Viralnya Gus Iqdam di dunia pengajian membuat masyarakat penasaran dengan sosok pendiri Majelis Ta’lim Sabilu Taubah di Blitar itu. Selain viral, jumlah jamaah pengajian Gus Iqdam cukup banyak.
Sebelumnya, Kabar Trenggalek mengulas silsilah keluarga Gus Iqdam. Dari penelusuran itu, ternyata Gus Iqdam punya darah keturunan Trenggalek. Leluhur Gus Iqdam di Trenggalek yaitu Mbah Asnawi dan Mbah Abdul Ghofur.
Cerita kesaktian Mbah Asnawi dan Mbah Abdul Ghofur itu dituturkan oleh Kiai Haji (KH). M. Dliya’uddin Azzamzami Zubaidi (Abah Dliya), paman Gus Iqdam, dalam suatu pengajian.
Mengawali cerita Mbah Asnawi dan Mbah Abdul Ghofur, perlu diketahui secara ringkas silsilah Gus Iqdam. Sosok Gus Iqdam memiliki nama asli Muhammad Iqdam. Ia lahir pada tahun 27 September 1993 dari pasangan KH Kholid dan Nyai Hj. Lum'atul Waridah Zubaidi. Gus Iqdam lahir di Desa Karanggayam, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Ibu Gus Iqdam, Nyai Hj. Lum'atul Waridah Zubaidi, adalah anak pertama dari Romo KH Zubaidi Abdul Ghofur (Mbah Yai Bad). Sosok Mbah Yai Bad adalah kiai kharismatik dan Mursyid Thoriqoh yang masyhur di Blitar Barat.
Mbah Yai Bad adalah salah satu putra dari Mbah Yai Abdul Ghofur (moyang Gus Iqdam). Mbah Yai Ghofur adalah pendiri Pondok Pesantren Mambaul Hikam. Pondok salaf yang akrab disebut sebagai Pondok Mantenan ini merupakan salah satu pesantren tua ada di Blitar Barat yang berdiri pada tahun 1907.
Menurut cerita Abah Dliya' (paman Gus Iqdam), sosok Mbah Abdul Ghofur adalah anak dari pasangan Kiai Abdul Muhyi dan Nyai Sholihah (buyut Gus Iqdam). Sedangkan Nyai Sholihah, adalah salah satu anak dari Mbah Asnawi (Cilawagi Gus Iqdam), yang dulu bermukim di Dusun Brongkah, Desa Kedunglurah, Kecamatan Pogalan, Kabupaten Trenggalek.
Sayembara Kesaktian Mbah Asnawi
Abah Dliya' mendapatkan cerita dari ayahnya tentang kesaktian Mbah Asnawi dan Mbah Abdul Ghofur. Mbah Asnawi adalah ahli riyadhoh. Menurut cerita Abah Dliya', badan Mbah Asnawi hanya tulang dan kulit, hampir tidak ada dagingnya karena tirakat dan puasa terus.
Abah Dliya' menceritakan, suatu hari Mbah Asnawi akan meninggal, semua anaknya dikumpulkan. Mbah Asnawi membuat sayembara untuk menghabiskan air di dalam bumbung kecil (bambu yang masih hijau) kecil.
"Kata Kiai Asnawi, anak cucunya siapa saja yang bisa menghabiskan air ini, ya yang mendapatkan riyadhoh, tirakat, kesaktiannya," cerita Abah Dliya' melalui YouTube EEl Channel.
Semua anak dan cucu Mbah Asnawi mencoba minum, tapi tidak ada yang bisa menghabiskan airnya. Banyak dari mereka yang minum sedikit sudah kembung, bahkan sampai mau muntah. Semua anak cucunya sudah mencoba, tapi tidak ada yang bisa menghabiskan.
Mengetahui hal itu, Mbah Asnawi menangis karena khawatir anak cucunya tidak ada yang mewarisi riyadhoh dan kesaktiannya. Mbah Asnawi tak larut dalam kesedihan. Ia berupaya mencari lagi siapa anak-cucunya yang belum mencoba minum air.
Nyai Sholihah (buyut Gus Iqdam), kemudian mengaku bahwa ada cucunya Mbah Asnawi yang belum minum air, namanya Abdul Ghofur. Namun, saat itu Abdul Ghofur masih bayi. Nyai Sholihah tidak yakin kalau anaknya bisa menghabiskan air di bumbung itu.
Mbah Asnawi menegaskan, meskipun masih bayi, Abdul Ghofur tetap cucunya. Semua cucunya meskipun masih kecil harus mencoba minum air. Akhirnya, Nyai Sholihah meminumkan air itu kepada Abdul Ghofur sambil menggendongnya.
"Glegek-glegek [suara tegukan], airnya habis. Bahkan bumbung yang hijau itu sampai kering. Peristiwa itu menjadi penanda bahwa sejak kecil, Mbah Kiai Abdul Ghofur sudah kelihatan keramatnya dan ahli hikmatnya," kata Abah Dliya'.
Kemudian, Abdul Ghofur dibawa pulang ke Ngampel, Kediri. Tidak lama kemudian, Kiai Abdul Muhyi (suami Nyai Sholihah) meninggal. Akhirnya, Nyai Sholihah pulang ke Trenggalek membawa Abdul Ghofur. Mereka menetap dan menjadi orang Trenggalek.
Di Trenggalek, Nyai Sholihah tidak punya apa-apa. Nyai Sholihah tinggal di kamar langgar (mushola) untuk merawat Abdul Ghofur.
"Karena merawat Mbah Kiai Abdul Ghofur di kamar langgar, akhirnya Nyai Sholihah dijuluki Mbah Langgar. Karena Nyai Sholihah juga menjaga langgar itu. Sekarang langgar itu jadi masjidnya Pak Kiai Fanani [almarhum]. Masjid di Kedunglurah, dulunya langgar, mushola Kiai Asnawi," cerita Abah Dliya'.
Kesaktian Mbah Abdul Ghofur
Abah Dliya' menceritakan beberapa kesaktian Mbah Abdul Ghofur. Saat remaja, Abdul Ghofur mondok di Pondok Balong. Kemudian, mondok ke Pondok Mangunsari, Nganjuk.
Kondisi Pondok Mangunsari saat itu sepi. Santrinya kebanyakan orang-orang tua. Beberapa santri tua itu menyuruh Abdul Ghofur untuk melakukan apapun supaya pondok menjadi ramai.
Akhirnya, Abdul Ghofur meminta para santri untuk mengumpulkan bantal-bantal dari kamarnya. Banyak itu ditumpuk dan ditutupi selimut. Tiba-tiba muncul macan di balik selimut itu.
"Mbah Kiai Abdul Ghofur kemudian memukul tumpukan bantal itu. Lalu dari balik selimut muncul macan besar. Macan itu mengaum sampai bangunan pondok bergetar," kata Abah Dliya'.
Keberadaan macam itu membuat orang-orang ketakutan. Pondok pesantren di sebelah yang ramai mengadakan kegiatan orkes juga ketakutan. Suara sound kalah. Semua orang di orkes berbondong-bondong untuk melihat macan itu mengaum keras.
Abah Dliya' tidak menjelaskan lebih lanjut terkait kondisi macan itu. Ia melanjutkan cerita tentang kesaktian Mbah Abdul Ghofur. Diceritakan, Mbah Abdul Ghofur senang melakukan riyadhoh. Puasa putih yang dilakukan Mbah Abdul Ghofur tidak 7 hari, tapi 40 hari.
Ketekunannya dalam beribadah juga menjadi amalan untuk mendirikan Pondok Pesantren Mambaul Hikam, Mantenan, Blitar. Awalnya, sekitar tahun 1907, Mbah Abdul Ghofur mendapatkan tanah tanpa pengelola.
Tanah itu mendapat julukan sebagai "tanah jalmo moro jalmo mati", sebuah istilah untuk menyebut tanah angker. Menurut cerita Abah Dliya', sering terjadi orang hilang di tanah itu. Ketika petani masuk untuk mencari rumput, ia tidak keluar. Hanya keranjang rumputnya saja yang tersisa di sana. Setelah 7 tahun, akhirnya tanah itu bisa aman dimasuki dan dikelola.
"Akhirnya dibabat Kiai Abdul Ghofur selama 7 tahun. Siang puasa, malam wiridan begadang. Akhirnya bisa dimasuki manusia. Setelah berhasil, semua istrinya dibawa ke Mantenan," ujar Abah Dliya'.
Mbah Abdul Ghofur menetap di tanah itu bersama istri-istrinya, hingga mempunyai anak dan keturunan. Kemudian Pondok Pesantren Mambaul Hikam didirikan.
Satu lagi teladan dari Mbah Abdul Ghofur yang diceritakan Abah Dliya' yaitu tentang qonaah, suatu sikap rela menerima dan merasa cukup. Mbah Abdul Ghofur tidak pernah menolak setiap makanan yang ia dapatkan.
Kemudian, sebelum makan, Mbah Abdul Ghofur berdandan bagus hingga memakai serban. Sebab, Mbah Abdul Ghofur menghargai orang yang memberinya makanan.
Abah Dliya' menyampaikan, qonaah Mbah Abdul Ghofur perlu diteladani oleh masyarakat. Sebab, saat ini banyak orang yang gampang meremehkan makanan. Seperti ketika diundang di sebuah acara, orang itu hanya memakan sedikit hidangannya, lalu ditaruh tanpa dihabiskan.
"Kalau yang memberi makanan gelo [kecewa] terus tidak diberi makanan gimana susahnya? Mbah Abdul Ghofur prinsipnya jangan sampai ada barang mubadzhir," ujar Abah Dliya'.
Demikianlah cerita kesaktian Mbah Asnawi dan Mbah Abdul Ghofur, para leluhur Gus Iqdam di Trenggalek. Tentunya cerita ini bisa menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Trenggalek. Lebih dari itu, semoga cerita ini bisa menginspirasi semua, khususnya jamaah Majelis Sabilu Taubah, para jamaah dekengan pusat, para garangan, dan para ST Nyell di seluruh penjuru dunia.