Cerita Pegiat Zine Asal Trenggalek Aktif di Tulungagung, Sempat Dilirik Kurator Asing
Geliat literasi media alternatif bernama zine nampaknya sudah berkembang di Indonesia sejak era orde baru. Media alternatif itu banyak tumbuh di kalangan skena musik bawah tanah sebagai media informasi tandingan dari penerbitan-penerbitan umum.Suara-suara kritis atau hanya sekedar tulisan uneg-uneg, biasa terlahir ke dalam zine sebagai media alternatif yang diterbitkan secara mandiri. Tanggal 19 September 2023, Dadang Prasetya (23), seorang pegiat zine asal Trenggalek, menceritakan awal mula ia mengenal fanzine atau zine.Dadang pertama kali mendengar istilah zine saat di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Waktu itu, ia mengenal zine melalui lapak Perpustakaan Jalanan Trenggalek. Ditambah kehidupannya yang akrab dengan berbagai genre musik bawah tanah membuatnya mengetahui sebuah media penerbitan mandiri bernama zine."[Zine] itu kayak penerbitan mandiri, sih. Ya itu aku tidak punya media yang resmi, jadi aku menerbitkan uneg-unegku dalam zine itu," ujar Dadang.Setelah lulus SMA tahun 2019, Dadang mulai keluar dari Trenggalek. Ia berkuliah di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung. Saat ia mendatangi acara musik bawah tanah (gigs), ia melihat lapakan yang menjual berbagai merchandise punk dan cetakan fisik sebuah zine. Waktu itu ia membeli satu cetakan fisik zine seharga 15-20 ribu.Selain dunia musik bawah tanah, aktivitasnya di pers mahasiswa membuat Dadang makin mengenal berbagai jenis media alternatif. Ia pernah membaca buku berjudul "Dari Ruang Keseharian: Penerbitan Zine dan & Pengarsipan", sebuah buku berisi esai yang mengulas sejarah dan perkembangan zine di Indonesia.Dari buku terbitan Indicszinepartij itu Dadang mulai memahami bagaimana karakteristik penerbitan mandiri. Dadang mulai memiliki pemahaman bahwa zine tak melulu tentang musik bawah tanah, melainkan semua karya apapun bisa diterbitkan secara mandiri dalam bentuk zine."Ternyata aku tahu zine gak hanya sekedar itu. Bahkan goresan-goresan ngawur gitu kalau dijadiin satu udah jadi namanya zine," jelasnya.Menerbitkan zine secara mandiriSemester 8 seharusnya menjadi fase di mana mahasiswa akan menghadapi masa final menempuh studi perkuliahan. Tak terkecuali Dadang. Ia justru bingung ketika melihat satu persatu teman-temannya mulai menyelesaikan skripsi. Sedangkan ia masih terkendala mengulang mata kuliah.Rasa gabut itu kemudian menyelimuti hari-harinya sebagai mahasiswa akhir yang tak bisa segera mengakhiri kuliahnya. Rasa itu kemudian mendorong Dadang untuk melahirkan sebuah zine. Ia menyematkan nama 'Risak Zine' sebagai nama dari zine nya.Kemudian, ia mengajak dua kawannya di Kabupaten Tulungagung, Gilang dan Lala, untuk menjadi kontributor. Ditambah satu orang lagi, Zulfa, sebagai model foto. Mereka pun sepakat setelah melakukan pembagian tugas."Akhirnya aku bikin zine sebagai pelampiasanku, bukan keresahan juga sebenernya, itu untuk media portofolio. Aku minta kawan-kawan untuk nulis. Nantinya yang nglayout [tata letak] dan desain itu aku,"Sampai di bulan Maret 2023, terbitlah Risak Zine Volume 1 berjudul Dara Skema. Zine itu berisikan berbagai jenis karya, mulai dari tulisan, fotografi, dan kolase. Tema perempuan diambil sebagai garis merah Risak Zine edisi pertama itu.[caption id="attachment_43737" align=aligncenter width=1280] Tampilan Risak Zine Vol. 2 Memorial Memori/Foto: Dadang Prasetya (Risak Zine)[/caption]Tak puas dengan satu edisi, Dadang bersama kawan-kawannya kembali menerbitkan Risak Zine Volume 2 di bulan September 2023. Ia menggunakan judul, Memorial Memori. Di edisi kedua, Dadang menawarkan konsep unfinished tragedy (tragedi yang belum selesai). Kali ini ia menambah dua personil lain untuk menjadi kontributor tulisan.Uniknya, di setiap zine yang terbit, ia selalu menyisipkan satu halaman rekomendasi lagu di halaman belakang. Sebuah barcode yang akan mengantar pembaca menuju Spotify untuk mendengarkan lagu-lagu rekomendasi ketika membaca Risak Zine.Dadang dulunya berpikir bahwa zine selalu identik dengan ulasan-ulasan musik bawah tanah atau kritik-kritik sosial. Menurutnya, zine tak melulu membahas seluk beluk sosial yang berat. Tetapi lebih menjadi sebuah wadah alternatif bagi siapa pun yang memiliki karya."Lebih sebagai media, sih. Kayak kamu mau nerbitin sesuatu gak ada medianya, gak ada yang nampung, mau dikirim ke media umum masih terlalu subjektif banget, ya udah bikin zine aja," tegasnya.
Kabar Trenggalek Hadir di WhatsApp Channel Follow