KBRT – Memasuki bulan Suro, berbagai kepercayaan dan tradisi masyarakat Jawa kembali mencuat di tengah kehidupan warga Trenggalek. Bulan yang bertepatan dengan awal tahun baru dalam kalender Jawa dan Hijriah ini diyakini memiliki nuansa sakral, yang berbeda dengan bulan-bulan lainnya.
Di Trenggalek, masyarakat umumnya menghindari menggelar hajatan seperti pernikahan dan khitanan selama bulan Suro. Kepercayaan ini telah hidup dan diwariskan turun-temurun. Salah satunya disampaikan oleh Juri (75), seorang dongke atau tokoh tradisi Jawa asal Dusun Santren, Kelurahan Rejowinangun.
“Di bulan Suro tidak boleh membuat hajatan atau khitan, karena dalam bulan Suro dulu umat Islam sedang bersedih saat cucu Nabi Muhammad meninggal terbunuh,” tutur Juri saat ditemui.
Menurut Juri, selain larangan menggelar hajatan, memulai usaha atau melakukan perjalanan jauh juga sebaiknya dihindari. Ia menyarankan masyarakat menunda hingga bulan Suro berlalu.
Ia menjelaskan bahwa bulan Suro adalah momen refleksi dan awal yang baru bagi umat manusia. Tradisi ini mendorong masyarakat untuk melakukan pembersihan batin dan memperbaiki diri.
“Cerita yang saya ketahui, konon dahulu ada yang melanggar pantangan menggelar hajatan di bulan Suro, akibatnya seluruh keluarganya meninggal satu per satu,” kisahnya.
Juri juga menyebut bahwa pada malam satu Suro, masyarakat dianjurkan untuk berjaga malam atau melakukan tirakat. Namun, tradisi tersebut kini semakin jarang dilakukan. Dahulu, masyarakat juga kerap mengadakan syukuran bersama di jalan, seperti halnya tradisi usai bersih desa.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa pantangan-pantangan di bulan Suro seperti tidak berkata kasar, tidak mengambil barang sembarangan di jalan, hingga menahan diri dari tindakan tergesa-gesa, semua bertujuan membentuk karakter yang lebih sabar dan bijaksana.
“Para sesepuh memberikan larangan agar anak-anak belajar sabar, dan tidak boleh tergesa-gesa, karena dalam tradisi Jawa semua ada perhitungannya,” ujarnya.
Juri juga menjelaskan makna di balik tradisi seperti nyekar dan membuat takir klontang dalam syukuran. Takir klontang yang diikat janur melambangkan penolak bala, sementara nyekar dengan bunga yang dibungkus daun pisang menyiratkan pentingnya kemurnian niat dalam mengirim doa kepada leluhur.
Meski mengakui bahwa semua hari diciptakan Tuhan sebagai hari yang baik, Juri menilai manusia tetap perlu memilih waktu dengan perhitungan matang agar membawa keselamatan.
“Orang Jawa harus memegang teguh kepercayaan ini, karena kalau hilang yang terancam itu keselamatan kita,” tandasnya.
Kabar Trenggalek - Sosial
Editor:Zamz