Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Kisah Alvina, Perempuan Trenggalek Sejak Kecil Merawat Ibu yang Menderita Skizofrenia

Kubah Migunani
Kabar Trenggalek - Suhu pagi hari mencapai 20° C di Desa Jombok, Kecamatan Pule, Kabupaten Trenggalek. Di pagi yang dingin itu, seorang perempuan berusia 51 tahun melaksanakan ibadah sholat subuh. Setelah sholat subuh, ia membaca Al-Qur’an dan hafalan surat pendek.Selasa pagi, tanggal 24 Mei 2022, matahari mulai menyinari sebuah rumah di sebelah barat Simpang Lima, Desa Jombok. Perempuan itu sarapan bersama anaknya yang bernama Alvina.Alvina memastikan Ibunya sarapan dan minum tiga jenis obat yaitu Clozapin, Haloperidol, dan Trihexyphenidyl. Ketiga obat itu harus dikonsumsi secara rutin oleh sang Ibu yang menderita skizofrenia.Sebagai caregiver atau pengasuh, Alvina membiasakan Ibunya untuk melakukan aktivitas harian, seperti melipat baju dan menyapu. Tak lama, mereka ke halaman depan rumah untuk olahraga ringan.Pagi itu, Alvina memakai baju olahraga hitam dengan topi di atas jilbab hitamnya. Sedangkan Ibunya memakai sweater putih keabu-abuan, celana panjang merah muda, dan jilbab hitam. Mereka terlihat bersemangat melakukan beberapa peregangan tubuh.Alvina menceritakan, aktivitas harian Ibunya setelah olahraga yaitu duduk-duduk di dalam rumah. Sebisa mungkin, Alvina menjaga Ibunya supaya tidak keluar rumah. Sebab, saat penyakitnya kambuh, Ibunya kadang keluar ke rumah. Lalu Ibunya marah-marah ke tetangga sambil mengatakan bahwa barang milik tetangga itu adalah miliknya.“Barang ini punyaku. Ini dulu yang memberi Bupati jaman dahulu. Aku dulu bantu meredakan perang,” ujar Alvina menirukan kata-kata Ibunya saat marah-marah ke tetangga.Ibunya Alvina kambuh ketika tidak teratur minum obat. Alvina sering kewalahan mengurus Ibunya ketika penyakit itu mulai kambuh.“Ibu kan punya waham yang namanya waham kebesaran. Jadi, di skizofrenia itu ada istilahnya waham. Kalau dia sedang kambuh, dia merasa dirinya adalah orang yang penting. Misal dia seorang menteri, atau dia seorang presiden, atau dia seorang penyelamat dunia," jelasnya.Saat penyakit itu kambuh, sikap Ibunya Alvina juga mengalami perubahan. Dari sifat aslinya yang kalem, tiba-tiba menjadi orang penting dan tidak mau melakukan pekerjaan harian.“Ibu kalau sedang kambuh, dia gak akan melakukan pekerjaannya dengan alasan dia itu adalah seorang yang penting. Dia seperti mendengarkan bisikan-bisikan kalau dia gak boleh melakukan pekerjaan itu,” cerita Alvina.Sebuah artikel di hellosehat.com menjelaskan, umumnya pederita skizofrenia mengalami psikosis, yaitu suatu kondisi di mana penderitanya tidak dapat menafsirkan realita secara normal. Sehingga, penderita skizofrenia tidak bisa membedakan mana khayalan dan kenyataan.Seorang penderita skizofrenia kerap memiliki perilaku tidak teratur, yang dapat mengganggu aktivitas sehari-harinya. Hal itulah yang menyebabkan penderita skizofrenia sering dianggap “gila”.[caption id="attachment_14044" align=aligncenter width=1280]Ibunya Alvina sedang berolahraga di depan rumah Ibunya Alvina sedang berolahraga di depan rumah/Foto: Dokumen Alvina[/caption]

Sejak Kecil Merawat Ibu

Alvina Nur Asmy’, lahir tanggal 28 Februari 1998. Di Desa Jombok, ia tinggal bersama Ibu, Adik, dan Eyang Kakung (kakek). Aktivitas hariannya juga dibantu oleh seorang Asisten Rumah Tangga. Melalui keluarga dan orang-orang di sekitarnya, Alvina mendapatkan berbagai cerita tentang kondisi Ibunya.Dari cerita itu, Alvina mengatakan ada beberapa peristiwa yang dialami Ibunya sebelum didiagnosis skizofrenia. Peristiwa itu dimulai sejak Ibunya seusia anak Taman Kanak-Kanak (TK)."Ibu itu dari awal pas TK, bagian tubuhnya yang kanan, itu kena luka bakar. Terus SMP kena tipes parah. Ibu sampai lumpuh gak bisa gerak berbulan-bulan. Akhirnya syarafnya kena juga dari situ," ujar Alvina.Pasca peristiwa itu, Ibunya Alvina terus dilatih bergerak dan berjalan. Seiring berjalannya waktu, Ibunya Alvina masuk kuliah di Akademi Manajemen Koperasi (AMKOP) Malang (sekarang Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Koperasi Malang/STIEKOP Malang). Ibunya Alvina tidak sampai menyelesaikan kuliahnya, karena merasa tidak mampu dengan kondisi fisiknya.Waktu terus berjalan. Eyang Kakung memutuskan untuk menikahkan Ibunya Alvina. Ibunya Alvina dinikahkan dengan orang bugis, Makassar. Saat menikah, Eyang Kakung membuat perjanjian dengan calon suami Ibunya Alvina. Bahwa, calon suami itu harus pindah ke Trenggalek, dengan alasan bahwa Ibunya Alvina adalah anak terakhir dan perempuan satu-satunya dari lima bersaudara.Ibunya Alvina sempat tinggal selama setahun di Makassar bersama suaminya. Akan tetapi, setelah menikah suami itu tidak mau pindah ke Trenggalek. Pada tahun 1998, Eyang Kakung menyuruh Ibunya Alvina untuk pulang ke Trenggalek dan diceraikan paksa. Pada tahun itu, Alvina sedang berada di dalam kandungan Ibunya.Perceraian paksa saat mengandung itu membuat Ibunya Alvina syok dan tertekan. Ditambah, Eyang Kakung menikahkan lagi Ibunya Alvina dengan seorang lelaki. Adiknya Alvina lahir dari Ibunya dan lelaki itu. Tapi, tidak lama waktu berjalan, lelaki itu meninggal. Ibunya Alvina semakin syok dan tertekan.Saat usia sekolah dasar (SD), Alvina kecil mulai mengetahui bahwa kondisi Ibunya berbeda dengan orang tua pada umumnya. Saat penyakit Ibunya kambuh, Alvina kecil sudah mulai melakukan berbagai upaya untuk mengurus Ibunya.“Aku mulai yang inget banget itu ya SD. ‘Ohh ibu ini sakit’. Jadi misal Ibu sering marah, mulai SD itu aku kebiasa gitu. Kalau Ibu kondisinya gak bagus, dia lari misal ke tempatnya tetangga, ngamuk di sana, marah-marah di sana, ya aku mau gak mau harus jemput,” ucap Alvina.Waktu itu, Alvina kecil, paman-pamannya, Eyang Kakung, dan keluarga lainnya belum mengetahui penyakit apa yang dialami sang Ibu. Mereka merasa semakin kewalahan menghadapi sang Ibu ketika kambuh.Kemudian, ada saudara jauh yang menyarankan Eyang Kakung supaya Ibunya Alvina melakukan ruqyah. Akan tetapi, ruqyah itu tidak memberi dampak yang berarti terhadap kondisi Ibunya Alvina. Setelah merasa kondisi Ibunya Alvina semakin parah, paman-paman Alvina membawanya ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang, Kabupaten Malang.Alvina masih ingat, Ibunya mendapatkan perawatan medis di RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang, saat ia masih kelas 4 SD. Saat Alvina memasuki Sekolah menengah Pertama (SMP), Ibunya selesai dirawat. Pada tahun itu, Trenggalek sudah memiliki poli jiwa di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Soredomo. Ibunya Alvina mulai rawat jalan sejak saat itu hingga sekarang.Saat menginjak usia Sekolah Menengah Atas (SMA), Alvina secara tidak sengaja menemukan selebaran yang berisi penjelasan tentang skizofrenia. Penjelasan tentang skizofrenia di dalam selebaran itu membuat Alvina teringat akan gejala-gejala yang dialami Ibunya. Alvina juga mencari informasi lain tentang obat bagi penderita skizofrenia. Alvina kemudian menanyakan langsung kepada dokter yang menangani Ibunya. Dokter itu membenarkan bahwa Ibunya Alvina menderita skizofrenia.

Bersama Adik Merawat Ibu

Usia Alvina saat ini 24 tahun. Selama tiga tahun sebelumnya, adik yang merawat Ibu, karena Alvina kuliah di Universitas Jember. Kini, sehari-hari, ia dan adiknya yang merawat Ibu. Mereka berdua membagi tugas untuk merawat ibu.Alvina berperan membersihkan rumah, sedangkan adiknya berperan membersihkan pakaian. Sedangkan yang memasak adalah asisten rumah tangga.“Ibu kadang-kadang kalau tidur terus kebelet pipis, Ibu mau lari ke kamar mandi itu karena rada jauh, ya gak sampai di kamar mandi itu sudah pipis. Jadi Ibu sering ngompol di ruang tengah. Jadi aku yang punya tugas buat beresin isi rumah. Nah, adik ini yang punya tugas buat nyuci. Baju Eyang, bajuku, bajunya ibu, yang nyuci adek,” ujar Alvina.Hampir setiap hari, Alvina dan adiknya membantu Ibu jika melakukan tindakan yang tidak teratur. Sering kali, Ibunya Alvina memindahkan barang-barang yang sudah ditata rapi ke tempat lain di dalam rumah. Ketika kambuh berat, Ibu juga tidak bisa makan, sehingga Alvina harus menyuapinya.Merawat Ibu yang menderita skizofrenia, menguji kesabaran Alvina dan Adiknya. Alvina sering hilang kesabaran ketika tidak bisa memberi tahu Ibu bahwa sandal tidak boleh dibawa masuk ke rumah. Apalagi, lantai di dalam rumah sudah selesai dipel.“Aku pengen hmm…marah gitu. Terjadi hampir setiap hari. Makanya, aku bisa capek secara fisik dan psikis juga. Itu lumayan, meskipun kelihatannya sederhana, tapi gak sesederhana itu. Kayak yang, ‘anjir aku tiap hari ngepel loh, ini kayak gini lagi, gini lagi?’ Gitu sih, yang bikin jengkel,” kata Alvina.“Ada lagi kalau misal Adikku udah ngelipat baju rapi di lemari, bajunya buat ibu gitu ya, ibu kalau ngambil baju yaudah tarik aja sampai jatuh-jatuh bajunya. Terus adek kayak yang mau nangis ‘Mbak, aku capek lipat-lipat baju itu,’ lanjut Alvina.Saat marah, Alvina berusaha mengingatkan dirinya sendiri. Menurutnya, menjadi caregiver atau pengasuh itu harus damai dengan dirinya sendiri. Kemudian, kalau Alvina ingin marah, ia mengingatkan ke diri sendiri, “kamu tuh hanya perlu sabar dikit lagi loh, Vin”.“Tapi gimana ya? Aku manusia, masagak bisa marah? Ya aku pasti marah kadang-kadang. Beberapa kali pasti marah. Di fase-fase Ibu lagi kambuh aja kalau aku marah,” ujarnya.Alvina sadar bahwa sebenarnya penderita skizofrenia tidak boleh dimarahi. Kalau dimarahi, penderita skizofrenia kondisinya bisa bisa menurun lagi. Ia mengatakan, bahwa Ibu tidak selalu kambuh. Ibu juga bisa melakukan aktivitasnya dengan baik, meskipun ada kekurangan sedikit.“Kalau lagi normal ya normal, malah bantuin nyapunya bener. Jadi pas aku kasih PR nyapu dari ruang tamu ke teras. Oke sampai teras depan selesai. Cuma, tak lihat masih kotor, jadi aku harus ngulangin nyapu lagi, itu ya gapapa,” jelasnya.Kadang, Ibu juga bisa mencuci piring dengan benar. Meskipun tangan satunya lumpuh akibat tipes saat SMP, Ibu tetap berusaha mencuci. Meskipun, hasil cuciannya belum bersih dan Alvina harus mengulang nyuci piring itu lagi.Ibu juga sering menggunakan gelas untuk minum sekali pakai. Gelas yang dipakai itu dijejer di dapur. Lalu Ibu memakai gelas baru lagi, padahal gelas sebelumnya masih bisa dipakai untuk minum.“Kenapa gak pakai gelas yang tadi? Buk pakai ini, buk,” Alvina menirukan kata-katanya saat memberitahu Ibu.Ada juga perilaku Ibu yang membuat Alvina jengkel sekaligus panik. Ibu sering tiba-tiba meminum air yang ditemuinya. Seperti obat pel lantai, parfum literan, obat pijit milik Eyang. Lalu Ibu bilang ke Alvina, “Mbak, Ibu tadi minum ini kok panas di perut?” Alvina panik setelah mendengar pertanyaan Ibu. Lalu ia memberi susu untuk menetralisir air-air yang diminum Ibu.“Itu gak bikin emosi, cuma ngasah kesabaran. Hal yang paling berat ya sabar aja sih. Sabar itu berat,” terangnya.Ketika merasa tak mampu menahan kesabaran, Alvina mempunyai cara yang efektif supaya tidak marah. Ia mengalihkan emosinya dengan pindah ke ruangan, mencari suasana baru, tarik nafas dan hembuskan, atau berbicara dengan teman. Setelah beberapa menit, marahnya sudah hilang, dan bisa menemani Ibu lagi.Selain mengalihkan emosi, Alvina kadang juga mengajak Ibu bercanda. Kadang, nada bicara Alvina tinggi, sedangkan Ibu biasanya kalem.“Kamu kok marah-marah?” tanya Ibu kepada Alvina.“Aku ndak marah” jawab Alvina dengan nada tinggi.“Lha itu marah” balas Ibu.Kemudian Ibu berkata, “aku mau minggat [pergi]. Aku arep jegur [mau lompat ke] sumur.”“Minggato. Jeguro. Kat mbiyen ndak sido-sido njegur [pergi aja. Lompat aja. Dari dulu tidak jadi-jadi lompat,” ujar Alvina sambil becanda.Ibu memang hamper setiap hari sering melakukan tindakan tidak teratur itu. Tapi, Alvina mengatakan bahwa keluarganya sangat mendukung Ibu untuk pulih. Warga di lingkungan sekitar rumahnya juga banyak yang memahami kondisi Ibu. Meskipun, ada satu-dua orang yang kurang bisa memahami dan memaklumi tindakan Ibu.Alvina juga melakukan beberapa tindakan antisipasi ketika penyakit Ibu kambuh. Ia meninggalkan nomor teleponnya ke beberapa tetangga. Sehingga, ketika Alvina sedang ada kegiatan dan tidak bisa menemani Ibu, ada tetangga yang memberi kabar kepada Alvina kalau Ibu keluar rumah. Lalu, Alvina bisa langsung menjemputnya.[caption id="attachment_14045" align=aligncenter width=1280]Ibunya Alvina sedang melakukan peregangan Ibunya Alvina sedang melakukan peregangan/Foto: Dokumen Alvina[/caption]

Harapan itu Harus Tetap Dijaga

Hari demi hari, kondisi Ibu semakin menurun. Konsumsi obat setiap hari selama 15 tahun ini, membuat lidahnya mati rasa. Ibu tidak bisa merasakan makanan itu basi atau tidak. Ketika makan sayur, Ibu bilang rasanya enak, padahal sebenarnya sayur itu sudah basi.Tubuh Ibu semakin membungkuk dan giginya semakin berkurang karena patah. Ibu sering tidak bisa menerima kondisinya, tapi ia juga ingin bisa cepat sembuh. Sebelum meminum obat, Ibu pernah mengeluh dan bilang capek. Tapi setelah mengeluh, Ibu tetap minum obat.Semangat Ibu itulah yang membuat Alvina juga rajin untuk memastikan Ibu minum obat. Alvina harus selalu memastikan, apakah obatnya benar-benar diminum atau hanya diselipkan di sela-sela lidah. Ia juga harus memastikan bahwa Ibu tidak minum obat di luar batas, yang bisa mengakibatkan overdosis karena saking semangatnya ingin sembuh.Alvina bersyukur Ibu masih bisa membaca dengan baik, termasuk membaca Al-Quran. Meskipun, Ibu sering lupa dengan apa yang ia lakukan. Ibu juga tidak tahu hari dan tahun sekarang. Alvina kuliah di mana dan adiknya sudah lulus atau belum, Ibu juga tidak tahu.Bagi Alvina, Ibu adalah sosok yang sangat penyabar. Meskipun sering bilang capek, tapi tetap semangat bertahan.“Beberapa kali berpikiran, aku kenapa sih dilahirkan ke bumi dengan karakter seperti ini? Ternyata salah satunya buat merawat ibu,” kata Alvina.Alvina mengaku, bahwa selama ini ia belajar cara berbicara yang baik, sopan-santun dan lain-lain itu tidak dari rumah. Sejak kecil, ia terbiasa mengamati dan belajar itu ketika dia main ke rumah tetangga.“Ibu mengajarkan diriku jadi pengamat. Melihat ekspresi orang, gak gampang kebawa emosi, mengendalikan emosi, mengetahui situasi segala macam dan bisa menempatkan diri,” ucap Alvina.Alvina terus berusaha untuk mencari pengobatan yang lebih baik untuk Ibu. Salah satu temannya yang memahami psikoterapi, menyarankan supaya Ibu mengonsumsi obat antipsikotik atipikal atau obat generasi kedua untuk penderita skizofrenia. Obat ini memiliki efek samping yang lebih ringan. Karena selama ini, Ibu meminum obat generasi pertama atau antipsikotik tipikal, yang memiliki efek samping lebih kuat.Selain obat, Alvina juga mendapat saran supaya Ibu memiliki keseharian tetap, mengembangkan apa yang disukai Ibu. Kemudian, Ibu diberijadwal kegiatan dan diingatkan setiap hari. Sampai saat ini, Alvina terus berusaha melakukannya dengan lebih intens.Alvina pernah mendengar cerita ada penderita skizofrenia yang sembuh, tapi harus tetap minum obat. Meskipun sudah bisa melakukan aktivitas dan kambuhnya tidak parah, konsumsi obat bagi penderita skizofrenia itu tetap seumur hidup.“Harapan itu tetep harus dijaga ya. Aku punya gambaran, paling nggak Ibu itu bisa melakukan hal-hal normal seperti biasa. Seperti, Ibu bisa menyelesaikan pekerjaan ke dirinya sendiri, milih baju sendiri, terus beres-beres rumah, ya aktivitas-aktivitas sederhana, seperti orang pada umumnya,” harap Alvina.“Kemudian, Ibu gak gampang kedistraksi, gak gampang lupa. Jadi penginku nanti ke depannya minimal itu Ibu tahu, kemarin itu melakukan apa dan besok mau ngapain,” tambahnya.[caption id="attachment_14043" align=aligncenter width=1280]Alvina tersenyum memeluk Ibunya Alvina tersenyum memeluk Ibunya/Foto: Dokumen Alvina[/caption]

Pesan untuk Semua Orang

Hari ini Selasa, 24 Mei 2022, diperingati sebagai Hari Skizofrenia Sedunia. Sebagai caregiver atau pengasuh Ibu yang menderita skizofrenia, Alvina memiliki pesan untuk semua orang. Pesan itu ditujukan kepada sesama caregiver orang dengan skizofrenia dan semua orang yang belum mengetahui apa itu skizofrenia.Kepada caregiver orang dengan skizofrenia, Alvina berpesan bahwa ia perlu sabar. Memang ada fase yang membuat caregiver itu stress, hingga merasa bahwa menjaga kewarasan itu susah.“Jadi caregiver itu jangan lupa sama diri sendiri. Misal dirimu itu juga butuh bahagia, butuh bersosialisasi dengan orang lain, gak perlu malu atau gimana. Soalnya skizofrenia itu sama seperti penyakit fisik, cuma yang diserang psikisnya. Dan itu bukan aib lho, jadi santai aja,” pesan Alvina.Alvina juga berpesan supaya caregiver tidak memasukkan ke hati jika mendapati kata-kata yang menyakitkan dari orang lain.“Ada saudaraku yang bilang ‘ibumu itu apa ndak bisa mikir normal seperti kita?’ Uhh…pengen tak lempar sandal sebenarnya ya. Maksudku kalau Ibu bisa mikir normal, ya gak skizo namanya,” ujar Alvina kesal.Menurut Alvina, caregiver perlu mengendalikan emosinya dan menyadari bahwa kata-kata orang lain itu di luar kendali caregiver itu. Sehingga, caregiver itu perlu memperhatikan lagi bagaimana cara merespons kata-kata orang lain dengan sabar dan tenang.Alvina memahami bahwa masyarakat di sekitar penderita skizofrenia harus mendapatkan edukasi lebih tentang kesehatan mental, supaya tidak memperburuk keadaan penderita skizofrenia itu. Dukungan dari lingkungan sekitar kepada penderita skizofrenia itu sangat penting.Alvina melihat banyak kasus penanganan orang dengan skizofrenia di Trenggalek yang tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan, dan malah mendapat perlakuan tidak pantas.“Aku baca dari banyak kasus orang dengan skizofrenia di Trenggalek tidak ada dukungan sosial, keluarga, serta ekonomi. Di Trenggalek ada orang dengan skizofrenia yang terlantarkan, dipasung di dekat kandang sapi dan kambing,” ungkap Alvina.Padahal, kata Alvina, dukungan dari lingkungan itu juga menentukan akses pengobatan kepada orang dengan skizofrenia. Sehingga, orang dengan skizofrenia bisa mengetahui mana pengobatan yang ditanggung BPJS dan mana yang tidak.“Saya berharap, cerita saya ini bisa menjadi edukasi kepada masyarakat. Bahwa orang dengan skizofrenia itu juga butuh dukungan lingkungan sosial untuk membantu proses penyembuhan mereka,” harap Alvina.
Kopi Jimat

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *

This site is protected by Honeypot.