KABARTRENGGALEK.com - Puluhan warga Desa Tawing, Kecamatan Munjungan, kabupaten Trenggalek, yang terdampak proyek Jalur Lintas Selatan (JLS) menuntut sertifikat tanah cepat diselesaikan. Pasalnya, warga sudah mengeluarkan sejumlah biaya sampai jutaan. Namun, tiga tahun berjalan, sertifikat tanah itu tak kunjung selesai.
Warga RT 34/RW 08 Desa Tawing, Kecamatan Munjungan, Suwarno mengatakan, pihaknya sudah mengeluarkan Rp 6,5 juta untuk membayar pengurusan sertifikat tanah sekitar 1/16 hektare. Sementara, tanah yang terdampak proyek sekitar 5x6 meter. "Kalau ganti untung saya sudah cair Rp 21 juta, yang belum selesai itu sertifikat tanahnya," ungkapnya.
Suwarno mengaku, sertifikat tanah itu penting karena hal yang pertama ditanya pembeli tanah itu adalah sertifikat. "Tanpa sertifikat, tanah itu menjadi tak bernilai. Tapi sudah tiga tahun ini, sertifikat tak kunjung selesai," ujar Suwarno.
Menurut Suwarno, warga yang terdampak proyek JLS tak kurang-kurang untuk membuka komunikasi dengan Pemerintah Desa (Pemdes) terkait penyelesaian administrasi sertifikat tanah. Namun, kata Suwarno, Pemdes hanya menjawab belum selesai. "Cuman, setiap ketemu itu hanya umbar janji. Dari perangkat desa itu kami tanya belum jadi. Tak ada solusi agar cepat jadi, terkesan diperlambat," ungkap Suwarno.
Suwarno melanjutkan, besaran nilai pengurusan sertifikat tanah itu berbeda, tergantung luasan tanah dan faktor lainnya. Pihaknya sudah membayar sekitar Rp 4,5 juta dan mendapatkan kuitansi pembayaran. Selain Suwarno ada tiga warga lain yang belum mendapatkan ganti untung, salah satunya Sarnianto. Kata Suwarno, Sarnianto memiliki tanah seluas 1/8 hektare dan besaran uang ganti untung milik Sarnianto senilai Rp 14 juta.
"Waktu musyawarah dulu, meski belum ada sertifikat baru, itu bisa dapat ganti untungnya, tapi ternyata tidak. Tak hanya saya, warga yang belum mendapat uang ganti untung itu ada tiga orang,” kata Suwarno.
Tim Investigasi Dewan Pimpinan Pusat Komunitas Pengawas Korupsi Republik Indonesia (DPP KPK RI), Dedi Antariksa mengatakan, pihaknya sudah melaporkan kasus yang dialami warga Desa Tawing ke penegak hukum dan kejaksaan sebelum lebaran tahun 2020 lalu. Kemudian, tanggal 9 Juni 2021 lalu, para saksi sudah dipanggil ke kejaksaan.
"Kita memberatkan karena warga sudah membayar untuk pembuatan sertifikat itu, tapi tiga tahun berlalu, sertifikat itu belum juga selesai," ungkap Dedi.
Tak dipungkiri, lanjut Dedi, ketika proses pembuatan sertifikat yang berlama-lama itu mengindikasikan adanya pungutan liar (Pungli). Pasalnya, tiap satu sertifikat senilai Rp 4 sampai 8 juta. Apabila nilai itu dikalikan 50 orang, maka nilainya menjadi fantastis.