KBRT – Sejak Program Makan Bergizi Gratis (MBG) mulai menjangkau sekolah-sekolah di Kabupaten Trenggalek, geliat ekonomi kecil di lingkungan pendidikan ikut berubah. Pedagang kantin dan kaki lima yang biasanya menjadi bagian dari kehidupan sekolah kini harus beradaptasi dengan menurunnya penjualan.
Salah satunya dialami Suprapti (45), pedagang kantin di SMPN 5 Trenggalek. Sejak MBG aktif di sekolahnya, dagangan yang dulu selalu habis kini sering bersisa. Anak-anak lebih memilih menyantap menu MBG ketimbang membeli nasi bungkus di kantin.
“Betul berdampak sama yang buat nasi terutama. Nasi bungkus yang dulu sehari 30 habis sekarang separuh aja tidak habis. 20 bungkus aja sudah ngoyo. Kalau yang lain ya masih berjalan lah, tidak separah nasi,” ujarnya.
Daftar Isi [Show]
Kantin Sehat, Dagangan Lesu

Suprapti sudah tiga tahun berjualan di kantin SMPN 5. Ia menjajakan aneka makanan, mulai nasi bungkus, pentol, martabak mini, dimsum, roti, buah, hingga minuman dingin.
Namun, kini hanya penjualan minuman yang cenderung stabil. Sebab, sebagian besar makanan yang dijualnya adalah titipan dari warga sekitar, termasuk nasi bungkus.
“Makanya saya kasihan dengan yang nitip nasi. Dapatnya sudah sedikit seperti itu, sebagai penjual saya juga merasakan begitu. Makanan-makanan di sini itu tidak ada yang instan atau pakai kemasan plastik dan buatan rumah semua. Namanya kantin sehat,” katanya.
Di kantinnya, seluruh makanan disajikan dengan wadah ramah lingkungan. Tak ada bungkus plastik sekali pakai. Minuman dingin pun disajikan dengan tumbler yang dikembalikan siswa setelah selesai, lalu dicuci dan digunakan kembali.
“Ya kalau seperti ini bisa pindah saja buat snack atau makanan ringan seperti roti, donat atau cireng agar bisa berjalan,” ucapnya mencoba realistis.
Pedagang Lama Ikut Terguncang
Komari (52), rekan Suprapti yang telah berjualan di sekolah yang sama sejak tahun 2009, juga merasakan dampak yang sama. Ia mengaku omzet menurun tajam sejak MBG aktif.
“Kalau MBG itu kan ngasihnya waktu istirahat. Saya seperti tidak jualan, nasi bungkus tidak laku, dagangan yang lain kadang masih utuh karena juga tidak laku,” ujarnya.
Sebelum ada MBG, Komari bisa menjual 15 bungkus nasi per hari. Kini, sering kali hanya terjual beberapa bungkus saja.
“Sisanya 9 ya sudah merugi, modalnya sudah dikit. Sampai siang hari tidak habis terpaksa dibuang. Sudah tidak enak,” imbuhnya.
Komari tak mempermasalahkan program pemerintah tersebut, namun berharap jadwal pembagian MBG tidak dilakukan pada jam istirahat — waktu yang biasanya digunakan siswa untuk jajan di kantin.
“Ia berharap MBG dapat diberikan waktu makan siang sesuai dengan namanya dulu, yaitu makan siang gratis. Kasihan yang berjualan bakso dan mie ayam di kantin sini. Baru satu mingguan tutup karena tidak laku,” tuturnya.
Pedagang Keliling Juga Terimbas

Dampak MBG tak hanya dirasakan pedagang di dalam sekolah. Sunarto, penjual otak-otak keliling yang rutin mangkal di sekitar sekolah-sekolah di Kota Trenggalek, juga mengeluhkan turunnya pendapatan.
“Semenjak ada MBG itu jadi berpengaruh besar. Biasanya, sehari bisa dapat 500 ribu, sekarang ini dapat 100 ribuan saja,” ucapnya saat ditemui di depan SMPN 2 Trenggalek.
Sunarto menyebut, sejak MBG aktif, siswa tak lagi diperbolehkan jajan di luar pagar sekolah. Akibatnya, kesempatan pedagang seperti dirinya untuk menjual dagangan makin sempit.
Selain itu, menu MBG yang dibagikan pada siang hari juga membuat siswa tak lagi membeli jajanan selepas pulang sekolah.
“Mau ganti bukan jualan otak-otak ini, tapi pedagang jajan lain sama saja. Kalau bisa MBG itu dialihkan jadi uang dan tidak meresahkan rakyat kecil,” ujarnya.
Kabar Trenggalek - Mata Rakyat
Editor:Zamz















