Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, Apa yang Terjadi di Trenggalek?

Hari ini Sabtu, 20 Mei 2023, merupakan Hari Kebangkitan Nasional yang ke 115 tahun. Tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Peringatan ini bertepatan dengan lahirnya Budi Utomo, salah satu organisasi pergerakan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda.

Hari Kebangkitan Nasional selalu diperingati sebagai salah stau wujud nasionalisme masyarakat di seluruh Indonesia. Mungkin Anda bertanya, Apa yang terjadi di Trenggalek saat Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908? Sebelum menjawab pertanyaan itu, perlu dibahas asal usul dari Hari Kebangkitan Nasional.

Budi Utomo dan Kebangkitan Nasional

Anggota Budi Utomo/Foto: Arsip Nasional

Budi Utomo merupakan organisasi pergerakan yang didirikan oleh pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, disingkat STOVIA. Budi Utomo digagas oleh Wahidin Sudirohusodo, salah satu pahlawan nasional Indonesia.

Gagasan itu memantik para pelajar STOVIA, seperti Soetomo, Gunawan Mangunkusumo, dan Soeradji Tirtonegoro. Kemudian, mereka mengadakan pertemuan untuk membentuk organisasi bernama 'Perkumpulan Boedi Oetomo'. Organisasi Budi Utomo lahir di Jakarta, 20 Mei 1908.

Konteks latar belakang berdirinya Budi Utomo dan Kebangkitan Nasional, tak lepas dari politik etis yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda. Politik Etis atau disebut Politik Balas Budi adalah politik pemikiran kolonial Belanda selama empat dekade dari 1901 sampai tahun 1942, untuk memberi kesejahteraan kepada rakyat kolonial mereka.

Akan tetapi, penerapan Politik Etis pada bidang pendidikan tidak memberi kesempatan luas kepada rakyat Hindia Belanda. Pendidika itu hanya diberikan kepada anak-anak elit pribumi.

Selain itu, tujuan sebenarnya pemerintah kolonial Belanda memberi pendidikan kepada rakyat jajahannya, yaitu untuk menyediakan tenaga kerja klerikal (golongan rohaniawan) dan tenaga kerja lain demi kepentingan birokrasi kolonial.

Tujuan pemerintah kolonial Belanda untuk memanfaatkan rakyat jajahan sebagai tenaga kerja melalui pendidikan, ternyata tak berjalan mulus. Bisa dibilang, pendidikan itu merupakan malapetaka yang mengancam kekuasaan Belanda atas rakyat Indonesia.

Sebab, pendidikan dari negara barat juga membawa ide-ide politik tentang kebebasan dan demokrasi. Sehingga, selama dekade 1920-an dan 30-an, kelompok elit hasil pendidikan Belanda, malah menyuarakan kebangkitan anti-kolonialisme dan kesadaran nasional.

Menurut catatan Merle Calvin Ricklefs dalam 'A brief history of Indonesia', pada paruh pertama abad ke-20, Belanda membantu menciptakan sekelompok rakyat terpelajar Indonesia.

Pada periode inilah, Budi Utomo yang didirikan oleh dr. Soetomo dicap sebagai salah satu awal gerakan untuk melawan penindasan dan penjajahan Belanda demi menciptakan kemerdekaan Indonesia sepenuhnya.

Periode perubahan pemikiran dan kesadaran atas kemerdekaan inilah, yang seding disebut sebagai 'Kebangkitan Nasional Indonesia'. Sehingga, rakyat Indonesia terus menciptakan berbagai organisasi pergerakan untuk melawan penindasan dan penjajahan. Puncaknya, Indonesia berhasil mendeklarasikan kemerdekaannya melalui proklamasi 17 Agustus 1945.

Organisasi pergerakan Budi Utomo terus berkembang. Berbagai tokoh penting bergabung, seperti Soewardi Suryaningrat (kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara), Tirto Adhi Soerjo, Pangeran Ario Notodirodjo, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Raden Adipati Tirtokoesoemo.

Perkembangan Budi Utomo ini menjadi lebih membahayakan bagi pemerintah kolonial Belanda. Soetomo dicap sebagai pemimpin kelompok pemberontakan. Belanda sempat mengancam akan mengeluarkan Soetomo dari STOVIA.

Tapi, teman-temannya di STOVIA kompak bersolidaritas kepada Soetomo. Jika Soetomo dikeluarkan, teman-temannya juga siap untuk dikeluarkan. Bahkan, dokter Hermanus Frederik Roll, direktur STOVIA, turut membela Soetomo muda yang memiliki semangat berapi-api. Akhirnya, Soetomo batal dikeluarkan dari STOVIA.

Pemerintah kolonial Belanda menilai Budi Utomo menjadi dalang di balik politik pergerakan rakyat Indonesia. Dimulai dari kritik yang ditulis oleh Ki Hadjar Dewantara terhadap pemerintah kolonial Belanda.

Pada 1913, Belanda merayakan kemerdekaan dari seratus tahun penjajahan Prancis. Ironisnya, biaya pesta perayaan kemerdekaan itu diambil dari sumbangan rakyat jajahannya, Indonesia.

Kemudian, Ki Hadjar Dewantara menulis kritik pedas kepada Belanda dengan judul 'Als ik een Nederlander was' artinya 'Seandainya Aku Seorang Belanda'. Tulisan itu terbit pada 13 Juli 1913, di surat kabar De Expres, yang dipimpin oleh Ernest Douwes Dekker. Berikut kutipan tulisan Ki Hadjar Dewantara:

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".

Penetapan Hari Kebangkitan Nasional

Perayaan 40 tahun Kebangkitan Nasional/Foto: Arsip Nasional

Budi Utomo menjadi pemantik bagi rakyat Indonesia untuk terus mengorganisir perlawanan terhadap penindasan dan penjajahan Belanda. Dalam catatan sejarah, pada tahun 1912, Ernest Douwes Dekker bersama Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat mendirikan Indische Partij (Partai Hindia).

Lalu, Sarekat Dagang Islam yang didirikan Haji Samanhudi bertransformasi dari koperasi pedagang batik menjadi organisasi politik. Kemudian, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, organisasi sosial yang bergerak di bidang pendidikan. Selanjutnya, pada November 1913, Ki Hadjar Dewantara membentuk Komite Boemi Poetera.

Sedangkan, Partai Komunis Indonesia (PKI) turut memperjuangkan kemerdekaan. Partai yang didirikan tahun 1920 itu tercatat sebagai partai pertama yang memakai kata 'Indonesia'. Tahun 1926, PKI berusaha melakukan pemberontakan revolusioner yang membuat panik Belanda. Ribuan kaum komunis ditangkap dan diasingkan.

Pada 4 Juli 1927, Soekarno dan Algemeene Studieclub menggagas berdirinya Perserikatan Nasional Indonesia. Selanjutnya, nama partai ini berubah menjadi Partai Nasional Indonesia pada Mei 1928.

Pada tanggal 28 Oktober 1928, Kongres Pemuda mendeklarasikan Sumpah Pemuda. Mereka menetapkan tujuan nasionalis, yaitu "satu tumpah darah — Indonesia, satu bangsa — Indonesia, dan satu bahasa — Indonesia".

Masih banyak catatan sejarah perjuangan Kebangkitan Nasional lainnya. Hari Kebangkitan Nasional diciptakan karena kebutuhan legitimasi (pernyataan yang sah) historis, terhadap perjuangan melawan penindasan dan penjajahan pemerintah kolonial Belanda. Selain itu, masih ada ancaman agresi militer Belanda pada masa awal kemerdekaan.

Sementara itu, Amir Sjarifuddin, mantan perdana Menteri, membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) untuk menghadapi agresi militer Belanda. FDR terdiri dari gabungan partai dan organisasi sayap kiri, yaitu Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia, Pesindo, Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, dan Barisan Tani Indonesia.

Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara dan Radjiman Wediodiningrat, mengusulkan kepada Soekarno, Hatta, dan Ali Sastroamidjojo (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), agar tanggal 20 Mei 1908, berdirinya Budi Utomo, menjadi Hari Kebangkitan Nasional.

Akhirnya, Presiden Soekarno menggelar perayaan Hari Kebangkitan Nasional Indonesia yang pertama kali pada 20 Mei 1948 di Istana Kepresidenan. Hasil dari perayaan ini adalah 'Dokumen Kesatuan Nasional'. Dokumen itu menetapkan 20 Mei 1908 sebagai saat permulaan menggalang kesatuan sikap program dan tindakan.

Apa yang Terjadi di Trenggalek?

Anggota Budi Utomo/Foto: Arsip Nasional

Hari Kebangkitan Nasional yang ditetapkan pada 20 Mei 1908, juga memiliki keterkaitan peristiwa di Trenggalek. Waktu itu, Trenggalek dipimpin oleh Tumenggung Wijoyosuwondo (1905-1932). Catatan sejarah itu ditulis oleh Abdul Hamid Wilis dalam buku 'Selayang Pandang Sejarah Trenggalek'.

Abdul Hamid Wilis mencatat peristiwa itu dalam pembahasan 'Gerakan Politik Rakyat Trenggalek'. Bahwa anggota Budo Utomo juga banyak di Trenggalek. Mereka gencar berjejaring dan berbagi informasi di Trenggalek.

"Di Trenggalek banyak pula anggotanya [Budi Utomo], terutama dari kalangan pegawai [priyayi]. Organisasinya lebih rapi dari SI dan gerakannya lebih halus dan lebih berhati-hati. Mereka menyadarkan rasa kebangsaan dan meningkatkan pendidikan. Karena pengawasan sangat ketat, mereka menggunakan Kamar Bola (bola sodok atau bilyard) tempat menyebarluaskan informasi. Kamar Bola adapula yang menyebutnya Kamar Dansa, sekarang Kantor PU [Dinas PUPR Trenggalek]" tulis Abdul Hamid Wilis.

Sayangnya, belum ditemukan catatan lebih lanjut terkait keberadaan dan kegiatan Budi Utomo di Trenggalek. Padahal, catatan itu sangat penting supaya warga Trenggalek bisa lebih mendalami sejarah perjuangan kemerdekaan.

Meski demikian, Abdul Hamid Wilis mencatat peran warga Trenggalek pada zaman perjuangan kemerdekaan dari penindasan dan penjajahan Belanda hingga Jepang. Berkaitan dengan hal ini, akan dibahas di tulisan berikutnya.