KBRT – Di sebuah rumah sederhana di Dusun Kayujaran, Desa Gembleb, Kecamatan Pogalan, suara gesekan tali bekas industri berpadu dengan tawa ringan ibu-ibu rumah tangga. Di sela kesibukan dapur dan sawah, mereka merajut tas anyaman. Bukan sekadar mengisi waktu, tapi juga untuk menambah tabungan keluarga.
Siti Solikah (55), yang akrab disapa Bu Sol, sudah lima tahun lebih setia dengan pekerjaannya sebagai buruh penganyam. Duduk berjam-jam di lantai, tangannya cekatan menata pola. Hasilnya berupa tas dengan bentuk dan ukuran beragam.
“Namanya rezeki jalannya begini, walaupun cuma duduk di badan tetap capek rasanya,” tutur Bu Sol sembari tersenyum.
Di Desa Gembleb, pekerjaan ini sudah menjadi rutinitas puluhan rumah tangga. Bahkan, desa tetangga seperti Bendorejo pun ikut terlibat. Semua penganyam bekerja untuk satu pengepul yang menyediakan bahan baku sekaligus menyalurkan hasil produksi.
Bagi Bu Sol, menganyam tas adalah cara lain menjaga asa. Upah yang ia terima memang tak seberapa, antara Rp 2.500 hingga Rp 6.500 per tas, tergantung ukuran. Ia memilih tas ukuran besar agar hasilnya lebih terasa.
“Dalam sehari kalau ngebut bisa dapat empat tas, tapi sampai jam sembilan atau sepuluh malam baru selesai,” ujarnya.
Meski begitu, uang yang didapat jarang langsung diambil. Kebanyakan penganyam memilih menunggu hingga terkumpul berbulan-bulan, bahkan tahunan, untuk dijadikan tabungan atau kebutuhan mendesak.
Tas-tas anyaman dari Gembleb dan sekitarnya tak hanya beredar di pasar lokal. Menurut cerita, jumlah ribuan buah bisa dikirim ke luar pulau, hingga Sumatra.
“Apapun yang penting menghasilkan. Saya tinggal bersama suami dan anak-anak sudah punya rumah sendiri. Kadang ke sawah, tapi ya masih jadi buruh,” lanjut Bu Sol.
Di balik keletihan dan upah sederhana, ada semangat ibu-ibu desa yang bertahan lewat kerja tangan mereka. Dari limbah tali, mereka merajut harapan—satu simpul demi simpul.
Kabar Trenggalek - Ekonomi
Editor:Zamz