Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Pungli Sakti

Dunia kepemiluan di Trenggalek ramai diperbincangkan pasca ada dugaan kasus PPS (Panitia Pemungutan Suara) sunat honor Pantarlih, itu terjadi di wilayah tugas Kecamatan Trenggalek, pada bulan April 2023 lalu.

Menariknya, pasca isu pungli tersebut berhembus di ruang publik, hingga kini kasusnya tidak jelas, tidak ada yang bisa dimintai pertanggungjawaban atas kasus tersebut. Bahkan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Trenggalek, tak mengendusnya sebagai temuan.

Apakah ini berarti supremasi hukum di lingkungan pemilu sulit ditegakkan? 

Pengakuan-Pengakuan Pantarlih

Pantarlih adalah singkatan dari Petugas Pemutakhiran Data Pemilih. Pantarlih dibentuk untuk melakukan pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih pada tahapan Pemilu. Pantarlih dibentuk oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan berkedudukan di lingkungan Tempat Pemungutan Suara (TPS). 

HS (inisial) adalah Pantarlih di Kecamatan Trenggalek, berbicara kepada media online kabartrenggalek.com perihal pemotongan honor oleh PPS (18/04/2023). Ia mengaku honor yang seharusnya diterima sejumlah Rp. 2.2 juta, hanya diterimakan Rp. 2 juta. Sedangkan yang Rp. 200 ribu tidak diterimakan, namun ada dalih dipakai untuk iuran buka bersama.

Baca infonya di sini:

Miris, Honor Pantarlih Kecamatan Trenggalek Diduga Disunat 200 Ribu

“Yang memotong adalah Panitia Pemungutan Suara [PPS] sebesar 200 ribu. Anggaran itu dari bantuan transport selama 4 kali, yang satu kalinya Rp. 50 ribu, yang bersumber dari Komisi Pemilihan Umum [KPU] Trenggalek,” terang HS [22] saat dikonfirmasi reporter Kabar Trenggalek, Raden Zamz.

Tak cuma HS, secara terpisah, WA (inisial) juga membuka suara atas janggalnya pemotongan honor Rp. 200 ribu tersebut. Menurutnya, alasan PPS memotong anggaran itu ada yang janggal.

“Dari informasi PPS Rp. 200 ribu adalah anggaran transport ketika ada acara di kecamatan untuk Pantarlih. Akunya PPS, tak mau memberatkan Pantarlih, PPS menghadiri rapat itu,” kata WA saat dikonfirmasi reporter kabartrenggalek.com

WA (23) mendapat informasi pemotongan itu ketika sudah selesai bertugas sebagai Pantarlih. Dengan adanya pemotongan honor tersebut ia merasa dirugikan. Terlebih tidak ada omongan di awal-awal tentang pemotongan tersebut.

“Saya merasa dirugikan dengan adanya pemotongan itu, walaupun alasannya untuk untuk mewakili rapat Pantarlih, namun tidak ada omongan di awal,” jelas WA, yang enggan nama aslinya disebut.

Tak tanggung-tanggung, berdasarkan data yang ditulis Kabar Trenggalek, dugaan sunat honor pantarlih terjadi di 5 Desa/Kelurahan. Bahkan informasi lanjutan yang saya terima, sejumlah 13 PPS di Kecamatan Trenggalek di panggil oleh KPU Trenggalek dan diberi ultimatum untuk mengembalikan uang Pantarlih.

Pengakuan Pantarlih kepada media online kabartrenggalek.com pantas mendapat apresiasi karena berani membuka suara. Bagi saya, pengakuan tersebut harus diyakini sebagai informasi awal yang sah, selama belum ada yang mempersoalkan. 

KPU Trenggalek Buka Suara

Imam Nurhadi, Divisi Hukum KPU Trenggalek, ternyata telah mendengar isu dugaan sunat anggaran Pantarlih dua hari sebelum berita di kabartrenggalek.com muncul. Ia mengaku mendengar kabar tersebut dari internal KPU Trenggalek.

“Pertama kami jujur menerima informasi dua hari yang lalu, ada dari internal KPU yang tetangganya menjadi Pantarlih dan ngobrol soal pemotongan,” terangnya saat dikonfirmasi Kabar Trenggalek.

Baca informasinya di sini:

Buntut Sunat Anggaran Pantarlih Kecamatan Trenggalek, KPU Buka Suara

Nurhadi menjelaskan, jika kasus itu benar-benar terjadi, ada dua kemungkinan pelanggaran. Pertama, adalah pelanggaran etik dan yang kedua merupakan pelanggaran pidana umum. 

Nurhadi mengaku telah melakukan investigasi dengan memanggil 13 ketua PPS yang berada di wilayah Kecamatan Trenggalek (18/04/2023). Namun ia tidak memanggil Ketua PPK. Menurutnya, dugaan kasus ini belum menjadi ranah PPK, karena yang menyalurkan honor Pantarlih adalah PPS.

“Kami belum memanggil PPK karena ranah berbeda. Dalam hal pemotongan transport Pantarlih ini yang memberikan langsung adalah PPS,” tegasnya kepada Kabar Trenggalek.

Tak cuma media kabartrenggalek.com, Radar Tulungagung juga memberitakan dugaan kasus dugaan sunat honor pantarlih.

Baca di sini:

Ngeboti Buka Bersama, Honor Pantarlih di Trenggalek Disunat?

Dalam berita yang dirilis Radar Tulungagung, para pantarlih diminta melakukan iuran untuk kegiatan buka bersama (bukber) dan bagi-bagi takjil.

Dari Hasil pemanggilan 13 PPS oleh KPU Trenggalek, disepakati untuk mengganti uang transportasi pantarlih yang telah digunakan untuk iuran bukber dan bagi-bagi takjil. 

“Mereka sepakat mengembalikan (uang transportasi, Red),” kata Koordinator Divisi Hukum KPU Trenggalek, Imam Nurhadi kepada Radar Tulungagung.

Anggota PPS Menampik Isu Sunat Honor Pantarlih

Polemik dugaan pemotongan anggaran Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) di Kecamatan Trenggalek mendapat respons oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS).

HN (inisial) salah Ketua PPS, menerangkan persoalan dugaan pemotongan anggaran Pantarlih. Bahwa gaji Pantarlih di Desa Rejowinangun, Kecamatan Trenggalek, semua sudah diberikan secara utuh dengan besaran Rp 2.2 juta. Namun, pasca diberikan, terdengar suara PPS memotong honor Pantarlih.

“Gaji sudah kami berikan semua. Namun, setelah diterima, ada Pantarlih yang berinisiatif untuk melakukan buka bersama,” terang HS kepada Kabar Trenggalek.

Buka bersama telah terselenggara. Namun, inisiatif yang datang dari Pantarlih ada yang menganggap berbeda yaitu pemotongan gaji yang bersumber dari uang transport selama 4 kali dengan total Rp 200.

Baca beritanya di sini:

Sanggah Polemik Pantarlih, PPS Kecamatan Trenggalek: Tak Ada Potongan

Berita yang dirilis Kabar Trenggalek di atas merupakan hasil dari hak jawab yang diberikan redaksi kepada PPS Desa Rejowinangun setelah mendatangi Kantor Kabar Trenggalek.

Namun di sini perlu ada pelurusan desas-desus, karena sesuai informasi yang saya terima. Beredar isu di kalangan penyelenggara pemilu, bahwa redaksi Kabar Trenggalek menganulir berita yang sebelumnya telah dirilis lantaran takut dengan ancaman.

Kronologis Penulisan Hak Jawab oleh Redaksi Kabar Trenggalek untuk PPS Rejowinangun

Siang hari jam 14:59 WIB, saya dihubungi oleh HN (inisial salah satu PPS) melalui saluran telepon (21/04/2023) yang intinya mengajak bertemu. Karena saat itu tidak berada di area Kota Trenggalek, saya menjanjikan malam hari.

Malam hari, sekitar pukul 22.00 WIB, PPS tersebut menghubungi saya kembali, namun yang ditanyakan berbeda. Ia menanyakan nomor telepon wartawan Kabar Trenggalek atas nama Zamzuri.

Sebagaimana kita ketahui, Zam adalah reporter Kabar Trenggalek yang mempublikasi berita kasus dugaan sunat honor pantarlih pertama kali. Saya tidak memberikan nomor Zam dan meminta kepada anggota PPS tersebut untuk bertemu saja di Kantor Kabar Trenggalek.

Sesuai SOP kami, jika ada objek (orang) berita yang keberatan dengan rilis berita kami, maka dianjurkan untuk menghubungi direksi, bukan menghubungi wartawan. Ini langkah preventif yang kami terapkan, mengingat, wartawan dimungkinkan rentan dengan berbagai "ancaman" dari objek berita.

Baca Pedoman Hak Jawab di sini:

Pedoman Hak Jawab

Sebagai catatan, malam itu (21/04/2023) HN dan beberapa orang temannya sudah menyambangi rumah Zamzuri, namun tidak berhasil bertemu, karena Zam tidak ada di rumah.

Pertemuan di Kantor Kabar Trenggalek

Pukul 23.03 WIB, Pemimpin Redaksi Kabar Trenggalek mengirim pesan bahwa di sebelah kantor ada beberapa orang nongkrong. Saya berasumsi bahwa rombongan HN telah sampai lebih dahulu. Waktu itu saya masih dalam perjalanan dari Watulimo ke Trenggalek.

Asumsi saya benar, setelah sampai kantor, Ketua PPS salah satu desa dan beberapa orang tersebut telah tiba lebih dahulu. Tim Kabar Trenggalek juga sudah datang karena sebelumnya sudah saya hubungi. Kami membuka obrolan berkaitan dengan berita yang tersebar.

Dalam pertemuan tersebut, HN menampik soal berita yang telah dirilis Kabar Trenggalek, ia bersikukuh tidak ada pemotongan honor dari PPS, melainkan adanya inisiatif dari pantarlih untuk iuran untuk membuat kegiatan. Meski ketika dipanggil  KPU, ia dan PPS desa lainnya mengembalikan uang kepada Pantarlih dengan berdalih bahwa tidak ingin masalah ini berlarut-larut.

“Hasil klarifikasi dari KPU Trenggalek disuruh untuk mengembalikan [uang] . Rekomendasi dari KPU kami terima biar salah paham tak berlarut, walaupun sebenarnya kami tak memotong sepeser pun honor Pantarlih,” ujar HN.

Kami menjelaskan kepada HN dan kawan-kawannya bahwa soal pemberitaan yang dirilis media bukan hasil rekayasa wartawan, melainkan ada narasumber yang berbicara. Media menulis apa yang diucapkan oleh narasumber. Jika kemudian nama yang disebut oleh narasumber tidak terima dengan pemberitaan tersebut, dipersilahkan untuk membuat Hak Jawab (sesuai mekanisme Dewan Pers) bukan mencari dan mendatangi wartawan langsung.

HN mengaku baru mengetahui bahwa ada mekanisme Hak Jawab setelah ada penjelasan dari tim redaksi, ia juga mengatakan bahwa tidak bisa membuat tulisan hak jawab. Maka sesuai kebijakan redaksi, Tim Kabar Trenggalek membantu untuk menuliskan Hak Jawab tersebut sesuai dengan perkataan yang bersangkutan. 

Kronologis ini dibuat untuk membantah  bawah Kabar Trenggalek takut dengan konsekuensi pemberitaan (takut karena diancam) dan bantahan terhadap adanya anggapan bahwa rilis hak jawab tersebut menganulir (membatalkan) berita-berita sebelumnya.

Bagaimana Kelanjutan Isu Dugaan Pemotongan Honor Pantarlih?

Pemotongan honor Pantarlih atau honor penyelenggara pemilu memiliki dua konsekuensi, sesuai yang telah dijelaskan Nurhadi. Yakni pelanggaran kode etik (tertuang dalam PKPU) dan pelanggaran pidana umum (pidum) yang mana masuk dalam pungli.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, pungli juga merupakan akronim ataupun singkatan dari kata pungutan liar yang berarti tindakan meminta sesuatu berupa uang dan lain sebagainya kepada seseorang, lembaga ataupun perusahaan tanpa menuruti peraturan yang lazim. Hal ini umumnya disamakan dengan perbuatan pemerasan, penipuan ataupun korupsi.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang melakukan pungutan liar, di antaranya adalah Penyalahgunaan Wewenang, Faktor Mental, Faktor Ekonomi, Faktor kultural dan Budaya Organisasi, SDM yang Terbatas, Sistem Pengawasan yang Lemah.

Jika pemotongan honor masuk dalam kategori pungli, maka sudah jelas perlu diusut tuntas hingga ada keterangan yang terang benderang. Membiarkannya berlarut-larut, bahkan cenderung membiarkannya berarti membiarkan kejahatan.

Dimana-mana, tidak ada hukum yang berlaku surut setelah barang kejahatannya dikembalikan. Kalau logikanya begitu, koruptor yang ketahuan korupsi tidak perlu ditindak hukum apabila ia mengembalikan uang yang dikorup.

Menanyakan Isu Potongan Honor Pantarlih

Saya sangat penasaran dengan kasus tersebut lantas mendatangi kantor Panwaslucam Trenggalek, berharap mereka memiliki sense of crisis di wilayah kerjanya. Saat itu yang menemui adalah Ketua Panwaslucam Trenggalek, ia ditemani beberapa stafnya.

Ditanya soal kasus tersebut, Wawan menjawab bahwa isu sunat honor Pantarlih tidak menjadi temuan timnya, ia mengaku bahwa ketika berita itu beredar, ia dan timnya tidak tinggal diam.

Ditanya soal apa langkah yang dilakukan, Wawan menjawab telah berkoordinasi dengan PPS soal kasus tersebut. Dari kesimpulan tersebut, ia menjelaskan bahwa dari hasil koordinasinya, isu kasus sunat honor pantarlih tidak terbukti.

Padahal sudah jelas-jelas bahwa ada beberapa indikasi yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk memulai menelusuri kasus ini. Indikasi-indikasi tersebut telah banyak beredar di media massa. 

Misalnya indikasi PPS mengembalikan uang kepada Pantarlih. Maka logika pertama yang seharusnya dibangun adalah "jika ada uang dikembalikan, seharusnya ada uang yang diterima". Lalu muncul indikasi pengakuan pantarlih ke media bahwa honor yang seharusnya diterima olehnya dipotong oleh PPS.

Dua indikasi yang mengarah pada bukti ini bisa ditindaklanjuti lebih serius jika memiliki kepekaan terhadap jabatannya. Lembaga pengawas adalah lembaga terhormat untuk mengawasi berbagai pelanggaran yang dilakukan penyelenggara maupun peserta pemilu.

Kedatangan saya di kantor Panwascam Trenggalek dengan niat ingin mempertanyakan dugaan kasus pungli, mengingat sudah beberapa bulan terjadi namun kasusnya tidak jelas, apakah masuk dalam ranah pelanggaran atau tidak menyalahi aturan apapun. 

Saya juga mendatangi Kantor KPU Trenggalek untuk menemui komisioner yang membidangi soal hukum. Kedatangan saya dengan niat sama, ingin tahu sejauh apa perkembangan kasus tersebut. 

Di kantor KPU, saya mendapatkan keterangan bahwa pengembalian uang PPS kepada pantarlih adalah instruksi dari KPU Provinsi Jawa Timur yang telah mendengar kabar terkait pemotongan honor pantarlih tersebut. 

KPU Trenggalek mengindahkan perintah atasannya dengan memanggil 13 ketua PPS lantas menyuruh untuk mengembalikan uang, apapun alasannya. Kendati menurut pengakuan PPS sendiri, tidak ada pemotongan uang atas perintah PPS melainkan inisiatif dari Pantarlih sendiri.

“PPS di 13 desa yang mengembalikan. Cuma kemarin itu ada salah satu kelurahan yang tidak melakukan itu [pemotongan]. Kalau tidak salah mereka tidak sepakat ketika ada kesepakatan antar PPS melakukan buka bersama itu,” Jelas Nurhadi saat saya temui di kantornya.

Ketika ditanya soal bagaimana kelanjutan kasus tersebut, Nurhadi menganggap bahwa persoalan sudah klir dan sudah sesuai prosedur yang diperintahkan oleh KPU Provinsi Jawa Timur.

“Kalau kami secara formal, kami anggap klir, kenapa? Satu, sesuai dengan hirarki kami, ketika ada instruksi seperti itu dari provinsi, maka kami tindaklanjuti. Kemudian, setelah ada kesepakatan mengembalikan, mereka melakukan pengembalian itu,” ucap Nurhadi.

Sebagai bentuk pertanggung jawabannya, ia dan timnya melakukan monitoring ke setiap desa untuk memastikan apakah uangnya benar-benar dikembalikan atau tidak.

“Ya kami monitoring ke tiap-tiap kelurahan/desa itu, untuk mengetahui, ada dokumentasinya, ada daftar hadir semua desa itu terkait pengembalian,” ujar Nurhadi.

Rasa penasaran sudah tuntas. KPU Trenggalek sudah menganggap selesai kasus dugaan pungutan honor Pantarlih, juga Panwascam Trenggalek (mungkin juga Bawaslu Trenggalek, karena ketika saya menelpon ketuanya, jawabannya relatif sama dengan jawaban panwascam Trenggalek). Artinya, ini tidak dianggap sebagai kasus serius.

Dari sikap-sikap pejabat publik ini saya mengambil banyak pelajaran, di antaranya ada tiga yang paling berkesan, yakni:

  1. Jika mendengar isu semacam ini, tidak perlu menanggapi serius selama tidak ada laporan masyarakat. Meski memiliki kekuatan hukum untuk mencari temuan, tidak perlu bersusah payah, cukup koordinasi dengan yang sedang berkasus, jika jawaban mereka tidak melanggar, maka anggap tidak ada temuan pelanggaran.
  2. Jika menemukan kasus pungli, tidak perlu membawa ke ranah hukum, cukup meminta kepada yang bersangkutan untuk mengembalikan uang yang telah dipungut, setelah itu anggap semuanya selesai.
  3. Ada pengembalian berarti ada pengambilan, kita tidak perlu berpikir bahwa ketika ada orang mengembalikan uang yang dicurigai sebagai pungli adalah uang yang diambilnya, melainkan mengembalikan supaya masalah cepat selesai, meskipun kamu tidak mengambilnya.

Beberapa hari kemudian, saya ngopi dengan kawan-kawan, yang di antaranya adalah suami dari Pantarlih. Tiba-tiba ia mengungkap kembali soal kasus dugaan pungli. 

“Pie, wes tuntas? duitnya sudah dikembalikan?" tanyaku.

“Iya, dikembalikan kepada Pantarlih di depan KPU, tapi dikembalikan lagi kepada PPS?" jawabnya.

Saya tidak melanjutkan percakapan. Wes bene ae lah.

*Trigus D. Susilo adalah Direktur Utama Kabar Trenggalek.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *