Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Ngantre Mixue Trenggalek

Catatan: Sebenarnya saya ingin menulis ngantri, tapi editor mencak-mencak karena penulisannya salah, katanya bahasa bakunya bukan antri, tapi antre. Ya wes saya manut saja, judulnya jadi ngantre, maksudnya ngantri, mudah-mudahan kamu paham maksudnya.

Saya tidak tahu ada Mixue Trenggalek, seandainya Yayi, anak perempuan nomor 3, tidak merengek minta dibelikan es krim asal Tiongkok tersebut. Saya coba kepoin, eh yang ternyata sedang viral.

Entah apa karena pengetahuan saya tentang klangenan anak muda sekarang nol puthul, akibat menua, atau memang saya tidak terlalu tertarik dengan kuliner kekinian khususnya anak muda. Ternyata Yayi lebih tahu tahu dulu keberadaan Mixue di Trenggalek, ketimbang bapaknya.

Mixue memang jadi pembicaraan orang-orang sekitar rumah, terutama anak muda. Meski beberapa orang dewasa berjiwa sosialita juga nyambung ketika berbicara tentang Mixue.

"Topingnya enak pakai boba," ujar anak tetangga. Lalu ditimpali ibu sosialita itu “iya kalau beli Mixue Boba Sundae”. Boba Sundae, huruf belakangnya pakai e bukan y.

Saya terpojok, tak ingin disebut orang tua mlecing oleh anak-anak, akhirnya lebih baik ngalah ngantre saja, beli Mixue, supaya mereka punya kenangan baik dari bapaknya. Pertama ngantre pas di pertengahan Bulan Ramadan. Ngantre kedua, setelah lebaran hari ke lima, itupun juga hasil rengekan Yayi selama 2 hari 2 malam.

Di Trenggalek, Mixue memang sedikit telat hadir, tapi orang-orangnya sudah sangat tahu tentangnya. Mungkin keseringan melihat video raja salju yang kerap muncul di YouTube Short, reels, atau TikTok.

Anak saya, usut punya usut, tahu Mixue dari YouTube Short, bahkan ia hafal jogetan maskot Mixue berbentuk manusia salju itu, namanya Snow King, Raja Salju. Maka tak heran, baru buka gerai di Trenggalek, Mixue langsung ramai dikunjungi pembeli, antrenya panjang seperti rakyat sedang mengambil sembako di kantor desa.

Yayi, sedang menunggu antrean di gerai Mixue Trenggalek, wajahnya ceria karena akan mendapatkan apa yang dia inginkan, es krim Mixue - Foto @mastrigus.

Bedanya ini antre untuk keluar uang, sedangkan satunya antre untuk mendapatkan uang atau beras. Tapi antre itu memang membosankan, kecuali antre menunggu giliran mati, tidak ada yang bilang bosan.

Pertama antre saya dibuat bosan, entah kenapa orang-orang rela mengantre selama ½ sampai 1 jam untuk mendapatkan es krim raja salju. Padahal di alfamart atau Indomaret juga ada es krim, enak, tidak perlu antri lama-lama. Saya kira rasanya sama, manis dan dingin, dengan sedikit tambahan esen buah-buahan atau coklat.

Tapi sekeras apapun saya mencari tahu, alasan orang rela antre Mixue, ndak bakal nemu mengapanya. Realita, saya juga antre di gerai Mixue selatan pertigaan kantor penanaman modal Trenggalek (dulunya kantor polres), ketimbang datang ke Alfamart dan beli es krim Aice. Es krim yang dulu sempat viral karena enak dan murah.

Waduh, pertama beli, saya salah menduga, tetangga bilang harganya Rp. 8000. Ternyata untuk dapat Mixue se-cup penuh plus topping boba, harus bayar Rp. 16.000. Kalau beli 5 sudah Rp. 80.000, pas dulu jadi kuli, itu bayaran kerja seharian.

Tidak salah sebenarnya, harga Rp. 8000 memang ada, tapi gak ada bobanya. Lebih mirip es tong, ada opak gambirnya, dan pasti sulit dibawa pulang, bentuknya bisa hancur sebelum sampai rumah. Kayaknya lebih enak dimakan di gerai tersebut, sambil bawa ayang, mungkin, tapi pasti tidak romantis, meja dan kursi dipenuhi orang antre

Ini Mixue kok pinter banget marketingnya.

Eh, tapi ndak perlu nggumun, orang Tiongkok memang pinter-pinter dagang, selain sabar menekuni usaha, mereka pinter pencitraan, lagi sering banting harga. Makanya dulu sempat ramai, ada banyak pekerja Tiongkok di proyek-proyek Indonesia, kabarnya, tenaga kerjanya bisa di bayar murah.

Ndak perlu mengernyitkan dahi, kalau pernah dengar namanya Jack Ma, itu juga orang Tiongkok, pendirinya Alibaba.

Mixue bukan barang baru, sejak 1997 sudah ada di negara asalnya, Tiongkok, dan baru masuk Indonesia Tahun 2020. Model bisnisnya berupa waralaba atau franchise, mirip Indomaret dan Alfamart, juga mirip bisnis modelnya Teh Poci.

Maka, bagi yang punya modal, bisa beli sistemnya, tinggal cepak uang dan tempat, bisa jualan Mixue. Kabarnya deposit awal 40 juta, itu di luar uang manajemen dan alat. Kalau ditotal hampir 400 juta, ya kalau semua dimulai dari nol, misal tidak punya tempat sendiri.

Zang bersaudara boleh membusungkan dada, karena usahanya menjamur seantero jagat. Hingga tahun 2023, sedikitnya 21.581 gerai Mixue telah beroperasi di Tiongkok dan sedikitnya 12 negara lainnya di Asia-Pasifik.

Kisah pendirian Mixue sama dengan kisah-kisah pengusaha kaya lainnya, berawal dari keterbatasan lalu menjadi besar dan sukses karena ketekunan. Kalau pernah nonton film The Billionaire, kamu bisa membayangkannya, itu tentang kisah produk Tao Kae Noi asal Thailand, tidak jauh-jauh kisahnya.

Pembeli masih antre saat saya (penulis) membeli Mixue ke dua kalinya, 26-04-2023 - Foto @trigusds

Zhang Hongchao, seorang mahasiswa di Universitas Keuangan dan Ekonomi Henan, bekerja paruh waktu di sebuah kios minuman dingin untuk meringankan beban ekonomi keluarga…

Penggalan paragraf di atas kisah tentang Mixue. Cerita awalnya begitu, dinarasikan selalu ada sisi perjuangannya.

Tapi, bagaimanapun, Zhang bisa dapat fasilitas kuliah, itu tidak sebanding, kalau dibandingkan dengan anak-anak putus sekolah di Trenggalek. Kuliah itu termasuk privilege bagus.

Cerita heroik semacam itu juga terdapat di kisah pendirinya Facebook, Mark Zuckerberg. Ia dikenal sebagai mahasiswa DO di Universitas Harvard. Akhirnya sukses "menguasai" dunia, terutama maya. Kamu sadar atau tidak? Ia bisa kuliah di Harvard, tentu bukan orang kaleng-kaleng.

Orang macam kita, masih sering telat bayar uang semester, belum lagi kendala fasilitas bagus. Mark Zuckerberg di hari mendirikan Facebook, ia pegang komputer, kita pegang sabit dan cangkul. Level privilege jauh sekali.

Pendiri Alibaba juga punya cerita menarik, sekarang punya kapital besar, dahulu diceritakan sebagai guru bahasa inggris.

Makanya, pesan saya, selagi kamu muda dan menderita, nikmati saja. Nanti kalau sudah sukses kaya raya, kisah suram tersebut bisa jadi pemanis branding, pokokendak ada seng sia-sia.

Lebaran kelima saya antre Mixue lagi, anak perempuan rewel sekali, hampir tak pernah lupa ingin makan Mixue lagi, masih 4 tahun tapi sudah seperti orang dewasa ngidam. Mau tidur, bangun tidur, baru bertemu atau menjelang saya berangkat kerja, yang diucapkan hanya Mixue. Alih-alih meminta dengan ceria, ia selalu menyertai dengan tangisan. Kakak-kakak lelakinya sudah ndaksembatek itu.

Masih kecil dan ia perempuan, manjanya sangat sempurna.

Gerai Mixue masih saja ramai, saya antre setengah jam, sama seperti antre pertama.

Orang-orang seakan tidak pernah waleh dengan es krim Tiongkok itu, atau mungkin juga baru beli pertama itu, siapa juga yang tahu. Mungkin akibat penasaran, terlalu sering lihat nikmatnya orang makan Mixue di media sosial.

Iseng-iseng saya juga memesan untuk diri sendiri, mencoba memenuhi hasrat baru, itung-itung buat melahirkan ide menulis.

Tapi, makan satu cup Mixue ternyata tidak habis masuk perut, sudah nek, masih separuh, saya berikan ke istri, meski dia sudah dapat jatah 1 cup. Ia terbiasa makan dobel, misal beli bakso, ya bakso dobel.

Memang makan Mixue jadi pengen misui, makan es krim harga Rp. 16.000 ndak habis dimakan, kebanyakan mungkin, dan ternyata, bobanya enak, kenyil-kenyil.

Catatan Redaksi:

Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi kabartrenggalek.com.