Hasil Pilkada 2024 mengungkapkan suatu kenyataan yang sulit diabaikan: masyarakat semakin kehilangan kepercayaan terhadap elit politik. Hal ini tercermin jelas dari tingginya angka golput (golongan putih) dan maraknya gerakan "Coblos Semua", serta kemenangan kotak kosong di beberapa daerah. Semua ini menunjukkan bahwa pemilih kini lebih memilih untuk tidak memilih, sebagai bentuk protes terhadap calon-calon yang mereka anggap tidak mewakili aspirasi mereka.
Pada Pilkada Jakarta 2024, dua indikator jelas terlihat sebagai bentuk penghukuman warga terhadap elit politik melalui pembangkangan elektoral. Pertama, menurunnya partisipasi pemilih, yang mencatatkan angka 58%, jauh di bawah partisipasi Pilkada 2017 yang masih mencapai 70%. Kedua, tingginya angka "protest vote" lewat Gerakan Coblos Semua, yang tercatat sebanyak 8,6% atau sekitar 412.324 suara dari total daftar pemilih tetap (DPT).
John Muhammad, koalisi inisiator Gerakan Politik Salam 4 Jari, menyatakan bahwa jumlah golput mencapai 42%, atau lebih dari 3,4 juta pemilih yang enggan menggunakan hak pilihnya. "Rakyat kritis merasa kecewa dengan calon-calon yang ada. Tidak ada pilihan yang sesuai dengan harapan mereka. Pilkada ini sejak awal terkesan dipaksakan tanpa memperhatikan aspirasi publik," ujar John dalam pers rilis yang diterima oleh Kabar Trenggalek Kamis (28/11/2024)
Dari data yang dihimpun tim Salam 4 Jari di lapangan, terlihat bahwa 58% dari DPT Jakarta—sekitar 4,76 juta orang—tercatat menggunakan hak pilihnya. Namun, angka 8,6% untuk Gerakan Coblos Semua menunjukkan ketidakpuasan yang besar terhadap calon-calon yang diusung oleh partai politik. Menariknya, angka ini hampir setara dengan jumlah suara yang diperoleh pasangan calon 02 Dharma-Kun, yang hanya mendapatkan 458.147 suara.
Jika digabungkan, jumlah golput dan suara untuk kotak kosong mencapai lebih dari 3,8 juta suara atau 50,6% dari total DPT. Angka ini bahkan lebih besar dari suara yang diperoleh paslon 03 Pram-Rano, yang hanya memperoleh 2,17 juta suara. "Ini menunjukkan bahwa warga Jakarta yang selama ini dikenal sebagai pemilih rasional, kini lebih memilih untuk tidak memilih sama sekali, sebagai bentuk protes terhadap sistem politik yang ada," tambah John.
Kemenangan Kotak Kosong: Protes terhadap Calon Tunggal
Fenomena serupa juga terjadi di sejumlah daerah lain, seperti Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Di kedua daerah tersebut, kotak kosong berhasil meraih kemenangan sebagai bentuk protes warga terhadap calon tunggal yang diusung tanpa memperhatikan keberagaman pilihan politik masyarakat.
Di Pangkalpinang, kotak kosong berhasil meraih 55,9% suara dari total 87.081 suara yang masuk, sementara partisipasi pemilih hanya mencatatkan angka 53% dari total DPT yang berjumlah 164.330. Keberhasilan kotak kosong ini terjadi di lebih dari 70% TPS dari total 311 TPS. Sementara itu, di Kabupaten Bangka, kotak kosong memenangkan 56% suara dengan partisipasi pemilih hanya 40% dari DPT 237.930.
Kemenangan kotak kosong ini menunjukkan dengan jelas bahwa masyarakat tidak lagi merasa terwakili oleh calon-calon yang ada. Mereka memilih untuk tidak memilih, sebagai bentuk penolakan terhadap sistem yang dianggap tidak lagi mewakili aspirasi rakyat.
Pembangkangan Elektoral: Sinyal Ketidakpercayaan pada Sistem Politik
Rendahnya partisipasi pemilih dan maraknya suara untuk kotak kosong dalam Pilkada 2024 bukan sekadar angka statistik. Fenomena ini adalah cerminan dari ketidakpercayaan yang mendalam terhadap sistem politik yang ada, serta kegagalan partai-partai politik dalam menyediakan pilihan yang sesuai dengan kehendak rakyat. Masyarakat tidak hanya apatis, tetapi juga secara aktif menolak untuk terlibat dalam proses yang mereka anggap tidak mencerminkan demokrasi sejati.
Gerakan Golput dan Gerakan Coblos Semua adalah bentuk pembangkangan elektoral yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Ini adalah sinyal bahwa rakyat ingin didengar, bahwa mereka menginginkan pemimpin yang benar-benar merepresentasikan kepentingan mereka, bukan hanya menjadi bagian dari permainan kekuasaan yang tidak jelas.
Seperti yang dikatakan John Muhammad, rendahnya partisipasi publik di Pilkada 2024 adalah "sebuah pesan besar" bahwa masyarakat mulai kehilangan harapan pada politik yang ada. Jika elit politik tidak segera merespon dan berusaha memperbaiki kualitas demokrasi, maka ketidakpercayaan ini akan terus berkembang, membentuk arus besar yang dapat mengubah peta politik Indonesia ke depan.
Editor:Danu S