Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, memberi perhatian terhadap kondisi yang dialami peternak ayam pedaging dan ayam petelur. Kondisi harga jagung naik di atas Rp 8000 ini membuat para peternak ayam kewalahan.
LaNyalla memaparkan, akhir Januari 2024, harga jagung pakan jauh melampaui Harga Acuan Pembelian (HAP). Di tingkat peternak sudah di atas Rp8.000 per kilogram. Padahal HAP yang ditetapkan pemerintah dalam Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) No.5/2022 sebesar Rp5.000 per kilogram.
Menurut LaNyalla, kenaikan harga jagung ini merupakan fenomena pedulangan. Kenaikan ini akan membuat harga telur dan daging ayam potong naik, sehingga memberatkan masyarakat.
“Ini fenomena perulangan, pernah terjadi dan akan terjadi lagi. Tidak bisa disentuh dengan pendekatan karitatif yang sifatnya mengobati sementara. Harus akar masalahnya. Apa akar masalahnya, kedaulatan dan ketahanan pangan Indonesia,” ujar LaNyalla, Senin (05/02/2024), dilansir dari laman Kominfo Jatim.
LaNyalla mengingatkan supaya fenomena perulangan jangan sampai sengaja dibiarkan, agar ada exit untuk impor. Ketika sengaja dibiarkan, ia menduga ada unsur kepentingan oligarki.
“Kalau itu sengaja [dibiarkan], berarti memang didesain oleh oligarki, untuk menguntungkan importir dan rente-rente untuk dibagi-bagi di lingkaran pengusaha dan pengambil kebijakan,” terangnya.
LaNyalla mengatakan, salah satu dampak dari timpangnya proporsi distribusi APBN ke daerah yang hanya 36 persen, membuat kemampuan daerah menjadi terbatas mengerjakan kewenangannya. Apalagi, beban daerah yang harus menanggung pembiayaan PNS sejumlah 78 persen dibanding kementerian.
“Salah satu kewenangan daerah adalah pembangunan infrastruktur daerah, baik itu provinsi maupun kabupaten/kota. Mulai dari jalan sampai irigasi provinsi dan kabupaten/kota. Dengan kelemahan itu, mustahil kita memiliki kedaulatan pangan. Ibaratnya, pemerintah pusat bangun bendungan, tetapi saluran irigasi yang menjadi domain daerah tidak optimal, yang paradok,” ungkap Ketua Dewan Penasehat KADIN Jatim itu.
"Kalau pemerintah mendengarkan para pakar atau ahli, kondisi seperti ini kemungkinan besar tidak akan terjadi. Termasuk pola penanganan terkait dengan cuaca, hingga yang fundamental dengan mengubah paradigma fiskal, melalui keadilan fiskal antara pusat dan daerah,” tambahnya.