Kabar TrenggalekKabar Trenggalek

Press ESC to close

Filosofi Ketupat dalam Perayaan Lebaran Idul Fitri 2023

Setelah menjalani ibadah puasa selama satu bulan ramadan, kemudian dilanjutkan perayaan kemenangan Hari Raya atau Lebaran atau IdulFitri.

Dalam perayaan lebaran Idul Fitri tak ketinggalan tradisi makan-makan ketupat. Memang, ketupat identik dengan Lebaran Idul Fitri. Tapi kamu tahu tidak tentang filosofi ketupat dalam perayaan Lebaran Idul Fitri?

Ketupat adalah salah satu makanan khas Lebaran Idul Fitri, khususnya di Indonesia. Tak ketinggalan opor ayam dan sayur atau jangan tewel beraroma daun salam tersaji dalam satu hidangan.

Ternyata, ketupat tidak hanya nasi yang dimasak dengan dibungkus daun kelapa muda. Melainkan ketupat ada makna dan filosofi yang mendalam, serta masih berkaitan dengan esensi lebaran.

Jadi tak hanya lezat dan memiliki rasa yang khas. Penyajiannya di hari raya lebaran juga ada maksud tertentu.

Filosofi Ketupat

Ketupat merupakan semacam wadah berbentuk kotak unik berbahan janur yang dianyam sedemikian rupa. Kemudian diisi dengan beras dan dimasak hingga matang.

Nantinya nasi yang dimasak memiliki tekstur kenyal dan aroma yang khas berasal dari janur.

Untuk membuatnya memang gampang-gampang susah, yang pasti perlu ketelatenan untuk menganyam janur.

Melansir dari laman Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, istilah Hari Raya Ketupat atau Kupatan pertama kali dibuat oleh seorang anggota dewan Walisongo, Raden Mas Said atau Sunan Kalijaga. Kupatan menjadi wujud hari raya untuk orang-orang yang melaksanakan puasa Syawal selama enam hari.

Seperti kebudayaan-kebudayaan Jawa Islam lain, kupatan memiliki nilai-nilai filosofis. Filosofi ketupat dalam perayaan Lebaran Idul Fitri yaitu "ngaku lepat", atau dalam Bahasa Indonesia berarti "mengakui kesalahan".

Seperti yang kita ketahui, Lebaran Idul Fitri memang identik dengan tradisi minta maaf dan saling memaafkan. Semua manusia pasti punya kesalahan dan sebaik-baiknya orang adalah mereka yang mau mengakui kesalahannya.

Kemudian janur yang menjadi bahan dasar ketupat. Janur menurut filosofis Jawa merupakan kepanjangan dari "sejatine nur" atau "sejatinya cahaya".

Janur sebagai perlambang seluruh manusia berada dalam kondisi yang bersih dan suci setelah melaksanakan ibadah puasa.

Tak hanya itu, janur dalam kepercayaan masyarakat Jawa dipercaya mempunyai kekuatan magis untuk tolak bala.

Tak ayal, janur sering digunakan sebagai hiasan saat momen-momen penting. Seperti Hari Raya Islam, tahun baru Hijriyah, acara pernikahan, dan lain-lain.

Selanjutnya, bentuk anyaman ketupat yang rumit memiliki arti bahwa hidup manusia itu juga penuh dengan liku-liku, dan pasti ada kesalahan di dalamnya.

Keempat sudut ketupat juga menggambarkan menggambarkan empat jenis nafsu dunia yaitu al amarah, yakni nafsu emosional; al lawwamah atau nafsu untuk memuaskan rasa lapar; supiah adalah nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah; dan mutmainah, nafsu untuk memaksa diri.

Kemudian ketupat dimakan bersama-sama saat lebaran tiba. Dimakannya ketupat di satu sisi juga perlambang telah dikendalikannya hawa hawa nafsu saat lebaran.

Beras sebagai isian ketupat juga memiliki filosofi sebagai harapan agar kehidupannya dipenuhi dengan kemakmuran. Selain itu saat ketupat dibelah kita akan menjumpai warna putih dari nasi.

Warna putih ini mencerminkan permohonan maaf atas segala kesalahan dan harapan bisa seputih isi kupat tersebut.

Terakhir, dari cara memakan ketupat yaitu dengan sayur opor dan lain-lain. Biasanya sayur yang menemani ketupat berbahan dasar santen atau santan. Santen ini berarti "pangapunten" atau mohon maaf yaitu memohon maaf atas kesalahan.

Demikian filosofi ketupat dalam perayaan Lebaran Idul Fitri. Semoga bermanfaat dan momen lebaran kamu bersama keluarga bisa bahagia sepenuhnya.

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang wajib diisi ditandai dengan *