Sebelum magrib, kami bertiga tiba di warung Mak Ipah. Setelah duduk di dekat dipan, seorang teman memesan enam porsi nasi: tiga untuk dimakan di tempat, dan tiga lainnya dibungkus untuk bekal di rumah apung.
Kami sudah janjian dengan Mas Kacuk Wibisono, seorang nelayan dan penggiat konservasi terumbu karang termasuk mengelola rumah apung di Pantai Mutiara. Ia juga salah satu perintis wisata Pantai Mutiara sehingga kini dikenal oleh para wisatawan.
Tentu saja, tujuan janjian kami adalah untuk memancing. Aku dan dua orang teman sebenarnya sudah memancing selama dua hari satu malam di sekitar Teluk Prigi, namun tak juga mendapatkan tangkapan ikan. Mungkin karena kami tak pandai memilih spot yang banyak ikannya.
“Mas Kacuk, rekomendasi tempat mancing dong,” tanyaku melalui WhatsApp.
Ia kemudian menyarankan dua tempat: satu tempat mancing di pereng yang belum pernah kami kunjungi dan satu spot lainnya di rumah apung.
“Tempat yang enak tidak banyak cantolan di dekat Jembatan Jepang, tapi kalau mau lebih enak, wes di rumah apung saja,” jawabnya sambil menjelaskan detail jalan menuju Jembatan Jepang.
Meski kami sudah mencoba mencari jalan menuju lokasi Jembatan Jepang, hasilnya tetap nihil. Kami bertanya pada beberapa petani yang lewat. Mereka menunjukkan lokasinya. Sebenarnya dari atas bukit, kami sempat melihat jembatan yang dimaksud, namun karena tidak tahu akses jalan untuk turun, akhirnya kami kembali dan memutuskan untuk ke rumah apung.
“Mas Kacuk, kami ke rumah apung saja, jalan ke Jembatan Jepang tidak ketemu,” ucapku melalui telepon.
Ia menyarankan menunggu di warung tempat kami biasanya nongkrong.
Warung Mak Ipah
Hari itu hari Minggu, seperti biasa, Pantai Mutiara padat wisatawan. Mas Kacuk dan kelompoknya sibuk melayani para turis yang bermain-main di air laut. Ada yang bermain banana boat, menyewa sky, dan wahana permainan air lainnya.
Ketika senja tiba, orang-orang yang tergabung dalam kelompok Rembeng yang dikelola Mas Kacuk berkumpul di warung Mak Ipah. Mereka memesan minuman dan makanan, sekaligus melepas penat setelah bekerja dan kepanasan seharian. Jumlah mereka sekitar sepuluh orang.
Nama lengkapnya Saripah, ia pemilik warung Mak Ipah. Warung ini menjadi tempat transit oleh kelompok Mas Kacuk dan orang-orang yang hendak memancing di rumah apung. Ini sudah menjadi pengetahuan umum bagi para pemancing di rumah apung.
[caption id="attachment_75162" align=alignnone width=1600] Jembatan Jepang di Teluk Prigi, merupakan puing-puing bekas bangunan yang dimiliki pengusaha pembudidaya kerang mutiara, berasal dari Jepang | Foto @mastrigus[/caption][caption id="attachment_75163" align=alignnone width=1600] Warung Mak Ipah menjadi tempat berkumpulnya Kelompok Rembeng sebelum dan sesudah bekerja. Tempat ini juga menjadi tempat berkumpulnya para pemancing sebelum berangkat ke Rumah Apung | Foto: @mastrigus[/caption]Di warung Mak Ipah, orang-orang bisa memesan nasi, minuman serta camilan. Disediakan juga toilet umum untuk pelanggannya. Di meja yang tertata rapi, tersedia stop kontak bagi mereka yang ingin mengecas ponsel.
Kami bertiga menikmati nasi buatan Mak Ipah. Di belakang dipan yang saya duduki, ada dua pemuda lainnya. Ketika saya tanya, mereka berasal dari Kabupaten Kediri. Mereka mengaku sudah dua kali memancing di rumah apung, sedangkan aku, baru sekali ini.
Rumah Apung Mutiara
Suatu ketika Mas Kacuk berpesan padaku, “Kalau mau memancing sambil menenangkan diri di rumah apung, jangan pas malam hari libur, karena di sana ramai sekali.”
Memang, rumah apung kini menjadi tempat favorit bagi para pemancing. Tempat yang semula berfungsi sebagai tempat pengawasan terumbu karang tersebut, kini memiliki fungsi lain, yakni tempat memancing.
Rumah apung terletak beberapa puluh meter dari bibir Pantai Mutiara, merupakan rumah yang dibangun di atas konstruksi yang dapat mengapung di atas permukaan air laut. Untuk menjangkau tempat ini bisa menggunakan perahu. Kelompok Mas Kacuk menyediakan fasilitas tersebut, tentu saja dengan membayar sejumlah uang.
Bangunan rumah mayoritas dibuat dari bahan kayu, yang lebih awet dibandingkan dengan bahan-bahan yang mengandung besi, karena air laut merupakan musuh utama besi.
Rumah apung Mutiara menjadi tempat favorit bagi para pemancing karena di sana terdapat berbagai macam jenis ikan. Menurut keterangan Mas Kacuk, ikan-ikan yang berkumpul di sana disebabkan oleh habitat ekosistem yang telah terbentuk, tentu saja butuh waktu lama hingga menjadi seperti itu.
[caption id="attachment_75170" align=alignnone width=1280] Tampak asyik, para pemancing di Rumah Apung fokus pada joran pancing menunggu mata kailnya dimakan ikan | Foto: @mastrigus[/caption]Keberadaan rumah apung di Pantai Mutiara Prigi menarik banyak ikan ke sekitarnya karena berbagai alasan ilmiah yang terkait dengan ekologi laut dan perilaku ikan. Salah satu faktor utama adalah rumah apung tersebut menyediakan struktur fisik yang berfungsi sebagai habitat bagi berbagai spesies ikan. Struktur ini memberikan tempat berlindung dari predator dan arus kuat, yang sangat menarik bagi ikan kecil dan juvenil.
Juvenil adalah istilah dalam biologi untuk merujuk pada tahap perkembangan awal dari hewan, terutama ikan dan invertebrata, yang belum mencapai kematangan seksual. Pada tahap juvenil, organisme ini biasanya memiliki ukuran yang lebih kecil dan sering kali memiliki morfologi atau bentuk tubuh yang berbeda dibandingkan dengan individu dewasa. Tahap juvenil adalah masa pertumbuhan yang kritis di mana organisme ini sangat rentan terhadap predasi dan perubahan lingkungan.
Dengan adanya tempat berlindung ini, ikan-ikan kecil merasa lebih aman dan dapat bertahan hidup lebih lama, yang pada gilirannya menarik predator yang lebih besar dan menciptakan ekosistem yang lebih beragam dan kaya.
Selain itu, struktur rumah apung sering menjadi tempat menempelnya alga, teritip, dan organisme lainnya yang menjadi makanan bagi ikan. Kehadiran organisme-organisme ini meningkatkan ketersediaan makanan di sekitar rumah apung, menarik ikan untuk mencari makan di sana.
Rumah apung juga memberikan area bayangan di bawahnya yang menarik bagi banyak spesies ikan. Daerah teduh ini memberikan perlindungan dari predator udara dan mengurangi paparan sinar matahari langsung, yang bisa menyebabkan stres bagi beberapa spesies ikan. Zona bayangan ini juga bisa menurunkan suhu air sedikit, menciptakan lingkungan yang lebih nyaman bagi ikan-ikan tersebut. Perubahan mikrohabitat lokal ini sering kali membuat area di sekitar rumah apung lebih kondusif bagi kehidupan ikan dibandingkan dengan area sekitarnya yang tidak memiliki struktur buatan.
Fenomena yang dikenal sebagai efek agregasi juga berperan dalam menarik ikan ke sekitar rumah apung. Efek ini terjadi karena ikan cenderung berkumpul di sekitar struktur buatan seperti rumah apung, yang memberikan berbagai manfaat seperti perlindungan, ketersediaan makanan, dan tempat berlindung.
Perilaku alami ikan yang lebih suka berada di dekat struktur dibandingkan di perairan terbuka menyebabkan konsentrasi ikan yang lebih tinggi di sekitar rumah apung. Hal ini menciptakan suatu ekosistem mini yang kompleks dan mendukung keanekaragaman hayati yang lebih tinggi.
Bermalam di Rumah Apung
Kelompok Rembeng memiliki empat lokasi rumah apung. Saat malam minggu, semua tempat dipenuhi oleh para pemancing, terkadang sampai berjejal.
“Malam minggu ramai banget, ada sekitar 80 orang yang memancing di sana,” terang Mas Kacuk.
Bagi mereka yang hanya memiliki waktu luang di malam minggu dan berkeinginan memancing di sana, harus memesan tempat lebih awal kepada Mas Kacuk supaya diakomodir karena tak jarang ia menolak pemancing karena tempatnya sudah penuh.
Ada ragam ikan yang bisa didapatkan pemancing di rumah apung, seperti ikan layur (jika sedang musim), ikan kakap, ikan luto, cumi-cumi, bahkan pogot. Para pemancing duduk di sekeliling atap rumah sambil memegangi joran masing-masing.
[caption id="attachment_75165" align=alignnone width=1280] Rumah apung ini disebut kreket, terdapat 2 bangunan rumah beratap yang terpisah oleh keramba. Keramba ini menjadi tempat berlindung biota laut berukuran kecil, sehingga memantik ikan-ikan besar untuk datang mencari mangsa | Foto: @mastrigus[/caption]Kala mereka ingin membuat kopi atau mie instan, ada kompor gas yang sudah disediakan. Juga ada toilet pribadi sehingga para pemancing tidak membuat kotoran di sembarang tempat.
Tempat tersebut cenderung tenang, ombak dan arus laut mampu diredam dengan baik, meskipun masih ada efek gelombang yang terasa, namanya juga rumah apung. Pemancing yang sudah lelah bisa mencari lokasi tidur di bawah atap.
Aku dan dua teman lainnya memasang pancing dan umpan, lalu melemparkannya ke laut. Kami larut dalam pikiran masing-masing. Di sisi kanan, tampak seorang bapak-bapak menarik reelnya. Ketika diangkat, ada ikan layur tergantung di mata kail. Di sebelah kiri, pria paruh baya teriak kegirangan karena berhasil mengangkat ikan kakap merah.
Pagi-pagi buta, aku terbangun dari tidur, lalu mencoba melemparkan mata kail. Tiba-tiba terasa tarikan dari dasar laut. Aku kegirangan dan langsung memutar reel. Tak berlangsung lama, seekor ikan luto muncul dari dalam air. Lantas kuulangi lagi cara tersebut, dan beberapa menit kemudian ikan luto kembali kudapat.
Meski semalam suntuk tak ada ikan yang berhasil kutangkap, pagi itu, sebelum kapal penjemput datang, rasa harapku terobati dengan berhasil menangkap ikan. Yang kurasakan, tak ada yang sia-sia dengan waktu yang telah kuhabiskan untuk mancing. Toh, selama itu pula aku telah berusaha. Manusia merencanakan, dan Tuhan menentukan.