KBRT — Saat mentari belum sepenuhnya menyingsing, di sudut Desa Karangrejo, Kecamatan Kampak, bayang-bayang tubuh renta Mbah Slamet sudah terlihat di petak sawah kecilnya.
Dengan caping yang setia menaungi rambut memutih, Imam Slamet Daroini (87) melangkah perlahan menyusuri pematang, memastikan tanaman padinya tumbuh di waktu yang dianggap paling selaras oleh leluhurnya — Senin Kliwon.
“Senin Kliwon kemarin saya menanami sawah ini,” ujarnya pelan, menyambut sapaan kawan sebayanya yang melintas.
Di Karangrejo, perhitungan weton bukan sekadar warisan budaya. Ia hidup, terpatri dalam siklus tanam dan panen. Mbah Slamet adalah salah satu penjaga ingatan itu.
Baginya dan para petani setempat, menentukan hari tanam dengan hitungan weton adalah cara menyelaraskan langkah dengan semesta — mencari restu alam agar bulir padi yang tumbuh kelak tak sekadar tumbuh, tapi berlimpah.
Tak hanya padi, pola ini juga berlaku saat mereka menanam palawija atau kelapa. Slamet ingat benar cerita tetangga yang abai pada weton — hasil panennya tak seberapa.
"Alhamdulillah, panen kemarin saya dapat 20 karung dari sawah ini," ucapnya, sembari menatap hamparan hijau yang mulai merambat di lahannya, yang luasnya tak genap 100 ru akibat terpotong proyek jalan.
Sambil beristirahat di bawah naungan pohon, Slamet menjelaskan rincian perhitungan itu. Dalam kalender Jawa, setiap hari dikaitkan dengan empat unsur: oyot (akar), uwit (batang), godong (daun), dan uwoh (buah).
Bagi petani, tujuan tanam tentu untuk memanen ‘buah’ — maka weton kategori uwoh yang diburu. Kuncinya ada pada hasil penjumlahan nilai hari dan pasaran yang merupakan kelipatan empat.
Hari-hari dalam sepekan memiliki nilai: Ahad (5), Senin (4), Selasa (3), Rabu (7), Kamis (8), Jumat (6), Sabtu (9). Sementara pasaran Jawa: Pon (7), Wage (4), Kliwon (8), Legi (5), Pahing (9).
“Seperti saya kemarin pilih Senin (4) dan Kliwon (8), jumlahnya 12. Itu masuk uwoh, cocok tanam karena kelipatan empat,” urainya.
Bagi Mbah Slamet, perhitungan ini bukan mistik. Ia menyebutnya ilmu titen — pengetahuan lokal yang lahir dari pengamatan panjang dan pengalaman generasi.
Ia tak menolak traktor atau pupuk modern, tapi baginya, merawat sawah bukan cuma perkara alat. Ada adab, ada harmoni yang mesti dijaga.
“Bertani itu bukan cuma kerja tangan, tapi juga rasa dan waktu,” tandasnya, sebelum kembali menapak pematang, merawat bibit yang dititipkan pada Senin Kliwon itu.
Kabar Trenggalek - Feature
Editor:Zamz