KBRT - Ramadan itu berkah yang diturunkan bagi setiap umat yang beriman. Ada banyak alasan untuk menunaikan ibadah puasa, tetapi bagi seorang yang beriman menunaikan puasa tidak hanya didasarkan manfaatnya secara kesehatan.
Berbagai kebaikan Ramadan dan amaliah di dalamnya menunjukkan bahwa ibadah puasa memiliki makna yang beragam. Puasa dapat dimaknai dari berbagai perspektif, menunjukkan kekayaan dan keluhuran nilainya di hadapan Allah.
Oleh karena itulah, memaknai puasa dapat dilakukan dengan memahaminya dalam berbagai perspektif seperti dilansir dari buku Kontemplasi Ramadan karya Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A.
Daftar Isi [Show]
Perspektif Sains
Puasa dapat didekati di dalam berbagai perspektif. Bukan saja di dalam perspektif agama khususnya agama Islam, tetapi juga dalam dunia sains.
Dalam dunia kedokteran sebelum menjalani general check-up, seseorang akan disarankan untuk berpuasa, yakni tidak makan selama kurang lebih 10 jam sebelumnya, untuk membedakan gula darah sebelum dan sesudah makan.
Seseorang yang baru sembuh dari sakit sering dianjurkan dokter untuk berpuasa atau membatasi makanan tertentu dalam upaya pemulihan kesehatan. Ini menandakan bahwa puasa juga diakui sebagai cara menyeimbangkan hidup manusia.
Dalam dunia biologi ternyata makhluk hidup yang berpuasa bukan hanya manusia tetapi juga dunia fauna dan flora. Perintah Tuhan untuk menjalankan ibadah puasa tentu bukan saja sebagai sebuah ritus keamanan, yang mempunyai efek pengampunan dosa masa lalu, tetapi sudah barang tentu mempunyai berbagai efek positif lain, misalnya efek penyehatan badan.
Perspektif Fikih
Dalam perspektif fikih, puasa diartikan sebagai ibadah penting yang termasuk salah satu di antara lima rukun Islam. Seperti ibadah-ibadah mahdhah lainnya, ibadah puasa mempunyai rukun, syarat wajib, dan syarat sah yang perlu diperhatikan untuk memastikan diterima (makbul) atau tidaknya sebuah ibadah.
Rukun puasa ialah menahan diri dari berbagai hal yang bisa membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Syarat wajibnya puasa ialah beragama Islam, berakal, balig, dan mengetahui akan wajibnya puasa. Namun, syarat umum ini terpenuhi maka syarat khusus berikutnya ialah sehat, tidak dalam keadaan musafir yang memungkinkan adanya kemudahan dan dispensasi.
Jika seorang perempuan, ia harus suci dari haid dan nifas. Adapun syarat sah puasa ada dua, yaitu berniat, suci dari haid dan nifas. Khusus untuk niat puasa terdapat berbagai pendapat di kalangan ulama. Imam Syafi’i, mazhab yang mayoritas dianut di Asia Tenggara, Mesir, sebagian India dan Pakistan, mensyaratkan niat dilakukan di malam hari, yakni harus bermalam, dan dilakukan setiap malam.
Akan tetapi, Imam Abu Hanifah berpendapat cukup berniat berpuasa sebulan penuh di malam pertama Ramadan. Mengenai apakah niat dilafalkan atau cukup dalam hati, umumnya empat mazhab yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad ibn Hanbal mensyaratkan dilafalkan. Namun, Ibnu Taimiyah tidak mensyaratkan dilafalkan, niat bisa dilakukan dalam hati.
Perspektif Tasawuf
Puasa dalam perspektif tasawuf tidak bisa diperhadap-hadapkan dengan puasa dalam perspektif fikih. Puasa dalam perspektif tasawuf sesungguhnya kelanjutan dari perspektif fikih. Setelah menunaikan puasa yang bersifat lahiriah sebagaimana dijelaskan dalam perspektif fikih, kalangan ulama sufi menyerukan untuk meneruskan puasa yang bersifat batin.
Masih ada sebagian kalangan muslim yang cenderung memperhadap-hadapkan antara fikih dan tasawuf. Mereka tidak ingin fikih yang sudah tegas dasarnya tergerus oleh sesuatu yang bersifat subjektif, bahkan terkadang hanya didukung oleh hadis-hadis ahad.
Kabar Trenggalek - Edukasi
Editor:Zamz