Kasus kekerasan yang dilakukan Mario Dandy Satriyo kepada salah satu anak di bawah umur di Jakarta menuai kontroversi dan menjadi perbincangan ramai di jagat maya, Kamis (09/03/2023).
Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Indonesia menyentil beberapa media masa online telah melakukan kelalaian terhadap kode etik jurnalistik.
Sebelumnya, masyarakat begitu geram dengan kekerasan yang dilakukan Mario terhadap anak di bawah umur. Tak hanya kepada Mario, kekasihnya juga tak lepas dari sorotan netizen dan media online.
Kelalaian tersebut dalam bentuk memuat identitas kekasih Mario dalam penerbitannya. Padahal, kekasih Mario berumur 15 tahun dan polisi menetapkan statusnya sebagai anak yang berkonflik dengan hukum dengan tuduhan memprovokasi.
Tak tanggung-tanggung, berdasarkan pantauan AJI Indonesia, beberapa media online di Indonesia bahkan mengulas latar belakang keluarga kekasih Mario. Selain itu juga informasi sekolah dan foto-foto yang beredar di media masa tak lepas dari pemberitaan.
AJI Indonesia juga menyayangkan sebagian pemberitaan media massa mengejar klik bait untuk meraup cuan. Kondisi ini menjadi tren yang tidak sehat di tengah persaingan dan gempuran arus digitalisasi dengan mengabaikan etika serta tidak berperspektif pada anak.
Padahal, lanjut AJI Indonesia, pada Undangan-undang Pers No. 40 Tahun 1999, pada Pasal 5 Kode Etik Pers berbunyi, "wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan".
"Identitas yang harus dilindungi dari anak yang terlibat kasus hukum adalah nama, foto, gambar, nama saudara, orang tua, paman/bibi, kakek/nenek. Informasi tentang rumah, alamat desa, sekolah, perkumpulan dan apapun yang menunjukkan ciri anak itu juga harus dihindari," tulis AJI Indonesia dalam siaran pers yang rilis pada Rabu (08/03/2023), .
Menghindari penyebutan informasi identitas juga berlaku tak hanya kepada anak di bawah umur yang berhadapan dengan hukum. AJI Indonesia melanjutkan, hal itu berlaku juga untuk anak yang menjadi korban pelecehan dan eksploitasi seksual, pelaku kekerasan fisik dan seksual, dan anak positif HIV.
Lebih lanjut, Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia, Nani Afrida, mengungkapkan jika setiap anak yang berhadapan dengan hukum mempunyai hak privasi.
"Anak-anak memiliki hak untuk dijaga privasinya, bahkan jika dia terduga pelaku dalam kasus hukum," ungkap Nani Afrida.
Selain itu, Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito Madrim, mengatakan pemberitaan dengan menyertakan informasi identitas itu berdampak buruk bagi anak di bawah umur.
"Dampaknya berpotensi membuat anak menjadi korban kedua kalinya," ungkap Sasmito.
AJI Indonesia juga mendorong Dewan Pers untuk lebih aktif menyosialisasikan pedoman pemberitaan ramah anak yang diterbitkan sejak 2019. Yang di dalamnya sudah ada pedoman agar wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak, khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.