Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim Tolak Penggusuran Paksa Rumah Warga oleh Badan Otorita IKN
Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur menolak penggusuran paksa rumah warga oleh Badan Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN). Rumah warga yang digusur yaitu di Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Rabu (13/03/2024).Herdiansyah Hamzah, perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim, menjelaskan ancaman penggusuran paksa oleh Badan Otorita IKN kepada masyarakat lokal dan masyarakat adat itu termuat dalam Surat Nomor: 179/DPP/OIKN/III/2024 yang dikeluarkan Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN.Surat itu berisi arahan atas Pelanggaran Pembangunan yang Tidak Berijin dan atau Tidak Sesuai dengan Tata Ruang IKN. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan Tim Gabungan Penertiban Bangunan Tidak Berizin pada bulan Oktober 2023 dan tidak sesuai dengan Tata Ruang yang diatur pada RDTR WP IKN.Surat tersebut juga mengagendakan adanya arahan Tindak Lanjut atas Pelanggaran Pembangunan yang Tidak Berizin dan Tidak Sesuai dengan Tata Ruang IKN. Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita Ibu Kota Nusantara, juga mengeluarkan “Surat Teguran Pertama” No. 019/ST I-Trantib-DPP/OIKN/III/2024, yang menyatakan dalam jangka waktu 7 hari, agar warga segera membongkar bangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan Tata Ruang IKN dan peraturan perundang-undangan."Ancaman badan Otorita IKN tersebut yang secara tiba-tiba hendak mengusir warga Pemaluan dengan dalih pembangunan Ibukota, jelas adalah bentuk tindakan abusive pemerintah. Ini memperlihatkan wajah asli kekuasaan yang gemar menggusur dan mengambil alih tanah rakyat atas nama pembangunan," terang Herdiansyah melalui rilis resminya.Herdiansyah mengatakan, penggusuran itu mengingatkan masyarakat dengan rezim otoritarian orde baru yang represif dan menghalalkan segala cara. Otorita IKN memberikan batas waktu selama 7 hari agar warga Pemaluan segera angkat kaki dari tanah tempat mereka berpijak selama puluhan tahun. Hal itu dinilai sebagai bentuk intimidasi yang menyebar teror dan ketakutan kepada warga. Sama persis yang dilakukan terhadap Wadas, Rempang, Poco Leok, Air Bangis, dan lainnya."Upaya pembongkaran paksa dan paksaan terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal untuk meninggalkan tanah leluhur yang menjadi ruang hidup mereka, merupakan bentuk pelanggaran hak masyarakat lokal dan masyarakat adat atas Hak hidup, hak atas ruang hidup, hak perlindungan atas kepemilikan atas tanah dan hak atas pemukiman warga," ucap akademisi Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, itu.Menurut Herdiansyah, pemaksaan pembongkaran bangunan dengan dalih tidak berizin terhadap tanah-tanah masyarakat yang telah dikuasai warga jauh sebelum rencana pembangunan IKN, merupakan bentuk menghadirkan lagi cara-cara penjajah Belanda."Belanda menguasai tanah-tanah rakyat bangsa Indonesia melalui politik Domein Verklaring yang menyatakan 'Barangsiapa yang tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan atas tanah maka tanah menjadi tanah pemerintah'" terangnya.Herdiansyah menjelaskan, politik penjajah itu diberlakukan sebagai dalih untuk merampas tanah-tanah rakyat. Ketentuan Domein Verklaring telah dihapuskan melalui Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, Negara bukan sebagai pemilik tanah, namun mengemban tugas mengatur peruntukan sumber daya alam yang ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."Pemaksaan pembongkaran bangunan dan pengusiran masyarakat dengan dalih tidak berizin dan tidak sesuai tata ruang adalah cara-cara penjajah dalam merampas tanah rakyat. Upaya paksa penyingkiran masyarakat adat dengan dalih pelanggaran atas Tata Ruang IKN merupakan bentuk genosida masyarakat adat," papar Herdiansyah.Herdiansyah mengkritik Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2022 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Nusantara, yang dijadikan dasar pembongkaran paksa bangunan masyarakat lokal dan masyarakat adat. Ia menilai peraturan itu merupakan produk hukum yang dibuat tanpa melibatkan masyarakat sebagai pemilik sah wilayah.Pembongkaran paksa itu dinilai sebagai pelanggaran terhadap pasal 65 UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, yang mengamanahkan untuk melibatkan masyarakat dalam penataan ruang, yang meliputi perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang."Tanpa pelibatan masyarakat lokal dan masyarakat adat, menyebabkan tata ruang tidak menjadi alat mensejahterakan masyarakat namun justru menjadi ancaman hilangnya hak-hak masyarakat," kritik Herdiansyah."Pemerintah lupa, jika negara pada hakekatnya wajib bertindak atas nama kepentingan rakyat, bukan kepentingan para pemodal, apalagi sekedar obsesi pemindahan IKN," tambahnya.Dalam putusan perkara Nomor 3/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi menegaskan terdapat 4 aspek yang digunakan sebagai tolak ukur dalam menguji makna penguasaan negara dan sebesar-besar kemakmuran rakyat, yakni:Pertama, kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat. Kedua, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat. Ketiga, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam. Keempat, penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.Koalisi Akademisi dan Masyarakat Sipil Kalimantan Timur Menyatakan:Menolak upaya-upaya penggusuran paksa masyarakat lokal dan masyarakat adat dari tanahnya dengan dalih apapun;Masyarakat Lokal dan Masyarakat Adat merupakan bagian kelompok rentan yang sudah menjadi kewajiban negara untuk memberikan perlindungan bukan justru mengalami pembongkaran paksa dan upaya-upaya pemaksaan penggusuran atas nama pembangunan IKN;Menyatakan dokumen Tata Ruang yang dibentuk tanpa partisipasi sejati masyarakat lokal dan masyarakat adat adalah dokumen yang cacat hukum;Menolak pembangunan IKN Yang menggusur hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adatMenyerukan kepada seluruh rakyat, untuk membangun solidaritas bersama. Hanya dengan cara bersatulah, keputusan penguasa yang menindas dan tidak memihak rakyat, bisa kita lawan!
Kabar Trenggalek Hadir di WhatsApp Channel Follow