Kesehatan mental kini menjadi salah satu isu penting yang harus mendapat perhatian serius di Indonesia. Pasalnya, gangguan kesehatan mental tidak hanya berdampak pada kondisi psikologis, tetapi juga dapat memengaruhi kesehatan fisik secara berkelanjutan.
Menurut data dari who.int, gangguan kesehatan mental bahkan menjadi penyebab bunuh diri ketiga tertinggi di dunia, khususnya pada kelompok usia 15–29 tahun.
Di Indonesia, kondisi ini kian mengkhawatirkan. Dilansir dari ugm.ac.id, survei Kesehatan Jiwa Remaja Nasional (I-NAMHS) yang dilakukan pada remaja usia 10-17 tahun mengungkapkan bahwa lebih dari 17 juta remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Survei ini melibatkan 5.664 pasangan remaja dan pengasuhnya, menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja mengalami masalah kesehatan mental.
Empat jenis gangguan mental paling umum di kalangan remaja Indonesia adalah gangguan kecemasan umum (3,7%), gangguan kecemasan mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), serta PTSD dan ADHD (0,5%). Namun, hanya 2,6% remaja dengan masalah kesehatan mental yang mengakses layanan kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir.
Keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan membuat banyak remaja mencari alternatif lain dalam mengatasi gangguan kesehatan mental. Di tengah keterbatasan ini, fenomena unik mulai terlihat: remaja lebih memilih duduk di depan minimarket sambil menikmati minuman kemasan daripada menjalani terapi formal.
Alih-alih menjalani terapi perilaku kognitif, para remaja ini menggunakan momen tersebut untuk merenung, mengamati lingkungan sekitar, dan perlahan-lahan mengubah pola pikir mereka dari negatif ke positif. Pengamatan sosial di tempat sederhana ini membantu mereka memahami perilaku sosial yang tepat dalam berbagai situasi.
Fenomena ini mencerminkan betapa sulitnya akses ke layanan kesehatan mental di Indonesia. Meski demikian, beruntungnya, beberapa remaja memilih untuk mencari ketenangan di depan minimarket daripada terjebak dalam kecanduan obat-obatan atau narkotika.
Editor:Tri