Tanggal 3 Mei diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day (WPFD). Pada WPFD 2023, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyampaikan 6 tuntutan.
Melansir rilis resmi AJI Indonesia, tema peringatan global Hari Kebebasan Pers Sedunia 2023 adalah “Shaping a Future of Rights: Freedom of expression as a driver for all other human rights ”.
Peringatan WPFD 2023 juga bertepatan dengan peringatan 30 tahun proklamasi 3 Mei sebagai Hari Kebebasan Pers Internasional oleh Majelis Umum PBB, serta peringatan 75 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
"AJI Indonesia menyerukan tanggung jawab pemerintah untuk melindungi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Ketiadaan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan pers dapat membahayakan hak asasi manusia lainnya," tulis AJI Indonesia.
Serangan Terhadap Jurnalis Meningkat
Menurut AJI Indonesia, kebebasan pers merupakan bagian penting dari kebebasan berekspresi yang termaktub dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Dalam pasal itu, kebebasan pers merupakan hak untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas.
Selain itu, peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Indonesia bertepatan dengan peringatan 25 tahun Reformasi. Reformasi 1998 adalah momen ketika pemerintahan otoriter Orde Baru Soeharto runtuh, membawa Indonesia ke pemerintahan yang demokratis.
"UU HAM dan UU Pers lahir pada 1999, dua undang-undang penting untuk menjamin pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, termasuk kebebasan pers. Namun, bukannya maju, demokrasi Indonesia malah mundur, ditandai dengan digunakannya beberapa regulasi yang menghambat kebebasan berekspresi dan kebebasan pers," jelas AJI Indonesia.
Regulasi yang dinilai menghambat kebebasan berekspresi dan pers yaitu UU No 1 Tahun 1946, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), PP No 71 Tahun 2019 dan Permenkominfo 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Swasta.
Selanjutnya, ada UU No 1 Tahun 2023 tentang KUHP, serta Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
"UU ITE tetap menjadi undang-undang yang merugikan jurnalis online dan kritikus di media sosial. AJI mencatat, sejak UU ITE lahir pada 2008 dan direvisi pada 2016, setidaknya ada 38 jurnalis yang dilaporkan dengan pasal bermasalah dalam UU ITE, empat di antaranya dipenjara setelah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan," terang AJI Indonesia.
AJI Indonesia mengungkapkan, serangan terhadap jurnalis dan organisasi media independen tidak pernah berakhir. Pada 2022, AJI Indonesia mencatat 61 kasus penyerangan, dengan 97 jurnalis menjadi korban dan 14 organisasi media menjadi sasaran. Sejak Januari 2023 hingga 30 April 2023, terdapat 33 kasus, meningkat dari 15 kasus pada periode yang sama tahun 2022.
Berdasarkan data AJI Indonesia, pembela hak asasi manusia dan kelompok kritis lainnya juga menjadi sasaran kriminalisasi, serangan digital, disinformasi. Ditambah, ada berbagai upaya delegitimasi lainnya untuk mengekspresikan pendapat dan ekspresi mereka yang sah secara online dan offline.
Padahal, menurut AJI Indonesia, kebebasan berekspresi dan kebebasan pers mendukung hak asasi manusia lainnya di Indonesia. Di antaranya yaitu menghadapi dampak krisis iklim, ketimpangan ekonomi, korupsi, polarisasi, kekerasan terhadap perempuan dan anak, diskriminasi terhadap kelompok rentan, dan gangguan informasi yang merajalela.
“Hari Kebebasan Pers 2023 menegaskan bahwa kebebasan berekspresi dan kebebasan pers saling bergantung, saling terkait, dan tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia lainnya,” kata Ketua AJI Sasmito pada 2 Mei 2023.
Tuntutan AJI Indonesia di Hari Kebebasan Pers Sedunia 2023
Melihat latar belakang tersebut, AJI Indonesia mendesak:
- Pemerintah dan DPR RI agar mencabut dan atau membatalkan berbagai peraturan dan pasal bermasalah yang menghambat kebebasan berekspresi dan kebebasan pers, khususnya UU ITE, PP 71/2019 dan Permenkominfo 5/2020, UU Cipta Kerja, dan UU KUHP;
- Presiden RI dan Kapolri agar menghentikan semua kasus kriminalisasi terhadap jurnalis dan pembela hak asasi manusia atas karya jurnalistik dan ekspresi yang sah;
- Presiden RI dan Kapolri agar secara transparan dan independen mengusut kasus penyerangan fisik dan digital terhadap jurnalis dan pembela HAM;
- Pemerintah menetapkan mekanisme untuk melindungi para pembela HAM, termasuk jurnalis, dengan melibatkan lembaga negara terkait lainnya, komunitas pers, dan masyarakat sipil independen lainnya;
- Pemilik media agar tidak mengintervensi ruang redaksi dengan tidak menyensor karya jurnalistik dan opini kritis;
- Semua jurnalis untuk mematuhi Kode Etik Jurnalistik, menyediakan ruang berita bagi mereka yang tidak dapat berbicara, dan memprioritaskan isu-isu publik dalam semua pemberitaan.