Kabar TrenggalekKabar Trenggalek
Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC / Click X icon to close

My Account

Mengurangi Jatah Pelaksanaan Debat Publik Bukan Efisiensi Anggaran, tapi Kegagalan KPU dalam Penyerapan Anggaran

Opini ini saya sampaikan sebagai tanggapan atas pernyataan komisioner KPU yang mengaku tidak mengetahui besaran biaya pelaksanaan debat publik Pilkada Trenggalek 2024. Bagaimana mungkin seorang komisioner KPU daerah tidak mengetahui besaran anggaran yang diperlukan untuk debat publik?

Salah satu amanah penting yang diemban oleh KPU sebagai penyelenggara pemilihan adalah merumuskan kampanye dalam bentuk debat sebagai wujud pendidikan politik bagi warga negara. Debat publik ini sangat krusial, terutama bagi pemilih pemula dan pemilih rasional yang belum menentukan pilihannya, (Juknis KPU No. 645/2020).

Perlu kita pahami, agenda debat publik bagi kandidat kepala daerah bukanlah hal baru di Trenggalek. Setiap Pilkada, KPU Daerah Trenggalek selalu menggelar debat publik sebagai bagian dari tahapan kampanye. Debat kandidat dilaksanakan paling banyak tiga kali dengan kelengkapan anggaran yang telah disediakan APBD. Bicara soal anggaran, tentu saja ini bukan tiba-tiba ada.

Dalam konteks anggaran, penetapan anggaran KPU daerah melewati beberapa tahapan yang dilaksanakan jauh sebelum proses Pilkada dimulai. Pada intinya, alokasi anggaran Pilkada didasarkan atas NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah) antara KPU dan bupati, berdasarkan usulan KPU.

Pelaksanaan debat publik tentu bukan keputusan mendadak. Semua sudah direncanakan sejak KPU menyusun program kerja. Khusus persiapan debat publik, umumnya dimulai dari menentukan tema, memilih moderator, berkoordinasi dengan lembaga penyiaran, hingga menyiapkan mekanisme pengamanan dan pengawasan.

Setelah semuanya siap, KPU biasanya melakukan simulasi teknis untuk menjamin kelancaran debat. KPUD pun bekerja sama dengan  event organizer (EO) sebagai pelaksana teknis, melalui mekanisme lelang untuk memilih penyedia jasa yang paling sesuai. Dengan proses ini, estimasi biaya acara debat seharusnya sudah dapat diketahui.

Sebagai ilustrasi—mengacu pada pelaksanaan debat daerah lain—untuk siaran langsung berdurasi 1,5 jam, biayanya bisa berkisar antara Rp30.000.000 hingga Rp100.000.000, tergantung status lembaga penyiaran—lokal, regional, atau nasional. Biaya tersebut hanya untuk siaran langsung, belum termasuk biaya lain, seperti sewa tempat, honorarium, dekorasi, hingga logistik. Dengan adanya proses ini, sulit dibayangkan jika seorang komisioner KPU tidak tahu anggaran debat publik.

Kini kita sampai pada keputusan KPU untuk hanya menyelenggarakan debat kandidat satu kali dengan alasan efisiensi anggaran. Jujur, baru kali ini saya mendengar seorang komisioner KPU memiliki perhatian khusus terhadap Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA). Menggunakan anggaran sampai habis untuk pembiayaan program kerja yang telah ditetapkan bukanlah suatu kesalahan, justru menunjukkan bahwa KPU berhasil merealisasikan program yang telah direncanakan. Namun sebaliknya, jika anggaran tidak terserap itu justru mencerminkan kegagalan KPU dalam merealisasikan program kerjanya.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2024 tentang Pemilihan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, dengan satu pasangan calon, pada Bab IX, Pasal 68 Ayat 5, mengatur bahwa; “Debat Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan paling banyak 3 kali pada masa kampanye.” Meskipun aturan ini hanya menyebutkan batas maksimal tanpa mengatur batas minimal, bukan berarti keputusan KPU Trenggalek untuk mengurangi jumlah debat yang semula telah direncanakan dapat begitu saja dianggap benar.

Pada dasarnya, semangat untuk melakukan efisiensi anggaran adalah pilihan bijaksana dari pengguna anggaran yang tentu saja patut mendapatkan apresiasi. Namun, efisiensi yang dimaksud bukan sekonyong-konyong mengurangi jumlah debat dari tiga kali menjadi sekali. Keputusan itu akan berdampak buruk terhadap upaya pemenuhan hak pemilih untuk mengetahui visi dan misi kandidat secara menyeluruh.

Efisiensi anggaran masih tetap bisa dilakukan meski tanpa mengurangi jatah pelaksanaan debat publik dan mengaburkan esensinya sebagai sarana sosialisasi visi dan misi pasangan kepala daerah. Sebagai contoh, efisiensi bisa dilakukan dengan menggelar debat di Trenggalek, bukan malah di luar kota. Dengan begitu, berbagai biaya bisa ditekan, sebab standar harga di luar kota, seperti di Surabaya, bisa jadi jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan standar harga di Trenggalek.

Penghematan seperti inilah yang layak disebut SILPA, sisa anggaran hasil efisiensi tanpa harus mengurangi esensi dan kuantitas program debat publik itu sendiri. Mengurangi jatah debat publik dari semula tiga kali menjadi sekali itu bukanlah efisiensi anggaran; sisa anggaran yang diakibatkan karena pengurangan kuantitas program adalah kegagalan KPU dalam upaya penyerapan anggaran.

Terlebih jika dasar pengurangan kuantitas program adalah keinginan pasangan calon tunggal, sebagaimana diungkapkan oleh salah satu komisioner KPU Trenggalek pada sebuah sesi wawancara dengan awak media, keputusan itu mengandung implikasi yang mengarah pada preseden buruk penyelenggara pemilihan kepala daerah.

Mengurangi jumlah debat publik hanya berdasarkan pada keinginan pasangan calon juga dapat dinilai sebagai pelanggaran etika. Sebagai lembaga independen, KPU memiliki tanggung jawab untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan prinsip netralitas, keadilan, dan transparansi. Setiap tindakan yang menunjukkan keberpihakan atau melayani kepentingan tertentu di luar kepentingan publik berpotensi melanggar kode etik penyelenggara pemilu.

Integritas dan profesionalitas KPU adalah kunci untuk menjaga kepercayaan publik dalam proses pemilu di level daerah. Ketika keputusan KPU tidak lagi berorientasi pada kepentingan pemilih, melainkan memenuhi keinginan calon, itu tidak hanya mencoreng kredibilitas lembaga, tetapi juga melemahkan demokrasi itu sendiri.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, anggota KPU diamanatkan untuk menjaga independensi dan bebas dari pengaruh pihak mana pun, termasuk pasangan calon. Jika terbukti keputusan tersebut diambil semata untuk memenuhi keinginan calon, publik bisa mengajukan aduan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), pihak yang memiliki wewenang untuk memeriksa dugaan pelanggaran etik. DKPP akan mengevaluasi apakah ada indikasi pelanggaran kode etik dalam pengambilan keputusan tersebut.

Sebagai lembaga yang seharusnya independen dan bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan setiap tahapan pemilu, KPU memiliki kewajiban untuk memastikan semua keputusan diambil berdasarkan prinsip keadilan dan kepentingan publik, bukan karena tekanan atau permintaan dari pihak tertentu.

Saat KPU mulai mengakomodasi keinginan calon kepala daerah dalam menentukan program kampanye, khususnya dalam debat publik, maka independensi dan netralitasnya patut dipertanyakan, sebab lembaga pemilu seharusnya memastikan semua pihak—terutama masyarakat—mendapatkan kesempatan dan hak yang adil untuk mengetahui dan menilai kualitas program serta komitmen calon pemimpin mereka.

Debat publik bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan wadah penting bagi masyarakat untuk menilai visi, misi, dan program calon pemimpin mereka. Masyarakat Trenggalek berharap KPU daerah dapat menjalankan fungsinya secara profesional, transparan, dan berorientasi pada kepentingan publik. Karena pada akhirnya, demokrasi yang sehat hanya bisa terwujud jika hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dipenuhi secara utuh, tanpa kompromi terhadap kualitas program yang diselenggarakan.

Salam Demokrasi untuk Pilkada Trenggalek Bersih dan Bermartabat!