Kamis, 28 September 2023. Sudah bertahun-tahun pesisir selatan Trenggalek menjadi langganan favorit penyu-penyu laut untuk bertelur. Salah satunya di
Teluk Sumbreng, Desa Masaran, Kecamatan Munjungan. Sudah bertahun-tahun satwa yang memiliki nama lokal pasiran itu selalu bertelur di sepanjang pinggir pantai Desa Masaran.Barudin (53) dan Asrofi, warga asli Desa Masaran, menceritakan jalan terjal
konservasi penyu di Teluk Sumbreng Trenggalek. Ia masih mengingat jelas bagaimana orang-orang dulu memperlakukan satwa itu.Dulunya, penyu termasuk penghasilan tepi laut fantastis bagi masyarakat pesisir khususnya Desa Masaran. Kesadaran yang saat itu belum terbangun, ditambah harga jual pasaran penyu cukup tinggi, menjadi alasan mengapa penyu banyak diburu.Lambat laun, beberapa warga termasuk Barudin dan Asrofi, mulai menyadari ancaman kepunahan penyu. Barulah kisaran awal 2016, beberapa masyarakat yang sadar pun mendirikan
Konservasi Penyu Mutiara Laut Sumbreng. Konservasi itu dikelola oleh Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Mutiara Laut Sumbreng dengan bimbingan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Trenggalek.“Awalnya kan dikonsumsi masyarakat. Makin kesini makin [terancam] punah, akhirnya timbul kesadaran untuk membuat sebuah konservasi yang belum terbentuk. Dari kesadaran itu mengamankan penyu-penyu, mengedukasi warga untuk tidak mengonsumsi penyu,” ujar Asrofi.Tak mudah jalan yang dilalui Asrofi untuk membentuk kesadaran terhadap kondisi ancaman kepunahan penyu. Meski konservasi dan berbagai upaya menyadarkan masyarakat tak kurang-kurang.Mulai dari penyuluhan, pengenalan, pencerahan sampai edukasi kepada anak-anak. Termasuk menjelaskan jika penyu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.Tetapi tetap saja, perburuan penyu dan telurnya masih banyak ditemukan. Walaupun lambat, proses kesadaran masyarakat akhirnya mulai terbangun. Puncaknya sekitar akhir tahun 2019, masyarakat yang mulanya masih memburu penyu mulai tersadar. Sampai sekarang, sudah tidak ada lagi masyarakat yang memburu penyu.“Mungkin terbuka hatinya. Kalau disembelih terus nanti punah, anak cucu cuma tau ceritanya aja. Seperti kita dulu taunya cuma gambar. Tapi anak-anak kecil sekarang bisa tau penyu tidak hanya gambar,” jelas Asrofi.
Proses Penyelamatan
[caption id="attachment_44852" align=aligncenter width=1280]
Seekor penyu sebagai wisata edukasi di Konservasi Penyu Mutiara Laut Sumbreng/Foto: Delta Nishfu (Kabar Trenggalek)[/caption]Ketika musim peneluran dari bulan Maret, anggota Pokmaswas Mutiara Laut Sumbreng berjalan menyisir pantai sejauh 4 kilometer setiap dini hari. Dengan teliti mereka mencari jejak-jejak induk penyu yang baru saja mentas untuk bertelur. Jika mendapatkan telur, mereka akan membawa telur itu ke tempat penangkaran untuk ditetaskan.Meski tak setiap hari atau setiap minggu menemukan telur, mereka tetap melakukan penyisiran setiap dini hari. Mereka melakukan itu untuk memastikan telur-telur penyu aman dari serangan predator dan perburuan manusia.Sekali bertelur penyu bisa mengeluarkan sekitar 90-125 telur. Sejak Konservasi Penyu Mutiara Laut Sumbreng berdiri, tak terhitung lagi berapa telur penyu yang ditetaskan. Tetapi hampir semua spesies telur penyu yang melipir ke daratan pernah mereka selamatkan."Penyu lekang, penyu ijo, penyu sisik, penyu pipih,” sebut Barudin mengabsen telur penyu yang pernah ia selamatkan.Di tempat penangkaran, telur-telur penyu dikubur di dalam bak berisi pasir pantai. Kiranya membutuhkan waktu sekitar 55-60 hari untuk menunggu telur penyu menetas. Setelah telur menetas, tukik dipindah ke dalam bak berisi air laut sampai seminggu.Untuk melepasliarkan tukik, perlu menunggu waktu dan kondisi cuaca yang tepat. Barudin mengatakan jika pelepasan tukik biasanya dilakukan menjelang tenggelamnya matahari. Hal itu dilakukan untuk menghindarkan penyu dari pemangsa.Tidak hanya tukik, beberapa penyu sengaja dipelihara di penangkaran. Salah satu kegiatan yang rutin dilakukan Pokmaswas Mutiara Laut Sumbreng adalah memberikan edukasi kepada anak-anak kecil yang berkunjung. Selain agar anak-anak bisa melihat langsung seekor penyu, mereka juga tahu bagaimana proses konservasi penyu.“Jadi uji coba untuk membesarkan tukik sampai titik mana kekuatan kita. Ternyata ya
alhamdulillah berhasil,” ujarnya bersyukur.Sampai di sini, konservasi penyu tak ada masalah. Masyarakat memiliki kesadaran, penyu tak lagi diburu, telur menetas dengan aman. Tetapi, Barudin menambahkan, ia banyak menemukan penyu dalam kondisi mati.Biasanya, penyu yang ditemukan mati meninggalkan bekas memakan plastik. Barudin mengatakan, beberapa jenis penyu memang tergolong omnivora. Tak ayal jika ia melihat plastik makanan kemudian memakannya.“Makanya diharapkan kepada masyarakat jangan membuang sampah ke sungai. Jangan sampai ke laut. Yang paling berbahaya jenis plastik, pembalut, popok, itu berbahaya. Karena jenis-jenis tersebut mirip dengan ubur-ubur nanti dimakan," jelas Barudin."Umurnya kalo makan itu paling lama cuma dua bulan. Kadang ada penyu mati seperti itu yang dimakan," ia menambahkan.Perlahan, Barudin merasa upaya dorongan yang ia lakukan sedikit demi sedikit telah berhasil membentuk kesadaran masyarakat. Proses perkembangbiakan dan pertumbuhan penyu menjadi bahan edukasi secara langsung bagi masyarakat. Sejauh ini, jalan yang Barudin dan Asrofi tempuh ini terbukti efektif untuk membantu kelestarian penyu."Masyarakat sekarang sudah sadar tentang penyu itu. Memang benar-benar dilestarikan termasuk dikembangbiakkan,” Barudin menambahkan.Bahkan, Barudin mengatakan, kerap menerima penyu dari nelayan yang tak sengaja terperangkap jaring ikan. Penyu seperti itu biasanya mengalami kondisi cedera dan tak bisa langsung dilepas liarkan langsung.
Dari Pemangsa jadi Konservasi
[caption id="attachment_44853" align=aligncenter width=1280]
Tukik berusia seminggu yang menunggu untuk dilepasliarkan/Foto: Delta Nishfu (Kabar Trenggalek)[/caption]Jumat pagi, 29 September 2023. Semilir angin laut dan sisa-sisa pesona Pantai Gemawing masih menawarkan keasriannya. Akhir tahun 2022 lalu, ombak besar pernah menghantam tepian Pantai Gemawing imbas dari gempa Cilacap.Beruntung, ombak besar tak sampai menyenggol pintu penangkaran Konservasi Penyu Mutiara Laut Sumbreng yang berjarak sekitar 25 meter dari bibir pantai. Barudin bersyukur melihat bangunan penangkaran selamat.Seperti biasa, pagi itu Barudin berada di tempat Konservasi Penyu Mutiara Laut Sumbreng mulai jam 8 pagi. Ia duduk bersantai menikmati sebatang rokok dan segelas kopi sambil memandang laut.Lebih dari 20 tahun yang lalu, Barudin masih sama seperti kebanyakan warga lain. Setiap dini hari ia menyisir tepi Teluk Sumbreng dari ujung barat hingga timur. Ia menyusuri tepi pantai untuk mencari jejak-jejak penyu menguburkan telurnya.Jika menemukan telur, sudah pasti ia akan membawanya pulang. Makin beruntung lagi ia menemukan telur sekaligus induknya. Segeralah induk penyu itu ia rebahkan di daratan lalu disembelih.“Aku dulu termasuk pemangsa berat,” celetuknya.Kebiasaan Barudin rupanya sudah berlangsung turun temurun dari keluarga yang merupakan nelayan pesisir. Waktu itu, ia masih belum memiliki kesadaran seperti sekarang. Alhasil, ia terus menerus memburu penyu. Apalagi harga jual di pasaran cukup menawan di kisaran 300 ribu sampai 500 ribu per kilo.Seingatnya, tahun 1998 menjadi awal Barudin mulai menyadari bahwa aktivitasnya sangat mengancam populasi penyu. Ketika itu, ia hendak menyembelih seekor penyu di rumah. Anaknya yang berusia 5 tahun mendekat dan bertanya,“
Nek pasiran kui mok belehi opo ra entek? sok opo aku yo eruh pasiran? [kalau penyu itu kamu sembelih apa nggak habis? Nanti apa aku juga bisa liat penyu?]” ujarnya menirukan anaknya dulu.Seketika Barudin ingin menangis mendengarnya. Ia mulai berpikir, jika penyu terus menerus diburu, pertanyaan si kecil itu bisa jadi kenyataan. Tetapi, mengubah kebiasaan bukanlah hal yang gampang. Barudin masih memburu penyu meski tak sesering dulu.Pertanyaan bak ramalan itu terus membayangi Barudin ketika hendak memburu penyu. Batinnya selalu bergejolak jika teringat. Ia selalu terbayang pertanyaan anaknya ketika ingin memburu penyu. Sejak itulah, Barudin memiliki kesadaran dan tak pernah memburu penyu lagi.“Saya kalau teringat, sampai sekarang nelangsa. Saya ingin menangis teringat kata-kata anakku tadi. Sejak itu saya mikir kalau penyu melipir disembelih terus-terusan, nanti kalau habis bisa terjadi omongan anakku,” ujarnya.Kesadaran Barudin, perlahan ia tularkan kepada teman-temannya yang masih memburu penyu. Awalnya, Barudin kerap diperolok-olokkan akibat menganggap serius pertanyaan anaknya. Tapi perlahan waktu, ajakan Barudin berhasil mempengaruhi banyak teman-temannya. Sehingga satu per satu masyarakat mulai memiliki kesadaran tak memburu penyu lagi.“Pertengkaran mulut itu sudah biasa sama teman sendiri,” ujar Barudin dengan tersenyum.Kesadaran dan semangat Barudin secara pribadi terus terjaga sampai tahun 2011. Ia yang mulanya tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB) Desa Masaran di bidang kelautan. Kemudian berlanjut dengan berdirinya Pokmaswas Mutiara Laut Sumbreng di tahun 2016. Di kelompok itu ia semakin bersemangat untuk terus mengedukasi masyarakat.Barudin mengingat-ingat, momen pertama kali melepas tukik (anak penyu) ke laut. Momen yang menjadi hari paling berkesan selama perjalanan konservasi di benak Barudin. Sejak saat itu, banyak masyarakat tak hanya dari Desa Masaran yang datang dan melihat konservasi penyu.“Aku nangis abis [tukik] dilepas, aku pergi. Aku pasrahkan sama teman-teman. Gak kuat nahan dada,” ucapnya.Sekarang, Barudin sangat senang melihat kesadaran masyarakat yang terus tumbuh. Aktivitas konservasi ini sudah menjadi hobi. Meskipun kadang Barudin harus merogoh kantong pribadi untuk keberlanjutan konservasi penyu. Hal itu tak melencengkan semangatnya untuk melestarikan penyu.Bagi Barudin, aktivitas konservasi ini seperti hobi langka yang tak sembarangan orang mau menekuni. Ia berharap nantinya ada generasi muda yang sudi meneruskan upaya pelestarian penyu yang sudah berdiri dengan penuh perjuangan ini.“Harapannya nanti pemuda ada yang meneruskan apa nggak gitu. Masalahnya kalau yang tua sudah pada capek kan ya repot. Paling utama ya itu,” tandas Barudin.