Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

My Account

Antara Zoom dan Kail Ikan: Petualangan Menjaring Jurnalis dan Memancing Luto

Kisah yang bermula dari kantor dan berlanjut ke tepi laut.

  • 21 Jan 2025 18:00 WIB
  • Google News

    Agus, teman wartawan dari Kabupaten Blitar, tiba-tiba mengirim pesan WhatsApp pada saya, Sabtu (19/1/2025) pagi.

    "Pie, Gus. Mengko bengi haup po ra?"

    Saya buru-buru mengecek aplikasi Fishing Point untuk melihat kondisi laut Trenggalek. Waduh, ternyata diprediksi hujan, meski gelombang cukup stabil.

    "Tapi nanti malam hujan, Mas," balasku. Ada rasa enggan, meski keinginan memancing tetap ada.

    Alasan utamanya cukup jelas. Hari itu ada agenda meeting Zoom penjaringan wartawan baru Kabar Trenggalek, dari pukul 14.00 hingga selesai. 

    Saya harus ikut, meskipun sebenarnya tugas itu sudah diatasi oleh Zamzuri. Apalagi ada Danu, wartawan senior yang juga mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Kediri, tentu  berpengalaman dalam hal ini.

    Tapi pagi-pagi, Zam sudah memberi kode bahwa saya harus memberikan sambutan.

    Walah, dilema. Padahal saya ingin mancing. Agus sudah menentukan jadwal keberangkatan—pukul 17.00 harus sudah ada di pinggir pantai.

    Itu berarti, sebelum pukul 16.00 saya harus bertolak ke Watulimo. Masih ada waktu untuk ikut Zoom, meski harus terburu-buru.

    Tiba-tiba Hilang

    Sejak pagi, Trenggalek gerimis. Saya tiba di kantor pukul 13.00, mendapati Zam yang sibuk menyiapkan link Zoom.

    "Walah, ternyata link Zoom-nya kadaluarsa," ucapnya ketika kutanya apakah persiapan sudah beres.

    "Lha kok iso? Bukane mambengi wes beres?" tanyaku.

    "Ternyata linknya saya set jam 00.000," jawabnya sambil terkekeh.

    Penjaringan wartawan kali ini memang menjadi tanggung jawab Zam. Tahun 2025, Kabar Trenggalek (KBRT) memberanikan diri untuk merekrut dua wartawan baru. Kondisinya memang menuntut penambahan pasukan. Jika hanya mengandalkan tim yang ada, banyak informasi yang luput.

    Fokus ke politik? Featurenya ketinggalan. Tapi politik selalu menarik diberitakan, meski pembacanya tidak sebanyak berita lain.

    Pembaca di Trenggalek itu ramai untuk tiga jenis berita: kecelakaan, persoalan rumah tangga, dan bansos. Selebihnya, ratingnya selalu di bawah 3 berita tersebut.

    Menurut Zam, selama empat hari pengumuman rekrutmen disebar, ada 25 orang yang mendaftar. Semua dari Gen Z, sesuai syarat yang ditulis dalam pengumuman—maksimal berusia 25 tahun.

    Tapi ketika Zam membuat absensi pagi itu, hanya 15 orang yang bersedia mengisi. Sepuluh orang lainnya tak memberikan respons.

    Saya tidak terkejut. Fenomena ini sudah sering terjadi.

    Zoom akhirnya dimulai pukul 14.10. Ada Danu, sang pemred. Juga Bayu, webmaster yang bisa menulis. Namun, dari 15 peserta yang mengisi absensi, hanya sembilan yang benar-benar hadir.

    Berarti, enam orang hilang tanpa alasan. Tiba-tiba lenyap begitu saja.

    Tak apa-apa, seleksi kali ini memang dirancang seperti ini—langsung dalam satu room Zoom, tanpa perantara teman atau "orang dalam".

    Semua peserta yang hadir diwajibkan menyalakan kamera. Tujuannya agar ada interaksi langsung.

    Mula-mula, sembilan peserta bertahan selama 30 menit. Tapi satu per satu menghilang. Tanpa pamit. Tanpa kejelasan.

    Edun.

    Jam 15.30, tersisa lima peserta. Mereka bertahan. Ajaib, mengingat peserta lainnya sudah berguguran.

    Saya memberikan beberapa pertanyaan imajiner, dan mendapatkan jawaban yang cukup memuaskan dari kelima Gen Z tersebut.

    Inti pertanyaannya sederhana: "Kalian lebih memilih kepentingan bisnis Kabar Trenggalek atau idealisme sebagai jurnalis?"

    Satu per satu menjawab lebih memilih idealisme.

    ADVERTISEMENT
    Migunani

    Saya senang bukan kepalang.

    Jam 16.00, saya pamit ke Zam. Waktunya pergi ke Watulimo.

    Musim Luto di Rumah Apung

    ikan-luto
    Ikan Luto disebut juga ikan kembung mata belo. KBRT

    Untungnya, sepanjang perjalanan hujan tak turun. Saya mampir dulu ke rumah Emak untuk mengambil peralatan mancing.

    Di WhatsApp, Agus memberi kabar bahwa ia sudah tiba lebih dulu. Ia menunggu di warung kopi dekat sentra ikan bakar Bengkorok.

    Saya bergegas, tapi sebelum berangkat, minta dibuatkan telur goreng ke Emak. Entah kenapa, kalau belum makan di rumah, rasanya tetap lapar meski sudah makan di luar.

    Kabar dari teman-teman, di Rumah Apung Pantai Mutiara sedang musim ikan Luto. Malam sebelumnya, pemancing dari Kecamatan Kampak mendapatkan dua tripung penuh—sekitar 30 ekor.

    Ia bahkan pamer video hasil tangkapannya. Edyan, Luto sebanyak itu pasti bikin istri senang.

    Saya membeli umpan udang mati, berharap ada serbuan ikan Juventus, kakap, atau krisi. Umpan soft lure dan rangkaian sabiki juga saya bawa. Konon, ikan Luto mudah dipancing dengan itu.

    Jam 17.30 WIB, kami menuju warung Mak Ipah, menemui kru kapal pengantar. Ada Mas Kacuk dan sekitar 10 pemancing lain.

    Mereka sempat tertahan hujan dan angin. Tapi setelah agak reda, kami berangkat. Meski kabut mengepul di atas laut.

    berangkat-memancing-ke-rumah-apung
    Para pemancing bersiap menaiki perahu pengantar ke rumah apung, suasana hujan rintik disertai agin, kabut tebal menutupi gunung Kumbokarno. KBRT/Trigus

    Saya dan Agus memilih rumah apung oranye, katanya lebih menjanjikan. Meski beberapa kali saya boncos. Maklum, masih pemula.

    Rumah apung ramai. Sudah ada 23 orang di sana. Ditambah kami, totalnya sekitar 30-an orang. Ada pemancing dari Tulungagung, Kras Kediri, Madiun, Blitar, dan daerah lainnya.

    Rumah apung ini sudah dilengkapi kompor gas, kamar mandi, dan tempat berteduh. Mancing jadi lebih nyaman. Karena itu, dikenakan biaya Rp50.000 per orang. Saya juga bayar, meski kadang Mas Kacuk menggratiskan.

    Jam 20.00 WIB, ikan Luto mulai berdatangan. Edan, banyak sekali.

    Ikan-ikan kecil berhamburan. Ada yang meloncat ke permukaan, lalu kembali berenang, sebelum akhirnya disambar Luto.

    Ikan Luto ini dikenal juga sebagai ikan kembung mata belo. Ada juga varian lain yang mirip, seperti ikan Karas.

    Tapi ada yang aneh. Luto-luto itu hanya berenang di bawah rumah apung. Tak satu pun menyambar umpan kami.

    Seorang pemancing dari Kediri berkomentar, "Iwake kampanye."

    Kami hanya bisa terkekeh.

    Tapi ada dua orang pemancing yang sibuk menarik Luto satu per satu. Setiap dua menit, mereka dapat ikan. Hingga dua kresek sedang penuh.

    Mereka menggunakan umpan udang hidup.

    Saya hanya bisa geleng-geleng. Sabiki tak disentuh, soft lure pun hanya dilewati. Umpan udang mati dan serpihan teri juga tak digubris.

    Luto kali ini susah diprediksi.

    Hingga pukul 04.00 pagi, saya hanya dapat dua ekor Luto dan satu krisi. Agus malah nihil. Ia hanya dapat ikan pethek.

    Pagi harinya, saat hendak ke kamar mandi, saya melihat dua pemancing yang semalam panen Luto sedang tidur pulas.

    Sementara saya, tak tidur sama sekali.

    Sebelum pulang, saya membawa tiga ikan sedang dan empat ikan kecil.

    Lumayan. Meski tetap kesal dengan gerombolan ikan Luto. Banyak, tapi sulit ditangkap. Kadang datang berduyun-duyun, tetapi suka menghilang tanpa jejak.

    Luto memang susah diprediksi.

    Kabar Trenggalek - Feature

    Editor:Danu S