KBRT - Stunting (anak pendek) menjadi problem gizi masyarakat yang belum dapat diatasi di Trenggalek. Lapar pangan dan lapar gizi yang berlangsung kronis melahirkan generasi stunting (pendek). Sebagian besar sel-sel otak sudah hampir maksimal baik ukuran maupun jumlahnya ketika anak berusia lima tahun (balita).
Ancaman pertumbuhan fisik pada anak stunting bisa merembet pada ancaman perkembangan otak sehingga akan terlahir generasi kurang cerdas. Dalam hal kaitannya dengan perkembangan kognitif, kurang gizi di usia dini bersifat irreversible atau tidak dapat pulih.
Dilansir dari buku Intervensi Stunting karya Ali Khomsan, Alya Firdausi, Puspita Dewi, dan Aysha Ayunda Akbar, stunting adalah fenomena kemiskinan yaitu terbatasnya akses makanan secara cukup baik kualitas maupun kuantitas, korbannya terutama adalah anak-anak balita. Jadi, perbaikan gizi yang dilakukan melalui pemberian makanan tambahan untuk anak balita adalah wujud pengentasan kemiskinan melalui entry point gizi masyarakat.
Perbaikan layanan posyandu juga dapat menjadi pintu masuk mengatasi dampak buruk kemiskinan. Tanpa pekerjaan atau bekerja dengan upah di bawah layak akan menyebabkan seseorang akan mudah jatuh ke dalam jurang kemiskinan, sehingga dia tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya yang paling pokok yaitu makanan.
Ketahanan pangan individu maupun rumah tangga menjadi terancam dan akhirnya termanifestasikan dalam bentuk gizi kurang maupun gizi buruk. Orang-orang miskin juga akan mempunyai akses terbatas untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang maksimal, muncullah berbagai penyakit yang menyebabkan tingginya angka morbiditas yang pada batas-batas tertentu dapat menjadi penyebab mortalitas (kematian).
Daftar Isi [Show]
Faktor Penyebab dan Dampak Stunting
Kalau menelaah masalah stunting, maka pertama-tama yang harus dicermati adalah problem di hulu. Salah satu target program gizi di hulu adalah remaja putri usia SMP-SMA. Memasuki periode remaja, ancaman gizi yang mereka hadapi adalah anemia.
Anemia hingga kini masih menjadi problem gizi yang paling sulit diatasi. Salah satu penyebabnya adalah karena kurangnya asupan pangan hewani di kalangan masyarakat Indonesia. Konsumsi ikan, telur, daging, maupun susu yang rendah merupakan cermin kurangnya daya beli kita.
Jadi, kalau saat remaja mereka sudah mengalami anemia, maka pada periode selanjutnya yakni dewasa muda hingga memasuki jenjang pernikahan mereka akan senantiasa beresiko problem gizi ini.
Anemia di saat hamil mendatangkan risiko bayi lahir stunting. Stunting menjadi lingkaran setan yang sulit diatasi, kecuali dilakukan intervensi gizi sejak remaja. Intervensi gizi andalan pemerintah untuk siswi-siswi sekolah adalah pemberian Tablet Tambah Darah untuk Remaja Putri (TTD Rematri) yang harus diminum seminggu sekali sepanjang tahun.
Berbagai masalah yang muncul di kalangan remaja putri untuk tidak minum TTD adalah karena rasa mual sehabis minum tablet, bau besi saat bersendawa, kurangnya edukasi sehingga TTD dianggap hanya cocok untuk wanita hamil, dan kurang optimalnya dukungan dari pihak sekolah.
Sepertinya hanya sektor kesehatan yang selama ini sibuk dengan program ini. Sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pengadaan TTD dan distribusinya hingga puskesmas dan sekolah, dinas kesehatan telah berperan secara signifikan dalam program TTD Rematri ini.
Sementara sektor pendidikan dan agama yang memiliki siswi-siswi di tingkat SMP, SMA, dan Madrasah harus juga mendorong terjaganya kepatuhan para siswinya untuk minum TTD secara rutin.
Stunting dapat memiliki dampak yang luas yang mencakup efek jangka pendek dan efek jangka panjang. Dalam jangka pendek, akan terlihat pengaruhnya terhadap tinggi badan dan perkembangan anak. Dalam jangka panjang adalah potensi ancaman penyakit tidak menular yang mudah terjadi. Berbagai akibat yang dapat terjadi bila anak mengalami stunting adalah sebagai berikut.
Gangguan Kognitif
Anak stunting memiliki kemampuan kognitif yang lebih rendah. Stunting dapat dikaitkan dengan rendahnya IQ pada usia sekolah. Stunting yang merupakan kekurangan gizi kronis dapat mempengaruhi perkembangan otak anak, selain perkembangan fisiknya.
Mengalami Kesulitan Belajar
Tingkat fokus anak juga juga dapat terpengaruh akibat stunting. Anak-anak yang stunting akan mengalami kesulitan berkonsentrasi, yang membuat mereka kesulitan belajar. Hal ini di kemudian hari akan mengganggu performan akademis mereka.
Salah satu dampak stunting terhadap kesehatan anak adalah membuat anak lebih rentan terhadap penyakit tidak menular saat dewasa nanti. Diawali oleh kegemukan di usia dewasa, selanjutnya penderita stunting akan mudah mengalami penyakit tidak menular (penyakit jantung). Namun, para ahli masih meneliti hubungan stunting dengan penyakit tidak menular ini.
Imunitas Lebih Rendah
Kekebalan tubuh dapat menurun akibat kekurangan gizi kronis. Stunting adalah kurang gizi yang berlangsung lama (kronis) dan dapat menimbulkan gangguan imunitas. Akibatnya, anak lebih rentan terhadap penyakit berulang yang sama. Penyakit yang berulang akan mengakibatkan asupan gizi yang buruk dan akan terus mempengaruhi daya tahan tubuh anak.
Hilangnya Produktivitas
Saat anak beranjak dewasa, stunting juga dapat mempengaruhi produktivitas kerja. Orang dewasa dengan stunting akan memiliki penghasilan yang lebih rendah. Kemungkinan ini merupakan rentetan kurang gizi kronis yang berlangsung sejak usia dini, menyebabkan anak tidak berprestasi di sekolah, dan saat dewasa dengan kemampuan pendidikan yang rendah mereka tidak mampu berkompetisi dengan orang lain.
Kabar Trenggalek - Edukasi