Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Sensasi Berburu Kakap Merah di Pereng Pantai Watulimo

Bagi pemula, mancing di pereng merupakan tantangan. Debar hati ketika menyusuri tebing terjal dalam gelap malam ditebus sepadan dengan euforia ketika Kakap Merah hinggap pada mata kail.

“Jam 17.00 kita berangkat. Aku masih kerja. Jam 16.00 selesai,” chat Peci via WhatsApp menjawab ajakanku memancing di pereng. Sontak, aku bergegas meluncur dari Trenggalek menuju Watulimo. 

Mereng merupakan sebutan khusus bagi pemancing di lokasi pereng. Pereng merujuk dari kata lereng, yakni tempat yang memiliki kemiringan tertentu. Spotnya sangat terjal dan berada di pinggir laut. Rata-rata ombaknya besar dan tidak beraturan. 

Karena itu, jika ingin memancing di pereng, ajaklah orang yang sudah berpengalaman, supaya memahami waktu-waktu tertentu ketika air laut surut atau pasang. Lagi, menurut orang-orang yang hobi mancing, pereng bukanlah tempat yang biasa dikunjungi orang. Jadi harus ekstra hati-hati. 

Tiba di Watulimo, aku njujug di rumah Roin yang terletak di seberang Pasar Sebo. Beberapa saat menunggu, Peci datang. Tanpa berlama-lama, kami melakukan persiapan, seperti mengecek alat-alat pancing yang sudah ada dan membuat daftar alat-alat yang bakal dibutuhkan di sana.  

Oh ya, sesuai arahan Peci, tujuan kami kali ini ke pereng sebelah barat, jika ditarik garis lurus, kira-kira jarak dari Pantai Damas sekitar 7 km. Anda tentu sudah paham, bahwa jalan yang kami lalui tidaklah selurus garis mistar. Melihat lokasi yang jauh, kami harus melakukan persiapan dengan cermat. 

Jika memancing di pereng, ada beberapa hal yang harus dibawa. Seperti bekal, kail (usahakan beberapa bungkus dan jenis mata kail), senar pancing (usahakan yang berukuran besar), umpan beberapa jenis (ikan, udang), air minum, wadah ikan, obat nyamuk bakar dan yang paling utama, joran pancing berukuran panjang. 

Peci tidak merekomendasikan membawa obat nyamuk dalam bentuk lotion yang dipakai mirip handbody karena berbau wangi. Dia tak menghubungkan ke hal mistis. “Nanti tangan kita kena obat nyamuk dan karena harus memasang umpan. Takutnya, umpannya menjadi wangi dan ikan menjadi takut,” katanya kala itu. 

Dari rumah Roin, kami bertolak ke Prigi. Di sana kami mampir terlebih dahulu di toko pancing simpang 4 Prigi untuk membeli perlengkapan yang masih kurang. Selain membeli mata kail, senar dan alat lainnya, kami juga membeli wadah ikan dari styrofoam berukuran sedang. 

Wadah ini kami isi terlebih dahulu dengan umpan ikan dan cumi-cumi serta daging ayam, lantas kami belikan es batu supaya umpan tidak cepat busuk. Selain itu, wadah berisi es batu ini juga bagus untuk menyimpan ikan hasil tangkapan. 

lokasi-toko-pancing-prigi.jpg
Lokasi toko pancing di Prigi yang kami datang

Waktu menunjukkan pukul 17.20 WIB. Kami masih belum membeli bekal makanan. Ketika berangkat dari rumah aku belum makan. Sementara Peci juga baru pulang kerja, tentu saja ia belum makan.  

Kami membeli nasi di warung Mbok Mi yang terletak di simpang Tiga Prigi, dekat balai gedung Serba Guna Dharma Putra Desa Tasikmadu. Namun karena sore itu antreannya cukup panjang, kami baru selesai setelah menunggu 30 menit.Adzan magrib berkumandang, dan kami belum beranjak dari Prigi. 

Sebenarnya, berangkat mereng ketika hari sudah gelap tidaklah tepat. Seharusnya ketika sampai di spot mancing, hari masih dalam keadaan terang sehingga bisa mengamati keadaan sekitar. Namun karena kami tidak memiliki rencana matang sebelumnya, malam hari pun kami terjang, entah resiko apa yang akan terjadi.

Dari Prigi Ke Pantai Damas Lalu Melewati Pantai Tiluh

Hari beranjak gelap. Dari Prigi, kami bersepeda motor sendiri-sendiri menuju Pantai Damas. Di jalan, aku baru ingat: kami belum membawa kopi. Akhirnya, kami berhenti sejenak, mencari warung. Setelah itu, perjalanan kami lanjutkan.Dari Pantai Damas kami menuju Pantai Tiluh. Di tengah jalan, Peci berhenti mencari batu-batu kecil bulat yang akan digunakan sebagai pemberat pancing.

IMG-20240619-WA0029.jpg
Hasil tangkapan ikan saat memancing di spot pereng Mangu | Foto @mastrigus

Ia menuruni jalanan menuju bibir laut, berbekal lampu handphone ia berjalan sendirian, saya tetap di motor sambil menunggunya kembali. 

Sebenarnya di tempat pancing, aku sempat bertanya kenapa tidak beli timbel saja, tapi ia memiliki alasan bagus.“Eman-eman uang, di pereng banyak sangkutan, jadi akan banyak kehilangan pemberat pancing, pakai yang lebih hemat saja, batu” jawabnya. Saya menuruti setiap rekomendasinya, karena ia lebih berpengalaman. 

Di sepanjang perjalanan kami melalui jalan yang bersemen. Lebarnya sudah bisa untuk simpangan dua motor. Jalan ini merupakan jalur vital perekonomian masyarakat Trenggalek yang memiliki lahan di sana. Dibangun para petani secara gotong-royong agar memudahkan mereka untuk bepergian, misalnya berangkat membawa pupuk  dan dan pulang membawa hasil pertanian.

Dari Pantai Tiluh menuju spot mancing, perjalanan masih sekitar 4 km. Semakin masuk ke dalam hutan, jalan yang kami lalui semakin sempit, namun bagusnya tetap bersemen. Kondisi yang gelap membatasiku untuk melihat sekeliling, aku hanya fokus pada jalan di depan. 

Siangnya aku baru sadar kalau jalan yang telah dilalui ternyata berada di pinggiran jurang. Untung berangkatnya malam, jadi tidak takut.

Mbah Riman

Peci menghentikan motornya di gubuk seorang petani, aku mengikuti yang ia lakukan, tampak dari gerak-geriknya ia akan menitipkan motor di sini. Peci meletakkan motor di samping gubuk, tepat di bawah tritisan (pinggir rumah tepat di bawah genting, tepat dimana air hujan jatuh dari genting). Meski disebut gubuk, nyatanya gubuk tersebut menyerupai rumah. 

Ketika kami mematikan motor, dari dalam rumah muncullah orang tua paruh baya, ia menyapa kami. Aku terheran, ternyata di tengah-tengah hutan seperti ini ada orang yang tinggal. Bapak tua ini ditemani istri dan seorang anak lelaki yang ternyata anaknya. 

Ketika bercakap-cakap ia mengaku berasal dari Kecamatan Suruh dan sudah tinggal di rumah tersebut selama 10 tahun, namanya Mbah Riman.Jika melihat lokasi di Google Earth, ada orang yang telah menandai rumah Mbah Riman di peta digital tersebut, menandakan bahwa ia populer di kalangan pemancing pereng. Tak tanggung tanggung, nama yang dibubuhkan adalah Rumah Riman’s Coffe dan spot mancing yang akan kami tempat bernama Spote mancing mbah riman. 

spot-mancing-mbah-riman.jpg
Spot mancing dilihat dari Google Earth

Kami menitipkan motor di rumah Mbah Riman, lantas setelah saling sapa, kami meminta pamit melanjutkan perjalanan. Peci memandu perjalanan ini, ia tampak sudah hafal jalan-jalan setapak ia akan kami lalui. 

Jalannya sempit dan menurun, berada di tengah-tengah ladang garapan Mbah Riman, tentu saja, jalan ini tak bersemen. Semakin lama, jalan semakin curam dan licin karena dauh-daun yang berguguran.

jarak-spot-mancing-pereng-mangu-dengan-pantai-prigi.jpg
Jarak spot mancing Pereng Mangu dengan Pantai Prigi mencapai 10 KM, diukur dengan Google Earth

Kami hanya mengandalkan senter HP. Di sekeliling tampak gelap, suasana sepi. Beberapa meter dari bawah, aku mendengar dentuman ombak menabrak karang. Semakin lama suara itu semakin keras terdengar.‘Masih jauh Ci?” tanyaku“Itu di depan ‘kan sudah pereng” Jawabnya sambil meneruskan perjalananSekali lagi, kondisi gelap membatasi penglihatan. 

Dari balik jalan semak yang kami sibak, tepat di bawah tebing nan curam terhampar lautan luas. Saat itu, warna laut hanya hitam. Sesekali, sorot lampu perahu nelayan memantul hingga tempat kami, menyibak kegelapan laut hingga tampak gejolak airnya.

mereng-2.jpg
Pemandangan pereng saat siang hari | Foto @mastrigus

Aku melihat HP,  ternyata sudah jam 19.30 WIB. Peci tampak hati-hati menuruni lereng, aku mengikutinya perlahan sambil mengamati hempasan air laut dengan bantuan cahaya bulan. 

Peci sudah mewanti-wanti  jangan sampai mengarahkan lampu ke laut, karena ada ikan tertentu yang pergi jika melihat cahaya. Tentu saja Peci tahu karena sudah sering memancing di pereng. Ia seperti sudah hafal tabiat ikan laut sesuai jenisnya. 

Karang ini memiliki nama Karang Mangu, orang-orang kadang menyebutnya Karang Kali Tutub. Tempatnya tidak sepenuhnya curam, ada bagian datar yang bisa dilalui orang dengan mudah. Namun yang harus diwaspadai, bagian datar ini terkadang menjadi pelampiasan air laut. Jika tidak waspada, air bisa kapan saja datang, menghempas apapun yang ada di sana. 

Peci mencari spot aman untuk istirahat sekaligus menaruh barang-barang. letaknya sekitar 5 meter dari bibir laut. Namun melihat tempat kami berhenti ini basah, pasti air laut sempat naik ke sini. Kami menaruh barang di posisi lebih tinggi. sekitar 1 meter dari tempat basah tersebut. 

Kami  membuka bungkusan makanan lalu menyantapnya, setelah itu ngopi dan menghabiskan sebatang rokok. Setelah istirahat cukup, kami lanjut untuk memasang pancing. Kondisi gelap tak menghalangi kami, nyatanya gemuruh air laut menular pada kami, hati kami bergemuruh untuk segera melempar joran.

Ikan Kakap Merah dan Kerapu

mereng-5.jpg
Tangkapan ikan kakap merah saat siang hari | foto @mastrigus

Aku lemparkan mata kail ke laut. Sumpah! Baru kali ini aku merasakan sensasi melentingkan joran di laut lepas dari pinggir pereng. Sebenarnya, saya sudah berulang kali meminta ikut saudara yang terbiasa mancing di pereng, namun jawabannya selalu jangan. Baru aku tahu bahwa penolakannya tersebut lantaran tempatnya ekstrim, mungkin mereka tidak ingin mengambil banyak resiko dengan mengajakku.  

Belum sampai satu menit, reels aku gulung karena lemparan pertama kurang jauh sehingga kurang puas. Namun setelah senar pancing semakin memendek, mata kail tidak bisa kutarik, sepertinya nyantol di batu karang.Dengan beberapa usaha, aku bisa menarik kail tersebut, namun begitu di depan mata, saya baru menyadari bahwa pancing yang telah aku lempar tadi telah disambar ikan.

mereng-10.jpg
Ikan pogot, hasil tangkapan peci | Foto: @mastrigus

Ikannya berwarna merah, mirip kakap merah, namun matanya lebih lebar, aku perhatikan lebih lama, ini mirip ikan mpok asu. Ia menggelepar di bebatuan, hatiku rasanya bungah. Ini adalah tangkapan pertama, lebih cepat dari Peci. Namun karena posisi Peci ada di balik batu karang, aku urungkan untuk memberitahunya.

Ada pelajaran lagi ketika memancing di pereng, jangan teriak-teriak, karena pamali. Apabila melihat sesuatu yang aneh, jangan ucapkan apa-apa. Lebih baik diam. Membaur dalam keheningan dan biarlah ombak yang berbicara. 

Tak lama setelah itu, Peci strike, ia mengangkat ikan kakap. Ia menyodorkan ikan padaku untuk melepas pancing dari mulut ikan. Lantas, ia menjelaskan perbedaan ikan kakap merah dengan ikan merah yang ku dapat tadi.Kami memakai lampu HP untuk melihat ikan-ikan yang telah didapat. Namun sekali lagi, kami tidak pernah sekalipun menghadapkan lampu langsung ke laut. 

Di balik cekungan di tebing nan curam, kami hanya boleh memakai cahaya yang memantul dari bebatuan.Malam semakin larut, jangan bayangkan kami terus mengangkat ikan meskipun tidak butuh lama umpan di makan ikan setelah dilempar. Pereng penuh bebatuan, tidak terhitung berapa kali pancing dan pemberat kami tersangkut bebatuan.

mereng-9.jpg
Salah satu ikan hasil tangkapan| Foto: @mastrigus

Yang paling kerap mengganti pancing adalah aku, karena senar yang kubawa terlalu kecil, jadi ketika kail tersangkut bebatuan, senar ta mampu menahan beban ketika ditarik, sehingga mudah putus.Sedangkan Peci, meski tidak luput dari sangkutan, namun tidak sesering aku, ia menunjukkan bahwa dirinya sudah berpengalaman mancing di pereng, sedangkan aku benar-benar seorang pemula. Peci kerap mengangkat ikan, beberapa ekor Kakap Merah dan Kerapu juga Ikan Pogot. 

Jam 02.00 WIB dini hari. Aku kelelahan lantas segera mungkin mencari lekukan datar di antara tebing yang lebih tinggi (5 meter dari permukaan air laut). Setidaknya cukup untuk merebahkan badan. Setelah memastikan kondisi aman, baik dari potensi terjungkal atau dihempas ombak ketika tidur, aku memejamkan mata. Peci juga melakukan hal serupa. Lalu yang terdengar hanya suara air laut yang terhempas di bebatuan.

Keindahan Pereng di Pagi Hari

Keindahan Pereng pagi hari | Foto: @mastrigus

Pukul 05.15 WIB, aku terbangun dari tidur. Samar-samar bias cahaya matahari muncul dari ufuk timur, air laut tampak tak sehitam tadi malam. Ia mulai membiru, pun dengan pecahan air yang menabrak karang, terlihat menjadi putih. 

Lama-lama rasa hangat mulai terasa, cahaya matahari langsung menabrak kami, tanpa dihalang halangi mendung. Air laut terkadang berwarna jingga, kadang kuning keemasan, pagi itu laut tampak indah, tak semenakutkan pada malam hari. 

Peci sudah bangun lebih dahulu, ia melanjutkan memancing. Aku masih terkesima dengan pemandangan pagi itu. Lantas kembali bersemangat melihat Peci mengangkat ikan lagi.Total ikan yang kami dapatkan ada 18 ekor, terdiri dari beberapa jenis ikan pereng. 

Tentu saja yang lebih banyak mendapatkan ikan adalah Peci, bukan aku. Namun aku puas dengan pengalaman ini. Pengalaman menegangkan sekaligus menyenangkan. 

Jam 09.30 WIB, kami bersiap-siap pulang karena hari semakin panas. Ikan telah tersimpan aman di wadah styrofoam dengan es batu. Kami merapikan peralatan. Aku dan Peci kembali menelusuri tebing-tebing yang kami lewati tadi malam, semakin membuatku terperangah bahwa, jalan yang kami lalui tadi malam sebenarnya sangat mengerikan.