KBRT – Pagi itu, mentari baru saja naik dari balik perbukitan, mewarnai langit Trenggalek dengan semburat jingga yang hangat. Di bantaran Sungai Ngasinan, biasanya seorang perempuan berusia 60 tahun tampak memikul timba berisi pasir, berjalan pelan menapaki tanjakan licin menuju tepian.
Namun, sejak dua bulan lalu, langkah itu tak lagi terdengar. Wartini, atau yang akrab disapa Warti, memilih meninggalkan sungai demi satu tugas mulia lainnya: merawat sang ibu yang kini telah berusia 97 tahun.
Selama lebih dari tiga dekade, Warti menjadi salah satu dari sedikit perempuan pengais pasir di Trenggalek. Ia bukan hanya bertahan dalam pekerjaan berat yang didominasi laki-laki, tetapi juga menjadi simbol ketangguhan. Bersama suaminya, ia memikul kehidupan—secara harfiah dan makna.
"Dulu saya mulai ikut mengais pasir saat anak saya yang pertama masih kelas 6 SD dan sekarang sudah berumur 40 tahun. Meski awalnya sangat melelahkan, saya tetap memaksa ikut, ya demi membantu cari nafkah suami," kenangnya, sambil tersenyum kecil.
Tak ada yang bisa menghapus lelahnya kecuali cinta dan tekad. Setiap hari, ia memanggul timba pasir dari dasar sungai. Sementara sang suami mengeruk pasir, Warti membawa hasilnya ke tepian.
Dalam sehari, pasangan ini bisa menghasilkan satu rit, atau sekitar 160 timba pasir. Jumlah yang tak kalah dari para pengais pasir laki-laki.
"Saya rasa hanya mencari pasir dari sungai kesempatan yang saya miliki, karena mau bekerja di pabrik oleh-oleh pun saat itu sudah penuh karyawannya," ucapnya.
Sesekali, candaan bernuansa gender terlontar dari sesama pengais pasir. Tapi Warti tidak menggubrisnya. Ia tahu betul apa yang ia lakukan bukan sekadar pekerjaan, melainkan perjuangan.
"Sering pengais pasir laki-laki lain bercanda kepada saya, 'Ngusung pasir kui gaweyane wong lanang, wong wedok muliho wae.' Tapi saya tidak menganggapnya serius dan tetap lanjut bekerja demi mencukupi kebutuhan," ujarnya tegas.
Kini, tugasnya berpindah. Bukan lagi di tepian sungai, melainkan di sisi ranjang tempat ibunya, Tuminem, terbaring. Ia tak bisa lagi pergi mengais pasir karena sang ibu membutuhkan pendamping setiap saat. Meski demikian, semangatnya tak pernah padam.
"Saya masih pingin untuk kembali cari pasir, tapi sekarang ibu lebih penting. Ia tidak bisa ditinggal," tutur warga RT 25 RW 13, Desa Pogalan itu. "Sekarang hanya suami saya yang ke sungai, sementara ketiga anak saya sudah menikah dan yang bungsu bekerja buat batako di Dawuhan."
Warti tahu, perjuangannya tidak selalu terlihat. Ia bukan RA Kartini, pejuang emansipasi perempuan yang namanya tercatat dalam sejarah bangsa. Namun, di sudut kecil Trenggalek, namanya harum sebagai lambang kekuatan perempuan sederhana.
"Yang saya tahu kalau RA Kartini itu pejuang bangsa, ya jelas berbeda kalau saya hanya bisa berjuang untuk keluarga," ujarnya merendah.
Sanak saudara yang tahu kisahnya kerap melontarkan pujian, menyebutnya sebagai sosok istri yang luar biasa.
"Wartini iku lo roso melu bojone nggolek pasir," katanya menirukan celotehan mereka.
Hingga kini, meski tak lagi memanggul timba, Warti tetap menjalani hari-harinya dengan penuh semangat.
Pekerjaan rumah dilakoninya tanpa mengeluh, membuktikan bahwa kekuatan seorang perempuan tidak selalu harus bertenaga besar, tetapi hati yang besar.
"Dari dulu sampai sekarang saya tidak pernah merasa terbebani dengan pekerjaan rumah. Ya, alhamdulillah sampai sekarang saya masih kuat dan bisa mengurus rumah tanpa halangan," pungkasnya, menutup cerita dengan senyum tulus yang tak pernah pudar.
Di Hari Kartini ini, mungkin kita bisa belajar bahwa perjuangan perempuan bukan hanya tentang sejarah besar, tapi juga tentang langkah kecil yang dilakukan dengan cinta dan keikhlasan setiap hari.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Zamz