KBRT - Pernahkah kita bertanya, mengapa ada anak yang mudah tersenyum dan percaya diri, sementara yang lain tampak murung dan pemurung sejak kecil? Jawabannya bisa jadi tersembunyi dalam cara mereka dipeluk, didengar, atau bahkan dimarahi. Pola asuh orang tua, meski tampak sepele di mata orang dewasa, punya peran besar dalam membentuk emosi dan karakter anak sejak dini.
Karakter dan kecerdasan emosional anak tidak terbentuk secara tiba-tiba. Ia dibentuk bertahap, melalui pengalaman sehari-hari, terutama dalam interaksi dengan orang tua di tahun-tahun awal kehidupan. Cara orang tua merespons tangisan, kemarahan, rasa ingin tahu, atau kesalahan anak, secara tidak langsung membentuk peta batin anak tentang dunia dan dirinya sendiri.
Psikolog perkembangan menyebut tahap usia dini sebagai periode emas, ketika fondasi kepribadian dan cara anak melihat diri serta lingkungannya mulai terbentuk. Pola asuh yang diterapkan pada masa ini akan mewarnai bagaimana anak memahami emosi, membentuk hubungan, serta menghadapi tantangan.
Sejak usia dini, pola asuh yang diterapkan di rumah menjadi fondasi bagi rasa percaya diri, kemampuan mengelola emosi, hingga cara anak berinteraksi dengan lingkungan. Psikolog perkembangan menekankan, masa kanak-kanak adalah periode emas untuk menanamkan dasar emosi yang sehat. Jika terabaikan, risiko munculnya rasa cemas berlebih, minder, bahkan agresivitas saat dewasa menjadi lebih besar.
Orang tua sebagai pengasuh utama memiliki peran penting dalam mendampingi anak melewati setiap tahap perkembangan, mulai dari kanak-kanak, remaja, hingga dewasa, Anak-anak belajar mengenali dan mengelola emosinya bukan hanya dari apa yang dikatakan orang tua, tetapi terutama dari bagaimana mereka diperlakukan saat mengalami sedih, marah, atau bingung.
Daftar Isi [Show]
Pentingnya pola asuh dalam membangun emosi anak
Psikolog asal Inggris, John Bowlby, melalui teori kelekatan (attachment) menegaskan bahwa kelekatan emosional anak dengan orang tua merupakan kebutuhan mendasar. Saat anak merasa aman dan dicintai, ia akan lebih mudah mengelola stres serta berani mengeksplorasi lingkungan.
Sebaliknya, pola asuh yang penuh ancaman, sering membandingkan, atau kurang responsif terhadap kebutuhan anak dapat memicu rasa takut dan rendah diri. Anak belajar menginternalisasi bahwa dunia adalah tempat yang tidak aman.
Teori Erik Erikson juga menyoroti pentingnya peran pola asuh pada tahap awal kehidupan. Pada usia 1-3 tahun, anak berada dalam fase autonomy vs shame & doubt, yaitu masa anak mulai belajar mandiri. Jika orang tua terlalu membatasi atau sering memarahi ketika anak mencoba hal baru, anak bisa tumbuh dengan rasa malu dan ragu terhadap kemampuannya.
Sementara itu, Jean Piaget menekankan bahwa pada masa praoperasional (2-7 tahun), cara berpikir anak masih egosentris. Mereka sulit memahami sudut pandang orang lain. Oleh karena itu, pola asuh yang sabar dan membantu anak menamai emosinya menjadi penting agar anak belajar mengelola perasaan.
Dampak panjang pola asuh terhadap emosi
Penelitian dalam bidang psikologi perkembangan menunjukkan bahwa pola asuh yang empatik dan terbuka dalam komunikasi sangat berpengaruh terhadap kemampuan anak dalam mengenali dan mengelola emosinya. Anak-anak yang tumbuh dengan orang tua yang mau mendengarkan, memahami, dan merespons emosinya secara positif cenderung memiliki regulasi emosi yang lebih baik.
Mereka lebih mudah menenangkan diri saat marah, mampu menyampaikan perasaan secara tepat, dan tidak mudah terpicu oleh tekanan lingkungan. Kondisi ini mendukung kemampuan mereka dalam menjalin relasi sosial yang sehat baik di rumah, sekolah, maupun dalam pertemanan.
Sebaliknya, pola asuh otoriter yang menekankan kepatuhan mutlak tanpa ruang berdiskusi dapat membuat anak menjadi penakut atau justru memberontak. Tidak sedikit anak yang tumbuh dalam pola ini juga mengalami trauma emosional yang diekspresikan dalam bentuk menarik diri dari lingkungan sosial. Mereka cenderung merasa tidak aman untuk menunjukkan perasaan, takut ditolak, dan akhirnya memilih menghindari interaksi.
Respons mengisolasi diri ini bisa berkembang menjadi kecemasan sosial, rendahnya harga diri, dan keinginan berlebihan untuk selalu diterima oleh orang lain. Anak mungkin menunjukkan kepatuhan di luar, namun menyimpan ketegangan emosional di dalam. Dalam jangka panjang, pola ini dapat mempersulit mereka dalam membangun relasi yang sehat dan setara saat remaja maupun dewasa.
Karena itu, pola pengasuhan yang terlalu keras atau tidak memberi ruang dialog bukan hanya memengaruhi perilaku anak di masa kini, tetapi juga dapat meninggalkan jejak psikologis yang bertahan hingga dewasa dalam bentuk kesulitan mengendalikan amarah, rasa cemas berlebihan, atau kebutuhan terus-menerus untuk mencari validasi eksternal.
Orang tua adalah teladan pertama
Orang tua memegang peran sentral dalam membentuk keterampilan emosional anak. Ini bisa dimulai dari rutinitas sederhana seperti mengajak anak berbincang tentang perasaannya, mendengarkan keluh kesah tanpa menghakimi, serta menunjukkan secara langsung bagaimana merespons kemarahan atau kekecewaan dengan tenang dan bertanggung jawab.
Pada akhirnya, cara orang tua mengekspresikan emosinya sehari-hari akan menjadi contoh langsung bagi anak. Psikolog sosial Albert Bandura, melalui teori belajar sosialnya, menyatakan bahwa anak belajar terutama melalui observasi dan imitasi terhadap perilaku orang dewasa di sekitarnya. Dalam pandangannya, anak adalah produk dari lingkungan, artinya perilaku mereka terbentuk dari pengalaman yang mereka saksikan dan alami secara langsung.
Jika orang tua terbiasa menyelesaikan masalah dengan teriakan, ancaman, atau kekerasan fisik maupun verbal, anak akan menangkap pola itu sebagai respons yang wajar dalam menghadapi konflik. Sebaliknya, ketika anak menyaksikan orang tua berdiskusi dengan tenang, mengakui kesalahan, dan mencari solusi bersama, mereka pun akan belajar bahwa emosi dapat dikelola secara sehat dan konstruktif.
Kunci membangun emosi anak yang sehat
Ketika anak tumbuh dalam lingkungan yang penuh cinta dan empati, ia akan belajar mengenali emosinya tanpa rasa takut atau malu. Hasilnya, anak menjadi pribadi yang lebih percaya diri, tangguh dalam menghadapi tekanan, dan mampu membangun relasi sosial yang sehat.
Lebih jauh lagi, fondasi emosional yang kuat ini menjadi bekal penting untuk menghadapi berbagai tantangan kehidupan, mulai dari dinamika pertemanan, tekanan akademik, hingga hubungan interpersonal saat dewasa. Dengan begitu, keberhasilan pendidikan anak tak hanya diukur dari prestasi kognitif, tetapi juga dari kematangan emosional yang mereka miliki sepanjang hidup.
Kabar Trenggalek - Pendidikan
Editor:Zamz