Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Kooptasi Kekuasaan: Tambang Ormas dan Dibajaknya Partai Politik

Pada 10 Agustus 2024, Airlangga Hartarto secara mendadak mengundurkan diri dari Partai Golkar. Sementara itu, pada 28 Juli 2024, Muhammadiyah mengejutkan publik dengan keputusannya menerima IUP Tambang dari pemerintah. Kedua peristiwa ini, meskipun tampak tidak terkait, memiliki korelasi yang cukup menggambarkan bagaimana kooptasi kekuasaan memengaruhi proses demokrasi, baik pada tingkat mikro di masing-masing institusi maupun pada tingkat makro dalam proses bernegara.

Kooptasi kekuasaan terhadap partai politik dan masyarakat sipil menjadi peringatan bagi kondisi demokrasi di Indonesia. Partai politik sejatinya bukan hanya alat untuk mencapai kekuasaan, tetapi juga sebagai instrumen politik demokrasi yang memiliki fungsi kontrol dan oposisi terhadap kekuasaan negara. Sayangnya, sepanjang tahun politik ini, berbagai “drama” politik mengindikasikan adanya kooptasi kekuasaan terhadap partai politik. Kaesang Pangarep yang tiba-tiba menjadi ketua PSI dan pengunduran diri Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar, menunjukkan permasalahan dalam proses berpolitik di tingkat partai masing-masing. Kuat dugaan bahwa kooptasi kekuasaan negara tidak hanya dimanifestasikan oleh “dinasti” Jokowi, tetapi juga oleh lingkaran politiknya yang melampaui kekuasaan partai.

Di sisi lain, indikasi kooptasi kekuasaan terlihat pada Muhammadiyah yang tiba-tiba memutuskan menerima pemberian IUP tambang, setelah sebelumnya publik menerima narasi bagaimana Muhammadiyah mengkritisi rencana pemberian IUP Tambang. Pengambilan keputusan di tingkat pimpinan Muhammadiyah ini menimbulkan gejolak di tingkat akar rumput, dari pengurus wilayah hingga ranting. Ada yang menyampaikan penolakan secara terbuka dan tertulis, hingga menjadi perdebatan tanpa henti di berbagai grup chat internal Muhammadiyah.

Peristiwa politik yang terjadi di partai politik dan ormas keagamaan ini, jika dilihat menggunakan teori state capture, setidaknya menunjukkan tiga indikasi kooptasi kekuasaan yang cukup dominan:

Pertama, Manipulasi Kebijakan. Indikasi ini muncul pada berbagai tingkatan, dari perubahan batas umur cawapres dalam konteks politik elektoral hingga perubahan signifikan dalam tata kelola lingkungan sejak UU Cipta Kerja hingga PP 25/2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba. Pada kasus PP 25/2024, publik sering kali hanya berfokus pada isu IUP bagi ormas keagamaan, padahal ada perubahan kebijakan RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya) yang awalnya wajib tiap tahun menjadi wajib satu kali.

Hal ini bukan saja perubahan instrumen pengawasan dan pengendalian lingkungan, tetapi juga diduga kuat sebagai upaya pemutihan kejahatan korporasi. Ketidakpatuhan korporasi pertambangan terhadap kewajiban RKAB berakibat pada pencabutan 2.078 IUP pertambangan pada Januari 2024. Hal serupa juga muncul pada kebijakan pemutihan atau “pengampunan” konsesi dalam kawasan hutan melalui UU Cipta Kerja, di mana setidaknya 3,3 juta hektar perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan mendapatkan pemutihan.

Kedua, Menguatnya Monopoli dan Oligopoli. Dalam konteks ini, dapat diindikasikan dengan kecenderungan banyak partai yang enggan beroposisi. Ironisnya, kelompok masyarakat sipil seperti Muhammadiyah juga terkooptasi melalui kebijakan pemberian IUP tambang. Perubahan sikap Muhammadiyah terhadap IUP tambang akhirnya memengaruhi banyak organisasi untuk bersikap sama. Diakui atau tidak, hal tersebut akan berdampak pada legitimasi publik terhadap suara kritis kelompok masyarakat sipil terhadap kekuasaan saat ini.

Ketiga, Penguasaan Institusi Kunci. Pada masa-masa saat ini, kooptasi institusi kunci terlihat pada kasus pelemahan KPK melalui UU KPK 19/2019 dan penguasaan Mahkamah Konstitusi dengan meletakkan Anwar Usman, yang juga ipar presiden, sebagai hakim MK. Hal ini rentan menimbulkan conflict of interest. Namun, yang sering dilupakan adalah bahwa kooptasi juga terjadi pada instrumen demokrasi lainnya seperti partai politik dan kelompok masyarakat sipil.

Kondisi saat ini sebenarnya merefleksikan cara pandang publik serta kualitas demokrasi. Pada akhirnya, lahirnya oligarki merupakan manifestasi kualitas publik. Kualitas bernegara akan kembali terjaga jika suara kritis pada berbagai instrumen demokrasi lepas dari kooptasi kekuasaan.

Opini ditulis oleh Wahyu A. Perdana
Kepala Bidang Kajian Politik SDA, LHKP PP Muhammadiyah
*Ditulis sebagai refleksi dan opini pribadi

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *