Kasus kekerasan seksual yang marak terjadi di pondok pesantren (ponpes) menjadi evaluasi bagi semua pihak. Salah satu upaya mitigasi yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan peraturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.Bagi pengurus pondok pesantren, orang tua, maupun santri harusnya turut memastikan ponpesnya susah menerapkan peraturan regulasi itu atau belum. Tepatnya, regulasi itu tertera dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No 73 tahun 2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.Dalam peraturan tersebut, setiap satuan pendidikan atau ponpes wajib melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Bahkan, berdasarkan pasal 19 PMA no. 73 tahun 2022, ponpes yang tidak melakukan upaya pencegahan dan penanganan bisa diberi sanksi pencabutan izin penyelenggaraan satuan pendidikan tersebut.Selain pencegahan dan penanganan, Peraturan Menteri Agama juga mendorong ponpes untuk melakukan upaya pelindungan, pendampingan, dan pemulihan korban kekerasan seksual. Berikut isi peraturan tersebut:
Perlindungan Korban
Dalam upaya penanganan kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan, Peraturan Menteri Agama menjelaskan ketentuan setiap ponpes untuk melindungi korban. Hal itu termuat dalam Bagian Ketiga, pasal 11 PMA no. 73 tahun 2022. Berikut isinya:(1) Pimpinan Satuan Pendidikan memberikan pelindungan terhadap:a. Korban;b. saksi;c. Pelapor; dand. anak berkonflik dengan hukum atau anak sebagai Pelaku.(2) Pelindungan diberikan sepanjang pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari Satuan Pendidikan yang bersangkutan.(3) Pelindungan kepada pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c diberikan dalam bentuk:a. pelindungan atas kerahasiaan identitas;b. penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan;c. penyediaan akses terhadap penyelenggaraan pelindungan; informasid. jaminan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan bagi Peserta Didik;e. jaminan keberlanjutan pekerjaan sebagai Pendidik dan/atau Tenaga Kependidikan pada Satuan Pendidikan yang bersangkutan; dan/atauf. pelindungan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(4) Pelindungan anak yang berkonflik dengan hukum atau anak sebagai Pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:a. pelindungan atas kerahasiaan identitas;b. jaminan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan bagi Peserta Didik; danc. perlakuan secara manusiawi.
Pendampingan Korban Kekerasan Seksual
Upaya perlindungan korban kekerasan seksual juga perlu dikuatkan dengan pendampingan. Hal ini seperti tertuang dalam Bagian Keempat, pasal 12 PMA no. 73 tahun 2022. Berikut isinya:(1) Pimpinan Satuan Pendidikan melakukan pendampingan terhadap saksi, Korban, dan anak Pelaku Kekerasan Seksual.(2) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pendamping.(3) Pendampingan sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi:a. konseling;b. layanan kesehatan;c. bantuan hukum; dand. layanan rehabilitasi.(4) Dalam hal Satuan Pendidikan tidak dapat menyediakan Pendamping, pimpinan Satuan Pendidikan berkoordinasi dan bekerja sama dengan:a. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;b. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;c. perguruan tinggi;d. unit teknis pemerintah daerah yang menangani pelindungan anak;e. dinas kesehatan;f. dinas sosial;g. organisasi profesi;h. lembaga bantuan hukum;i. lembaga penyedia berbasis masyarakat; layanan pelindungan anakj. organisasi kemasyarakatan keagamaan;k. lembaga keagamaan; danl. unsur lain.(5) Dalam hal saksi atau Korban merupakan Penyandang Disabilitas, pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan Penyandang Disabilitas.
Pemulihan Korban Kekerasan Seksual
Selain upaya pelindungan dan pendampingan, ponpes perlu melakukan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual. Hal ini termuat dalam Bagian Keenam, pasal 14 PMA no. 73 tahun 2022. Berikut isinya:(1) Pimpinan Satuan Pendidikan melakukan pemulihan terhadap Korban Kekerasan Seksual.(2) Pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pendamping.(3) Pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap aspek fisik, mental, spiritual, dan sosial Korban.(4) Dalam hal Satuan Pendidikan tidak dapat menyediakan Pendamping, pimpinan Satuan Pendidikan berkoordinasi dan bekerja sama dengan:a. perguruan tinggi;b. dinas kesehatan;c. organisasi kemasyarakatan keagamaan;d. lembaga keagamaan;e. organisasi profesi;f. dinas sosial;g. unit teknis pemerintah daerah yang menangani pelindungan anak; dan lembaga penyedia layanan pelindungan anak berbasis masyarakat. h.(5) Dalam hal Korban merupakan Penyandang Disabilitas, pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan Penyandang Disabilitas.Demikian upaya pelindungan, pendampingan, dan pemulihan korban kekerasan seksual yang perlu dilakukan satuan pendidikan atau ponpes. Dalam kasus di Trenggalek, tersangka pelaku pencabulan merupakan kiai dan anaknya. Posisi kiai dianggap sebagai pemimpin ponpes.Oleh karena itu, masyarakat perlu mendorong pihak Kementerian Agama (Kemenag) terkait maupun pihak ponpes untuk memastikan ponpes yang bersangkutan menjalankan Peraturan Menteri Agama.Dokumen lengkap PMA no 73 tahun 2022 silakan download
DI SINI.Demikian ulasan tentang peraturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Mari mewujudkan pendidikan yang aman dari segala bentuk kekerasan seksual.Jika Anda merasa informasi ini bermanfaat, bagikan artikel Kabar Trenggalek ini kepada siapapun.Terima kasih karena sudah membaca Kabar Trenggalek.