KBRT – Kebijakan pembebasan retribusi untuk toko buku yang akan berlaku di aset daerah Kabupaten Trenggalek mulai tahun 2026 menuai tanggapan dari komunitas literasi Perjal Wacan Urakan. Mereka menilai langkah tersebut positif, namun belum menyentuh akar permasalahan literasi di masyarakat.
Beni Kusuma Wardani (23), pegiat komunitas Perjal Wacan Urakan, menyebut kebijakan bebas retribusi memberi ruang bagi toko buku untuk berkembang. Namun, menurutnya, problem literasi bukan sekadar soal beban biaya toko buku, melainkan minat beli masyarakat terhadap buku.
“Kebijakan bebas retribusi ini tentu positif, namun menurut kami masih belum menyentuh akar masalah literasi di Trenggalek. Meskipun toko buku terbebas dari retribusi, pertanyaannya adalah, apakah masyarakat benar-benar membeli buku?” ujarnya.
Beni menuturkan, dari pengalaman komunitasnya membuka lapak baca gratis di ruang publik, kegiatan membaca sering dianggap aneh atau negatif. Orang yang membaca di tempat umum kerap dipandang sok pintar atau terlalu serius.
Untuk itu, ia menilai Pemkab Trenggalek perlu membuat kebijakan sosial yang mendorong normalisasi budaya membaca di ruang publik.
“Pada akhirnya, kualitas pendidikan adalah kunci untuk meningkatkan literasi. Kuasa dan sumber daya yang dimiliki Pemkab dapat digunakan memengaruhi kebijakan pendidikan di sekolah-sekolah,” lanjutnya.
Beni menekankan, pendidikan harus membuat membaca terasa menyenangkan dengan memberi siswa kebebasan memilih buku sesuai minat. Ia juga menyoroti peran guru yang seharusnya menjadi pendamping sekaligus partner diskusi siswa, sehingga kesejahteraan guru juga penting diperhatikan.
“Pemerintah harus lebih jeli dalam melihat permasalahan literasi dan pendidikan, serta bisa membedakan antara kepentingan masyarakat umum dan golongan tertentu supaya kebijakan benar-benar menyentuh masalah di masyarakat,” katanya.
Lebih lanjut, Beni menyebut banyak kebijakan Pemkab diragukan efektivitasnya karena tidak menyentuh masalah konkret. Ia berharap kampus-kampus lokal dilibatkan dalam riset independen mengenai literasi dan pendidikan untuk menentukan arah kebijakan.
“Melalui riset independen, Pemkab bisa memperoleh gambaran jelas tentang apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat. Dengan demikian, kebijakan yang diambil bisa lebih tepat sasaran dan lebih efektif dalam meningkatkan literasi di Trenggalek,” jelasnya.
Beni menambahkan, kebiasaan membaca di ruang publik masih jarang ditemui, namun perlahan ada perubahan positif. Beberapa warga mulai membaca tanpa rasa malu saat komunitas membuka lapak buku.
Nama komunitas Perjal Wacan Urakan, lanjut Beni, kerap disalahpahami. Kata “Urakan” yang terkesan nakal, sebenarnya merupakan singkatan dari Untuk Kerakyatan.
“Lapakan tidak kami buat sendiri. Bersama OG Lab dan Perpustakaan Jalanan Trenggalek, kami menyediakan berbagai jenis buku, sebagian besar merupakan donasi dari teman-teman dan masyarakat,” imbuhnya.
Menurutnya, keberagaman buku menjadi daya tarik utama lapak baca. Puluhan judul dari bacaan anak-anak hingga buku aktivis disediakan agar masyarakat bisa menemukan topik yang sesuai dengan minat mereka.
Kabar Trenggalek - Mata Rakyat
Editor:Zamz