KBRT - Korban kiai Imam Syafii alias Supar mengajukan restitusi Rp247 juta yang harus dibayarkan oleh terdakwa sebagai bentuk ganti rugi materiil dan imateriil. Saat ini, pengajuan restitusi itu tengah dibahas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Hal itu terkuak saat sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Trenggalek, Selasa (21/01/2025) lalu.
Kasi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Trenggalek Yan Subiyono membenarkan jika korban mengajukan restitusi. "Besaran yang diajukan kurang lebih, sekitar Rp247 juta," ungkapnya.
Restitusi merupakan ganti rugi bagi korban yang mengalami kerugian materiil maupun immateriil. Permohonan restitusi ini ditujukan untuk memulihkan kondisi korban. Selain itu, restitusi ini diajukan guna memenuhi kebutuhan bayi hasil kejahatan tersebut, seperti popok, susu, dan kebutuhan sehari-hari lainnya.
"Permohonan restitusi sudah kami sampaikan kepada majelis hakim, kemudian tanggapan dari IS (terdakwa) maupun dari penasihat hukumnya adalah menolak permohonan tersebut," tandas Yan.
Majelis hakim akan mempertimbangkan dan mengkaji permohonan restitusi yang diajukan. Hal ini dilakukan sebelum majelis hakim memberikan keputusan bersamaan dengan putusan pidana yang saat ini tengah diproses.
Sementara, Haris Yudhianto pendamping hukum korban menerangkan pengajuan restitusi sesuai amanah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2017.
“Restitusi adalah hak korban kekerasan seksual untuk mendapatkan ganti rugi, baik material maupun immaterial,” ucapnya.
Haris menjelaskan, restitusi adalah bentuk ganti rugi yang wajib diberikan oleh pelaku kepada korban. Proses ini telah diajukan ke Polres Trenggalek saat penyidikan, dan kini penilaiannya berada di tangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“LPSK nantinya yang akan menilai berapa nominal ganti rugi tersebut, yang akan diajukan bersamaan dengan tuntutan pidana dalam sidang. Jika pelaku tidak mampu membayar, maka restitusi dapat dibebankan kepada negara, sesuai dengan regulasi yang berlaku,” tambahnya.
Haris juga menegaskan, pelaku tidak bisa sekadar mengklaim dirinya tidak mampu membayar. Penilaian kemampuan pelaku dilakukan dengan mengecek aset atau harta yang dimilikinya. Jika pelaku terbukti memiliki aset, maka eksekusi pembayaran restitusi akan dilakukan berdasarkan hasil penilaian tersebut.
“Misalnya pelaku memiliki aset berupa tanah atau bangunan, maka aset itu dapat digunakan untuk membayar restitusi. Namun, jika pelaku benar-benar tidak mampu, negara akan mengambil alih pembayaran ganti rugi ini,” tandasnya.
Sidang selanjutnya dijadwalkan pada Selasa (04/02/2025), dengan agenda pembacaan tuntutan oleh jaksa penuntut umum (JPU). Dalam proses penyusunan tuntutan ini, Kejaksaan Negeri Trenggalek meminta arahan dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur mengingat kasus ini mendapat perhatian besar dari masyarakat karena melibatkan tokoh agama.
Kabar Trenggalek - Hukum