warga negara," ujar Usman dilansir dari laman Amnesty International Indonesia.Menurut Usman, beberapa pasal dalam draf RUU Polri, seperti pasal 14 dan 16, mengandung ketentuan yang dapat digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berkumpul. Pasal-pasal itu juga memberikan kewenangan yang lebih besar kepada kepolisian dalam melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap ruang siber dan melakukan penggalangan intelijen."Draf revisi ini pun tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi pembela hak asasi manusia yang kerap menjadi korban intimidasi dan kekerasan dari aparat kepolisian," ucap Usman.Menurut Usman, selama ini, Polri telah banyak dikritik terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia, tindakan sewenang-wenang, dan kurangnya akuntabilitas. RUU Polri seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut.Usman menegaskan, Polri harus segera menghentikan kekerasan berlebih dan kesewenang-wenangan anggotanya. Aksi represif polisi atas kebebasan sipil terus berlangsung dan berpotensi melanggengkan impunitas bila negara tetap meloloskan RUU Polri yang masih memuat pasal-pasal bermasalah.“Kapolri seringkali menyatakan akan melakukan perbaikan dan reformasi di tubuh Polri. Tampaknya ini tidak kunjung terwujudkan. Aksi kekerasan berlebih dan praktik kesewenang-wenangan lainnya terhadap mereka yang membela haknya, terhadap mereka yang kritis, terhadap mereka yang memiliki pandangan politik berbeda, masih terus terjadi, dan ini sering melibatkan anggota Polri,” jelas Usman.Dalam periode 2019-2023, Amnesty International Indonesia mencatat 58 kasus penangkapan sewenang-wenang polisi terhadap 412 orang pembela HAM. Pihak yang banyak yang ditangkap adalah aktivis politik Papua (174), aktivis mahasiswa (150), dan masyarakat adat (44). Selain itu, sejumlah jurnalis, aktivis buruh dan lingkungan, hingga petani dan nelayan ditangkap saat mereka menggunakan hak untuk berpendapat dan berkumpul.Kriminalisasi atas pembela HAM berulang kembali tahun 2024. Pada 18 April dan 11 Mei lalu, tiga nelayan di Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, yang memperjuangkan hutan mangrove dari perusakan ditangkap polisi dengan tuduhan merusak pondok yang didirikan perambah di hutan lindung. Sebelumnya, para nelayan, memprotes perusakan hutan mangrove di lingkungan mereka kepada pihak berwenang, namun tidak ada tindak lanjut.“Ini salah satu sinyal bahwa Polri masih tidak mengindahkan hak masyarakat untuk berpendapat. Sebagai penegak hukum polisi seharusnya memberi ruang dan melindungi warga untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat secara damai tanpa menghadapi risiko penangkapan,” ungkap Usman.Usman menyampaikan, penggunaan kekuatan berlebihan seperti tindak kekerasan, serta penggunaan gas air mata dan meriam air juga kerap masih dilakukan aparat kepolisian dalam menghadapi kebebasan ekspresi secara damai."Bahkan, aparat kepolisian mendominasi kasus-kasus penyiksaan terhadap warga sipil dalam beberapa tahun terakhir. Pada periode Juli 2019 hingga Juni 2024, Amnesty International Indonesia mencatat aparat Polri terlibat atas dugaan 100 kasus penyiksaan dengan 151 korban dari total 142 kasus dengan 227 korban," papar Usman.Pada 9 Juni lalu, publik dikejutkan dengan dugaan penggunaan kekerasan berlebihan dan penyiksaan polisi terhadap beberapa anak di Kota Padang, Sumatra Barat, dengan dalih penertiban wilayah dari aksi tawuran, yang berujung pada salah satu dari mereka, remaja berusia tiga belas tahun, meninggal dunia. Personel Polri juga menyundut rokok, memukul dan menggunakan senjata kejut istrik terhadap anak-anak yang ditangkap dan dituduh melakukan tawuran.“Pada Hari Bhayangkara ini Polri harus mengakui kalau mereka telah gagal dalam menegakkan hak asasi manusia. Pengakuan ini harus menjadi momentum bagi Polri untuk benar-benar memperbaiki diri, tegakkan hukum atas aparatnya yang terlibat dalam kekerasan yang sewenang-wenang dan mencegah agar peristiwa serupa tidak terulang,” kata Usman, 1 Juni 2024.
Kabar Trenggalek Hadir di WhatsApp Channel Follow