Meski sektor pertanian menjadi tulang punggung ekonomi di Trenggalek, masalah regenerasi petani kini mengancam keberlanjutan sektor tersebut. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Trenggalek menunjukkan, jumlah petani muda di wilayah ini masih sangat sedikit, Jumat (08/11/2024).
Kepala BPS Trenggalek, Emil Wahyudiono, memaparkan bahwa petani berusia di bawah 35 tahun hanya mencakup kurang dari 10 persen dari total petani di Trenggalek.
“Sekitar 49,77 persen petani kita sudah berusia 55 tahun ke atas, kelompok usia 45-54 tahun mencapai 24,18 persen, sementara petani berusia 35-44 tahun sekitar 17,75 persen. Yang di bawah 35 tahun hanya 8,3 persen,” jelas Emil.
Emil mengakui bahwa minimnya regenerasi petani menjadi tantangan serius. Menurutnya, daya tarik pertanian bagi generasi muda masih kurang. Ia mengusulkan agar dilakukan pendekatan lebih modern seperti urban farming agar lebih sesuai dengan minat anak muda.
“Selama ini, pertanian masih dianggap sebagai pekerjaan yang ‘repot, berbecek-becek, dan berkotor-kotor’. Namun, dengan konsep urban farming, anak-anak muda mungkin akan lebih tertarik karena lebih sesuai dengan gaya hidup mereka,” ujarnya.
Selain itu, Emil menyoroti pentingnya teknologi dalam meningkatkan produktivitas dan daya saing produk pertanian Indonesia di pasar internasional. Sayangnya, petani usia lanjut di Trenggalek masih lambat dalam mengadopsi teknologi baru, yang berdampak pada daya saing produk.
Emil berharap generasi muda bisa mengambil alih peran ini untuk memaksimalkan potensi pertanian di Trenggalek. "Ketika mayoritas petani sudah berusia tua, adopsi teknologi berjalan lambat, dan ini membuat kita tertinggal dibandingkan negara lain yang lebih cepat beradaptasi," tandasnya.
Editor:Bayu Setiawan