Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Ada Tanggung Jawab Moral Pasca Pemilu 2024 bagi Segenap Bangsa Indonesia, Apa Itu?

Arena Parfum

Pemilihan umum atau pemilu dalam negara demokrasi modern tak sebatas memilih orang-orang yang akan kita beri hak politik belaka. Melainkan ada tanggung jawab moral pasca Pemilu 2024.

Sebelum membahas lebih lanjut, ada baiknya kita memahami dengan seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnya tentang negara demokras dan pemilu. Sebagai gambaran awal, Ellya Rosana dalam jurnal "Negara Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia" 2016, menyatakan negara demokrasi adalah negara yang menganut bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan dengan mewujudkan kedaulatan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

Kata demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani, yakni demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Sehingga, secara harfiah demokrasi dapat dimaknai pemerintahan oleh rakyat. Dengan begitu kedaulatan terbesar dalam negara demokrasi berada di tangan rakyat. Bersamaan dengan itu, rakyat memiliki berperan aktif dalam menentukan hajat hidup mereka.

Sejarah mencatat, demokrasi telah diterapkan sejak era Yunani Kuno di Kota Athena sekitar 508 Sebelum Masehi (SM). Di masa-masa itu, masyarakat Athena berkumpul dan mengeluarkan pendapat bersama pemerintah untuk menentukan kebijakan yang akan diambil. Sehingga, keterlibatan rakyat dalam menentukan arah kebijakan negara begitu tinggi.

Meski begitu, seiring berjalannya waktu, demokrasi memiliki sejarah panjang dan cukup kompleks. Istilah demokrasi juga memiliki makna yang beragam. Ada yang memaknainya sebagai keputusan politik digunakan secara langsung oleh tiap-tiap warga negara dengan prosedur pemerintahan mayoritas. Yang berarti rakyat menentukan kebijakan seperti apa yang akan diambil dengan keputusan suara terbanyak.

Kemudian, ada lagi seperti di Indonesia, rakyat memilih beberapa orang untuk menjadi pemangku kebijakan yang kekuasaannya dibagi menjadi beberapa bagian. Namun yang bisa dipilih langsung ialah eksekutif dan legislatif. Kemudian pejabat-pejabat itu akan berunding menyelesaikan persoalan di masyarakat dengan cara sistematis dan (idealnya) atas dasar kebijaksanaan.

Mekanisme rakyat Indonesia untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemangku kepentingan ini lewat Pemilu. Saat Pemilu berlangsung, rakyat dengan bebas dengan segala pertimbangan, baik menggunakan pikiran dan hati nurani, memilih siapa presiden beserta wakilnya dan orang-orang yang akan duduk di kursi DPR.

Pemilu, meski identik dengan voting dan pencalonan lazim lewat partai politik bagi sebagian orang kurang ideal. Setidaknya Pemilu yang jujur telah menjadi langkah awal dalam menegakkan negara demokrasi dan nilai-nilai hak asasi manusia.

Tanggung Jawab Moral Pasca Pemilu

Selama ini, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) mengajak seluruh rakyat berbondong-bondong ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk mencoblos orang-orang yang akan menjadi pejabat publik. Ini patut diapresiasi. Meski ada beberapa catatan, jika hanya sebatas memilih saja tidaklah cukup untuk menegakkan negara demokrasi.

Oleh karena itu, bagi setiap warga negara yang telah menyalurkan suaranya di TPS memiliki tanggung jawab moral pasca Pemilu. Tanggung jawab ini berlaku tak hanya pemilih, malainkan para pendukung dan kelompok orang yang terlibat untuk menyukseskan calon-calon pejabat itu duduk di kursi pemerintahan.

Tanggung jawab moral yang dimaksud adalah mengawal sejauh mana suara rakyat Indonesia di dengarkan dan diterapkan dalam membuat kebijakan publik. Jadi, puncaknya bukan di hari pencoblosan, melainkan lima tahun mendatang setelah surat suara dihitung dan terlihat siapa yang mendapatkan dukungan masyarakat.

Tentu hal ini berlaku bagi segenap bangsa Indonesia tanpa terkecuali, termasuk tim kampanye yang ikut terlibat mengais dukungan untuk calon yang diusung. Sebab, bagaimana pun kekuasaan perlu diawasi agar tidak membuat kebijakan yang pada akhirnya merugikan rakyatnya sendiri.

Kita semua pasti tak ingin jika Pemilu hanya menjadi alat calon penguasa dan oligarki untuk melebarkan dan menebar penindasan di Indonesia. Siapapun presidennya tetap memiliki potensi menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan kelompoknya.

Bagaimana Cara Mengawasinya?

Kemudian muncul pertanyaan bagaimana cara mengawasi kekuasaan? Sebenarnya untuk melakukannya ada beragam cara yang bisa dilakukan. Keberagaman latar belakang dan profesi rakyat Indonesia, seperti masyarakat sipil, akademisi (mahasiswa dan dosen), budayawan, seniman, pedagang di pasar, tukang ojek, guru, dan lain-lain bisa mengawasi dengan menyimak dan memahami segala kebijakan yang dekat dengan mereka.

Seperti pedagang cabai di pasar yang pasti merasakan dampak ketersediaan komoditas naik turun. Lalu melihat bagaimana peran pemerintah untuk menangani itu. Apakah punya solusi yang tepat atau hanya pasrah dengan mekanisme pasar.

Kemudian, jika ada penyimpangan bisa menyuarakan bersama-sama, baik dengan turun ke jalan atau menitipkan aspirasi pada mahasiswa yang demonstrasi.

Tentu untuk mencapai hal ideal ini tidak bisa dilakukan sendirian. Perlu ada kelompok-kelompok kecil yang kemudian berserikat dan menyuarakan kebenaran.

Kopi Jimat

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *

This site is protected by Honeypot.