Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Kantong Pendapatan Bea Cukai 2023 Anjlok 9.9 Persen, Rokok Jadi Biang Kerok 

Penerimaan kepabeanan dan cukai pada 2023 tercatat sebesar Rp 286,2 triliun atau hanya mencapai 95,4% dari target. Keterangan tersebut dipaparkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, saat konferensi pres APBN kita. 

Sri Mulyani menyampaikan, pendapatan bea cukai 2023 mengalami koreksi pertumbuhan setelah mencatatkan pertumbuhan positif 2 tahun berturut-turut pada 2021 dan 2022. 

Sri Mulyani menjelaskan, penerimaan cukai menjadi kontributor utama yang tercatat mencapai Rp221,8 triliun atau mencapai 97,6% dari target Perpres 75/2023. 

Menurut Sri mulyani, penerimaan cukai yang kurang optimal dipengaruhi oleh kenaikan tarif cukai hasil tembakau yang mendorong penurunan produksi rokok, terutama pada golongan 1.

"[Produksi rokok] golongan 1 turunnya bahkan mencapai 14%. Ini produsen rokok golongan 1 yang raksasa-raksasa paling besar,” katanya dalam Konferensi Pers APBN Kita, Rabu (03/01/2024). 

Di sisi lain, penerimaan cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA) naik tipis 0,4% ditopang oleh meningkatnya kinerja industri pariwisata.

Lebih lanjut, Kemenkeu mencatat penerimaan bea masuk sebesar Rp50,8 triliun pada 2023, lebih rendah dibandingkan periode 2022 karena nilai impor yang menurun sebesar 6,8%.

Sri Mulyani menambahkan, pemicu utama berkontraksinya penerimaan kepabeanan dan cukai adalah penerimaan bea keluar yang hanya sebesar Rp 13,5 triliun atau hanya mencapai 68,3% dari target. 

Dia menjelaskan penerimaan bea keluar yang turun mencerminkan harga CPO yang turun sangat tajam. Serta, upaya hilirisasi produk mineral yang berdampak pada penurunan volume ekspor dan tarif bea keluar mineral. 

“Kami lihat bea keluar bauksit turun 89% karena sejak Maret dilarang ekspor maka langsung tidak ada kegiatan ekspornya. Tembaga masih tumbuh 10,8% karena kita masih melakukan relaksasi,” jelasnya. 

Selain itu, bea keluar produk sawit juga mengalami penurunan yang dalam sebesar 81,2% disebabkan oleh penurunan harga rata-rata CPO sebesar 34,1%, meski volume ekspor kelapa sawit masih tumbuh 3%.