Batur manten seakan menjadi syarat wajib iring-iringan manten dalam tradisi Jawa. Lebih dari sekadar solidaritas perkawanan, batur manten juga menghadirkan kesan tak terlupakan. Wajah Dian tampak berbinar-binar. Hatinya penuh suka cita karena hendak melaksanakan ijab qabul pernikahan.
Sebelum subuh, ia sudah mandi. Usai salat subuh, ia segera mengenakan baju putih celana hitam yang sudah diseterika sejak sore hari. Tak berselang lama, rumah Dian di Kelurahan Surodakan, Trenggalek Kota dipenuhi tamu. Rekan-rekannya kawula muda yang menjadi batur manten berdatangan.
Dalam tradisi jawa, batur manten ini mengantarkan manten (mempelai) lelaki menuju ke rumah manten perempuan. Barangkali ada 20 pemuda yang menjadi batur manten. Pukul 05.00 WIB, rombongan manten tersebut berangkat, Dian pamit kepada orang tuanya untuk budal nikah.
Sesuai jadwal yang diperoleh dari penghulu, ijab qabul direncanakan pukul 06.00 WIB. Arak-arakan mempelai pria berangkat dari menuju Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung. Pukul 06.00 WIB, rombongan Dian sampai di kediaman mempelai wanita.
Suasana masih sepi, musik belum dihidupkan, mungkin karena masih pagi. Akan tetapi meja dan kursi tamu telah tertata rapi, begitu pula dengan hidangan jajan, berderet memenuhi meja-meja. Para batur manten disambut dengan hangat. Setelah bersalaman mereka diarahkan langsung ke tempat acara.
Tak sesuai rencana, penghulu datang lebih lambat setengah jam. Masih ada waktu bagi batur manten untuk bersantai sejenak, menikmati hidangan yang telah disuguhkan pemilik rumah. Tak berselang lama, penghulu datang. Proses ijab qabul dilakukan. Dian dan mempelai wanita, wali nikah, dua orang saksi dan penghulu menempati tempat yang telah disediakan. Wali nikah perempuan pasrah kepada penghulu untuk mewakili dirinya menikahkan pengantin, ucapan pasrahnya dibimbing oleh moden.
Usai itu, penghulu mengucapkan akad nikah. Dian menjawab mantab Ijab qabul tersebut. Meski terlihat grogi, Ia tanpa ragu sedikitpun dengan ucapannya. Jauh-jauh hari, Dian berlatih ijab qabul. Ia tak mau saat akad nikah nanti tidak lancar. Penghulu bertanya kepada saksi terkait akad tersebut. “Saaaaah” ucap kedua saksi mantap.
Batur manten yang ada di lokasi tampak senang dengan kelancaran proses pernikahan tersebut. Misi mereka telah terlaksana. Usai perjamuan dan foto-foto, batur manten berpindah ke pondok manten, yakni, tempat terpisah dari pemilik rumah yang disediakan bagi para batur manten.
Tempat ini difungsikan sebagai pondokan sementara, sembari menunggu para besan datang. Pebri bukan kali pertama ikut atur manten. Dia sudah sering dimintai teman-temannya yang telah menikah untuk ikut menemani.
“Sudah puluhan kali, terjauh ke Kecamatan Munjungan” terangnya.
Pernikahan di Trenggalek hampir selalu berbarengan. Tak ayal jika telah memasuki musim ini, akan banyak ditemui terop-terop (tenda) di pinggir jalan. Begitu pula dengan alunan musik sound system yang menggema keras, suaranya bertalu dan dapat dikenali sebagai penanda jika sedang ada hajatan pernikahan.
Di setiap pernikahan, ada batur manten yang seolah hanya mengantar, namun perannya dikuatkan oleh tradisi menjadi sebuah keharusan. Bukan sekadar solidaritas teman, batur manten merasakan sensasi tersendiri ketika ikut mengantarkan manten. “Menyenangkan, kegembiraan mempelai terasa menular,” ucap Pebri. (*)